Bajawa, Vox NTT-Konflik di Desa Bowali, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada masuki babak baru. Inilah babak paling solutif karena tidak ada pihak yang dikalahkan dan dimenangkan.
Dikatakan solutif karena dana desa tahap pertama yang semula terancam tak cair, kini semua pihak boleh mengelus dada legah.
Sebulan lebih, perang urat saraf antara Forum Masyarakat Peduli Bowali (FMPB) dengan Pemerintahan Desa seperti menemui jalan buntu yang sulit diselesaikan.
Jalan buntu, karena forum Musrembangdes desa itu telah menetapkan mengontrak lahan yang akan dilanjutkan dengan penggusuran lahan dinilai mengangkangi regulasi.
Keputusan itu menuai protes warga yang tergabung dalam FMPB. Forum ini meminta Kepala Desa Bowali Fransiskus Anameo yang didukung Ketua BPD Kosmas Rani Geli agar membatalkan.
Aspirasi yang juga dikuatkan dengan pernyataan sikap ditandatangani lebih 80 warga itu ditembuskan ke instansi terkait, yakni BPMD P3A Kabupaten Ngada.
Baca: Ini Rincian Dana yang Dikucurkan ke Desa Bowali Tahun 2017
Uniknya, kedua pihak yang ‘konflik’, FMPB-Pemerintahan Desa Bowali melalui kepala desanya menyikapi keputusan mengontrak lahan merujuk pada aturan perundang-undangan yang sama, yakni UU No 16 tahun 2016 dan Permendagri No 1 tahun 2016 yang mengatur tentang pengelolaan aset desa.
Namun, dari rujukan yang sama melahirkan persepsi yang berbeda dan ujung-ujungnya mencapai pemahaman berbeda hingga pengambilan keputusan yang berbeda pula.
FMPB melalui ketuanya Agustinus M. Th. Bhae mengatakan penetapan kontrak lahan milik suku Gero untuk lapangan sepak bola dalam jangka waktu tertentu dinilai telah melanggar UU No 6 tahun 2016 tentang desa, dan tidak sesuai dengan Permendagri No 1 tahun 2016 tentang pengelolaan aset desa.
Kepala desa Bowali, Fransiskus Ana Meo yang didukung penuh Ketua BPD Kosmas Rani Geli mengemukakan keputusan/penetapan kontrak itu sudah sesuai dengan ketentuan yang disebutkan itu.
Bahkan, Kades Fransiskus Ana Meo sangat yakin tidak melanggar Undang-undang dan Permendagri sebagaimana dimaksud.
Baca: Kelola Dana Desa, Kades Bowali Sebut Tidak Ada yang Salah
Pihaknya sudah mencermati ketentuan yang mengatur sebelum menetapkan melalui Musrembangdes. Malah, kata dia, untuk memuluskan rencananya mengontrak lahan untuk lapangan sepak bola itu, secara hukum telah melalui kajian yang melibatkan pihak Kejaksaan Negeri Ngada di Bajawa menyangkut draf perjanjian.
Namun alasan Kepala Desa Frans Ana Meo dinilai tidak logis, karena esensi penetapan itu tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Bahkan, oleh FMPB, Frans Ana Meo dilai telah melanggar regulasi sehinga keputusan itu harus dibatalkan.
Perseteruan dua kubu di Bowali lebih dari sebulan itu telah menguras tenaga dan pikiran bukan hanya di Bowali, tetapi melibatkan instansi terkait di atasnya untuk turun menyelesaikan konflik.
Instasi itu di antaranya Pemerintahan Kecamatan Bajawa, Dinas PMD P3A, Kejaksaan Negeri Ngada, Asisten 2 Setda Ngada Hironimus Reba, hingga ‘memaksa’ Komisi 1 DPRD Ngada ikut turun.
Setelah sejumlah intansi turun ke lokasi, dapat dipahami jika ada protes dari elemen masyarakat, termasuk dari Suku Gero, karena lokasi yang akan dikontrak untuk lapangan sepak bola terdapat situs budaya seperti ngadhu, bhaga, kisanata dan batu megalit.
