Oleh: Ambros Leonangung Edu & Servasius Jemorang
Sejak 1958, tahun di mana provinsi kita dibentuk untuk pertama kali sampai saat ini, kepala daerah datang silih untuk mengebiri masalah kemiskinan yang mencekik leher rakyat kecil.
Namun kita tetap saja “miskin” dan “terbelakang”. Kita merangkak di posisi buntut dengan angka kemiskinan 22,5 % bersama Papua Barat (24,88%) dan Papua (28,40%) (BPS Nasional 2016).
Di atas fakta kemiskinan ini pemerintah kita terus menaikkan bendera pertanian sebagai leading sector karena kontribusinya terhadap PDRB sebesar 29,65% (meskipun terus menurun dari angka 40% pada awal tahun 2000-an).
Akan tetapi, sektor pertanian kita terus saja gagal mengeluarkan predikat kemiskinan dari tubuh masyarakat. Ada apa?
Penyebab Kegagalan
Kegagalan yang hingga hari ini belum mampu dilengser dari tubuh pertanian NTT dibidangi dua soal besar. Pertama, kapasitas sumber daya manusia (SDM). Penyebab kegagalan sektor pertanian NTT adalah SDM yang lemah. Secara statistik, jumlah petani kita adalah 61,67% dari total jumlah penduduk.
Dilihat dari tingkat pendidikan karena pendidikan adalah pilar kualitas SDM, ada 60,65% petani kita yang hanya tamat SD, sebagiannya lagi bahkan tidak tamat SD (NTT dalam angka 2016).
Jadi, hampir seluruh petani kita tidak terampil baik secara konseptual maupun teknis. Hal ini setara dengan skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT yang hanya 62,67, jauh di bawah standar nasional 69,55.
Akibatnya, para petani tidak bisa menjadi pekerja profesional, tidak bisa menjadi petani produktif, karena mereka bukan profesi yang ditentukan melalui proses verifikasi atau sekolah khusus.
Petani-petani kita adalah para pekerja yang menjadi pilihan utama dalam siklus interaksi manusia dan alam pada praksis masyarakat tradisional, sehingga menjadi petani bukan didasarkan pada kompetensi pribadi masing-masing, tetapi terlebih efek alamiah dari kehidupan mayoritas masyarakat yang berada di pedesaan.
Boleh dikatakan mereka mengandalkan belas kasihan alam sehingga hanya bisa bertani pada skala subsisten, untuk makan pagi, siang, dan malam. Mereka tidak bisa memproduksi lebih dari kebutuhan makanan keluarga atau untuk mendayakan ekonomi masing-masing.
Kedua, iklim. Pertanian adalah satu-satunya sektor yang amat rentan dengan iklim. Cuaca ekstrem (kemarau panjang, hujan panjang) mempengaruhi tanaman-tanaman pertanian.
Jika kita melihat peta klimatologi NTT, iklim NTT masuk dalam kategori “Tipe C”, artinya NTT masuk kategori wilayah dengan tingkat curah hujan yang sangat sedikit dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Lama hujan di NTT hanya 3-5 bulan, atau berkisar 120 hari saja dalam setahun. Sisanya kemarau panjang hingga 9 bulan.
Pertanian yang sangat bergantung pada sumber daya air, baik untuk lahan kering maupun lahan basah, tentu membawa petaka besar karena pertanian kita minim kesediaan air, diperparah minimnya SDM para petani.
Kemarau panjang membuat para petani dihantui masalah gagal panen. Tahun 2016, tingkat gagal panen mencapai 11, 71% atau 59,7 ribu hektar area yang disebabkan kekeringan berkepanjangan (Tribunnews.com, 27/5/ 2016).
Di Kabupaten Flores Timur, ada tiga kecamatan yang mengalami gagal panen total karena kekeringan pada tahun 2016 (Okezone, 25/4/2016). Di Manggarai Timur pada Mei lalu, ada 1500 hektar kebun kopi yang mengalami gagal panen akibat kekeringan. Buah kopi rusak dan bunga kopi gugur bahkan tidak bertumbuh (SPI, 3/3/2017).
