Bajawa, Vox NTT– Aliansi Masyarakat Pejuang Kebenaran (Ampera) Benteng Tawa Raya mengecam keras tindakan Kapolres Manggarai AKBP Marselis Sarimin Karong.
Kapolres Marselis dikecam Ampera lantaran diduga telah melakukan tindakan intimidasi terhadap beberapa tokoh masyarakat Rio Minsi, Desa Benteng Tawa I, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada pada Jumat 23 Juni 2017 lalu.
Daerah tersebut merupakan perbatasan antara Kabupaten Ngada dengan Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
Ketua Ampera Yohanes Donbosko Ponong kepada VoxNtt.com, Jumat (30/6/2017), mengatakan aksi yang dilakukan oleh Kapolres Manggarai beserta seluruh rombongannya saat itu, telah mengganngu suasana keamanan dan ketertiban masyarakat (Kambtibmas) bagi masyarakat di perbatasan.
Menurut Yohanes dia hadir tidak menunjukkan loyalitas aparat yang selalu mengayom dan melindung masyarakat. Kapolres Marselis malah mengancam untuk menangkap dan menembak masyarakat Rio Minsi.
“Ampera ingin tegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kapolres Manggarai sangatlah ngawur dan tidak beretika. Apa yang dilakukan, telah mengganggu psikologis masyarakat di perbatasan,” tegas Yohanes.
Baca: Kapolres Manggarai Bangun Titian di Perbatasan Matim dan Ngada
“Kalau dia punya niat baik harus dilakukan koordinasi bersama pemerintah dua wilayah dan atas instruksi gubernur NTT. Jangan sampai aksi tersebut hanya sekedar tebar pesona, hanya karena menjelang Pilkada Matim 2018, karena kapolres juga salah satu bakal calon bupati,” tambahnya.
Menurut mantan sekjen PMKRI Cabang Ende itu, pagar di perbatasan Matim dan Ngada tidak bisa dimaknai dari aspek mobilitas ekonomi dan aspek transportasi semata.
Tetapi mesti harus dilihat dari aspek humanis masyarakat Rio Minsi dan keutuhan etnis Riung kabupaten Ngada secara penuh.
Dia menjelaskan kehadiran SK Gubernur Ben Mboy Nomor 22 Tahun 1973 telah mencaplok sebagian wilayah etnis Riung dan sudah secara otomatis telah melecehkan martabat, serta warisan leluhur masyarakat Riung.
“Jadi yang masyarakat pagar harus dimaknai oleh Kapolres Manggarai bahwa, masyarakat ingin Gubernur NTT segera ke lokasi di Bakit, karena SK Tahun 1973 itu cacat proses dan cacat hukum,” tegas Yohanes.
Dikatakan, Kapolres Marselis tidak boleh menjadikan patokan SK tersebut seperti buku Injil atau Alkitab.
“UUD 1945 sudah diamandemen beberapa kali. Apalagi sekelas SK Gubernur,” ujar Yohanes.
Divisi Advokasi Ampera Donatus Bon mengatakan, tindakan yang dilakukan oleh kapolres Manggarai mencerminkan ia masih hidup di rezim orde baru.
Sebab, kata dia, dia seenaknya mengeluarkan kalimat ancaman ‘tangkap’ dan ‘tembak’.
Terhadap pernyataan Kapolres Marselis ini, Ampera berjanji akan membuat surat resmi ke Kapolri, Kompolnas, dan Kapolda NTT.
“Ampera minta Kapolri melalui Kapolda NTT agar segera copot Kapolres Manggarai, karena jabatannya sudah politisasi untuk kepentingan Pilkada,” tegas Don Bon.
Terpisah, Alo Sara salah satu tokoh masyarakat Rio Minsi yang pada saat itu berada di lokasi membenarkan adanya ancaman dari Kapolres Manggarai dengan menyebut ‘tangkap’ dan ‘tembak’.
“Hari ini kami buka pagar dan bangun titian. Apabila besok saya datang lagi sudah bongkar, saya akan tangkap dan tembak,” kata Alo Sara meniru meniru ucapan Kapolres Manggarai kala itu.
Sementara itu, Kapolres Manggarai AKBP Marselis Sarimin Karong yang dihubungi melalui telepon genggamnya, Senin (3/7/2017), membantah telah melakukan pengancaman terhadap masyarakat Rio Minsi, Desa Benteng Tawa I tersebut.
Kapolres mengatakan, ia hanya meminta warga di dua daerah itu untuk sama-sama saling menjaga Kantibmas.
Menurut Marselis titian di wilayah itu yang ia bangun bersama anggota lainnya hanya untuk membuka kembali akses penghubung daerah Matim dan Ngada. Sebab, selama ini warga di wilayah perbatasan tidak bisa melintasi jalur tersebut.
“Karena warga di perbatasan itu, baik dari Ngada maupun dari Manggarai Timur, Kalau mau lewat harus bayar Rp 50.000 per kendaraan. Kalau PP (Pergi-Pulang) harus siapkan Rp100.000,” katanya. (Arkadius Togo/VoN)