Jika dipaksakan hanya akan merugikan Suku Gero dan mengancam kelestarian situs kampung adat mereka. Dari kondisi ini dapat dipahami jika kemudian ada warga yang tidak setuju.
Alasan lain, bahwa nomenklatur kontrak tidak diatur dalam regulasi sehingga akan menyulitkan proses selanjutnya dan dinilai pelanggar UU. Dan untuk ini, siapa yang harus mengambil resiko.
Konflik yang telah memusingkan kepala para pihak, lebih khusus Dinas PMD P3A itu kemudian seperti menjadi benderang.
Baca: Gunakan Dana Desa untuk Kontrak Lapangan Sepak Bola, Warga Bowali Protes
Melihat aset itu tidak bisa dihibah apalagi dijual karena ada situs perkampungan adat, maka jalan tengah yang disarankan pihak Dinas PMD P3A adalah mengubah nomenklatur.
Sehingga berubah bukan lagi mengontrak lahan untuk lapangan sepak bola tetapi penataan perkampungan adat.
“Ketika kami turun ke lokasi, di sana terdapat ngadhu, bhaga, kisanata dan batu megalit. Melihat situs itu, kami terus berpikir, kenapa tidak munculkan saja nomenklatur berupa ‘penataan perkampungan adat’. Kalau yang seperti ini malah dianjurkan dalam regulasi. Terkait dengan penataan itu kemudian baru diplot misalnya mana kawasan kampung, MCK, lapangan dan fasilias pendukung lain yang diperlukan terkait dengan peruntukan perkampungan adat,” kata Sekretaris Dinas PMD P3A, Fabianus Sebastianus Pesek, menjawab awak media belum lama ini.
Fabianus yang didampingi Kasi Pemdes dan Kelembagaan , Bernardus H. Tage, mengatakan justru dengan penataan perkampungan manfaat yang didapat untuk desa jauh lebih besar.
Dia menjelaskan, melihat lokasi ini berada di dekat jalan utama Bajawa menuju Bandara dan di sana juga ada obyek wisata air panas Mengeruda.
Nah, dengan ditata situs budaya ini ke depan dibenahi kembali perkampungan adat bisa menjadi daya tarik wisata dan dapat disinggahi wisatawan misalnya.
Tetapi sebenarnya penataan kampung adat sebagaimana amanat regulasi terkait erat dengan pengembangan budaya dan nilai kearifan bangsa.
Dan ke depan, tambah Bernardus yang mendampingi Fabianus, sebagaimana amanat regulasi, desa diharapkan mampu menggali potensi di masing-masing desa.
Karena kalau untuk fasilitas umum, tanah harus disediakan oleh desa baik dalam bentuk hibah maupun jual beli, asalkan bukan kontrak. Tetapi kalau penataan, maka ini akan dimanfaat untuk kepentingan bersama.
“Setelah kita lihat kondisi ril di lapangan, makanya kita sarankan nomenklatur tidak lagi mengontrak lahan untuk lapangan sepak bola, tetapi berubah menjadi penataan perkampungan adat. Dan ternyata saran kami diterima baik oleh desa maupun forum,” tambah Bernardus.
Dengan perubahan nomenklatur ini, maka sudah jelas keputusan desa melalui musrembangdes tentang kontrak lahan dibatalkan.
Penataan kampung tradisional bertujuan untuk pelestarian adat dan nilai budaya, menjadi keputusan yang disepakati untuk dikerjakan dengan biaya dari dana desa yang sudah diplot sebesar Rp 320 juta.
Terkait dengan itu, maka Rabu 14 Mei lalu telah dilakukan musyawarah khusus desa untuk menetapkan keputusan baru setelah perubahan nomenklatur.
Terkait dengan munculnya kasus ini, Fabianus mengatakan ini menjadi pelajaran berharga baik bagi desa Bowali maupun desa lainnya.