Pembangunan Pertanian yang Sustainable
Ahli pertanian NTT, Ir. Viktor Slamet, M.A, pernah mengatakan, jika NTT ingin membangun pertanian, maka yang dibangun pertama sekali adalah “Sumber Daya Manusia” (SDM).
Para petani NTT harus diberdaya agar mereka bisa mandiri. Mandiri yang dimaksudkan Ir Viktor adalah bahwa para petani NTT mampu mengakses tiga hal: teknologi, pasar, dan modal.
Pertama, teknologi. Petani berkualitas akan tahu cara menggemukkan babi yang tepat, meningkatkan produksi kopi, meracik tanaman yang baik, atau mengolah hasil yang diperoleh dengan teknologi-teknologi pertanian.
SDM rendah bukan hanya tidak mampu mengakses teknologi tetapi juga salah dalam memanfaatkan produk teknologi. Di Manggarai, budaya “ciwal” (menyiangi) saat membuka ladang atau kebun sudah mulai hilang dan digantikan oleh budaya semprot memakai bahan kimia yang sangat merusak ekologi tanah.
Ketiga, pasar (market). Pasar merupakan masalah yang serius di NTT. SDM rendah berimplikasi pada kekacauan mekanisme pasar. Produk-produk pertanian yang dipasarkan bukannya dimonopoli produk para petani NTT, tetapi justeru didatangkan dari daerah-daerah dan para pelaku pasar bukanlah masyarakat lokal.
Itu berarti para petani kita kalah saing dalam merebut area pasar. Petani kita menjadi penonton di tanah sendiri. Mereka sulit untuk akses ke hal ketiga: modal.
Perekonomian selalu membutuhkan modal. Sumber modal dari bank, misalnya, tidak dapat dinikmati para petani untuk membeli pupuk atau alat-alat teknologi karena mereka tidak memiliki usaha atau penghasilan sebagai jaminan pinjaman modal. Bagaimana kita mengatakan pertanian kita menjadi sektor unggulan, padahal mekanisme pasar tidak dikuasai para petani?
Kata kunci untuk pembangunan pertanian adalah SDM. Jika mereka mandiri, maka produksi dan produktivitas akan meningkat, sehingga kita tidak perlu bersandar pada produk-produk impor seperti yang masif terjadi selama ini.
Jika petani terampil, maka mereka sanggup menghasilkan produk yang kompetitif. Kompetisi yang dimaksudkan adalah keunggulan-keunggulan komparatif yang bisa bersaing dengan produk-produk dari daerah lain.
Sejauh ini NTT tidak memiliki produk unggulan. Ada anggapan beberapa tempat di Manggarai Raya seperti Pota, Dampek, Iteng, Narang, Lembor, Terang, menjadi lumbung-lumbung beras.
Namun jika kita melihat secara keseluruhan tingkat permintaan, NTT masih mendapat supply impor beras raskin sebesar 85% dan terbanyak dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur.
Tidak hanya beras, bahkan sayur dan buah-buahan juga didatangkan dari luar. Di Manggarai Raya, sayur-sayuran dan buah-buahan yang beredar di pasar sebagian didatangkan dari Bima, labu dan buncis dari Bajawa.
Jadi, tidak tepat kalau hari ini orang NTT bicara pertanian sebagai basis atau penggerak utama perekonomian NTT, sementara kenyataannya makan dan minum kita masih dikirim dari luar. Kapan kita bangga dengan jerih payah bapa-ibu kita di kampung-kampung?
Refleksi Akhir
Ada banyak pertanyaan tentang pertanian NTT yang kelihatannya dianak-tiri-kan dari skala prioritas pemerintah. Ada yang melihat pertanian kita terlalu difokuskan pada lahan basah (sawah) sehingga para petani menyulap lereng-lereng gunung seperti yang tampak di Manggarai, menjadi areal sawah.
Lahan kering yang hampir mencapai 80% kurang mendapat sentuhan pembangunan, sehingga para petani kebanyakan membuang-buang waktu karena tidak diarahkan. Entahlah, semua pertanyaan benar atau tidak, merupakan salah satu tugas pemerintah.
Dari persektif pembangunan, pertanian yang produktif (sustainable) harus berbasis pada “potensi” atau sumber daya alam. Luas lahan kering NTT sebesar 74,78 persen dari luas wilayah, ditambah areal lahan sawah dan ladang yang memadai, Tidak hanya memiliki daya dukung dari kondisi geografis, pertanian NTT kaya dengan jumlah tenaga kerja petani yang mencapai 61% dari total keseluruhan tenaga kerja.
Artinya sektor pertanian memiliki alasan yang kuat untuk diandalkan dapat mendongkrak ekonomi, karena tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Kalau saja pertanian bisa dijadikan sektor unggulan, maka kesejahtaraan para petani menjadi keniscayaan. Dengan begitu mayoritas masyarakat NTT tentu dengan gampang keluar dari predikat kemiskinan yang sejak lama melabeli mereka.
Tugas pemerintah dan kita semua hanya satu: memberdayakan SDM. Bantuan sarana-prasarana pertanian hanya efektif dan efisien kalau ditopang oleh SDM para petani yang kuat. Rakyat hanya berharap NTT harus hidup dan keluar dari kanker sosial kemiskinan yang telah lama menjalar.
Mungkin suatu saat, orang-orang NTT menjadi lebih kreatif, bukan lagi objek yang dijadikan budak orang-orang bermodal. Pilihan pada pariwisata seperti yang terjadi di Manggarai Barat tidak serta merta melupakan nasib para petani.
Praktik pariwisata tidak boleh massal yang dengan desain liberalisasi ekonomi pasar yang menguntungkan investor-investor asing dan menggeser penduduk lokal ke sudut pembangunan, tetapi harus menjadikan para petani sebagai pelaku pembangunan yang paling aktif. Intinya, pertanian, efek pertanian adalah multiple exit.
Jika kopi di Colol ditingkatkan, maka sektor lain bertumbuh: pendidikan makin baik, sarana transportasi jalan dibuat lebih bagus untuk mencari titik-titik ekonomi, pasar semakin ramah, produk semakin banyak di pasaran dengan harga murah, bisnis makan-minum lancar, transaksi jual-beli semakin aktif, dan akhirnya masalah pasar terjawab: “ekonomi bertumbuh”.
Jika para petani di Manggarai Barat semakin hidup, pariwisata akan semakin baik. Para turis yang datang selalu mempunyai satu niat: “I want to spend my money here”, dan bukan sebagai tempat singgahan belaka.
Pemerintah perlu memiliki political will untuk memberdayakan para petani sebab mereka memiliki anak-anak yang sedang bertumbuh besar dan bersekolah yang akan hidup dan mati di bumi NTT.
Kebanyakan para petani mengeluh anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Tahun 2014 ada 13.787 anak yang putus sekolah, dan lebih dari 50% putus sekolah terjadi karena miskin (tidak punya uang).
Apakah kita tetap menutup mata dengan semua masalah yang diderita para petani dengan segala soal yang saling berkaitan? Mari kita berpikir ulang tentang pertanian. Tentang soal yang terus ditenteng hingga perjalanan ekonomi NTT terbata-bata.
Lalu, hari ini dan esok muncul soal yang lebih besar yang menukik ruang pikir pertanian. Sebagian besar petani kita disesaki orang-orang berusia di atas 40 tahun. Kecenderungan generasi muda hari ini yang meninggalkan pertanian adalah bahaya besar ancaman eksploitasi andalan kita.***
Penulis:
Ambros Leonangung Edu, S.Fil.,M.Pd (Dosen STKIP Santu Paulus Ruteng)
Servasius Jemorang (Mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia, STKIP Santu Paulus Ruteng)