Karena itu, dia menekankan pentingnya komunikasi dalam mendialogkan berbagai persoalan muncul di masyarakat sehingga konflik bisa diminimalisir.
Dia juga berharap ke depan masing-masing desa perlu mengenal potensi desanya, sehingga dalam proses perencanaan hingga pengambilan keputusan dapat berproses secara baik tanpa hambatan.
“Kita harap ke depan desa fokus pada program yang membawa dampak luas kepada masyarakat, bukan fokus pada kegiatan. Konflik yang terjadi memang menunjukkan bahwa banyak yang cenderung melihat kegiatan daripada program dalam pembangunan di desa. Misalnya fokus pada kontrak lahan untuk lapangan sepak bola. Padahal di situ ada potensi lain yang jika dikemas dalam program pembangunan akan banyak manfaatnya. Bahwa kemudian ada tempat yang ditata/digusur kemudian dimanfaat untuk tempat kumpul anak muda itu silahkan,” jelas Fabianus.
Dalam pantauan VoxNtt.com, belum lama ini lokasi yang semula sudah ditetapkan untuk dikontrak untuk digusur menjadi lapangan sepak bola letaknya bersebelahan dengan situs kampung adat Suku Gero.
Terhadap rencana itu, sebagian bambu di bekas kampung lama itu sudah ditebang. Namun penebangan dihentikan sementara karena sempat ada konflik yang kemudian disusul dengan perubahan nomenklatur keputusan dengan penataan kampung adat.
Situs kampung adat ini menurut penuturan Niko Ta’a, salah seorang warga yang kini membangun rumah di tempat itu masih terawat meski sudah ditinggal oleh warga yang pindah sejak zaman Pemerintah Bupati Jan Jos Botha ke Pape.
Di areal dengan situs seperti ngadhu, bhaga dan kisanata serta batu megalit masih asri itu, kata Niko yang mengaku berasal dari Pape namun menikah ke Bowali ada dua kampung, yakni kampung Boba Gero dan kampung Ebu Mita Gero.
Oleh desa, pasca perubahan nomenklatur pembangunan kawasan ini akan ditata menjadi perkampungan adat sama seperti kampung adat di kampung-kampung lain.
Dengan penataan ini membawa dampak positif bagi Desa Bowali, karena selain aspek pengembangan seni dan budaya tetapi dapat dijadikan tujuan wisata, apalagi kawasan ini terletak dekat jalan utama dari dan ke bandara Soa.
Bahkan, kini Desa Bowali sebagaimana terungkap dalam musyawarah khusus desa ternyata ada empat kampung adat yang ke depan akan dialokasikan dari dana desa guna penataan kembali sehingga terpelihara dengan baik.
Terhadap rencana itu, Niko Ta’a mengaku gembira jika kampung nenek moyangnya yang sudah ditinggal puluhan tahun itu ditata kembali.
Ia mengatakan baru saja membangun rumah di kampung itu, karena tidak ada tempat yang representatif untuk membangun rumah.
“Baik sekali kalau ini kampung diatur lebih baik lagi,” ungkap Niko
Meski sudah lama, kampung yang masih terlihat ada ture itu terlihat terpelihara. Hanya di bekas kampung terlihat rumpur-rumput tumbuh disana-sini, tetapi tidak sampai tumbuh semak belukar.
Kata Niko, dirinya masih sering bersihkan kampung itu.
Jalan lain mengatasi kebuntuhan konflik di Bowali adalah penataan kampung adat, bukan kontrak lahan yang menuai masalah dan mengangkangi regulasi itu.
Ini memang menjadi jalan tengah alias babak paling solutif yang membawa manfaat besar untuk masyarakat Bowali.
Pihak yang berseteru pun tidak ada yang merasa dikalahkan dan dimenangkan. Dan keputusan solutif itu berakhir dengan digelarnya musyawarh khusus desa yang melibatkan semua pihak di desa itu.
Dengan demikian masalah selesai, tidak melanggar regulasi dan dana desa tahap pertama tahun 2017 pun dapat dicairkan tepat waktu. (Arkadius Togo/VoN)