Oleh: Alfred Tuname
“Democracy is on the march in the world today”, demikian tulis Gerry Mackie dalam bukunya berjudul “Democracy Defended” (2004). Seperti sebuah parade, demokrasi sedang dirayakan oleh masyarakat dunia. Dalam perayaan itu, musuh-musuh demokrasi diruntuhkan dengan cara apa pun.
Lihat saja kedigdayaan negara sosialis Uni Soviet, ia runtuh menjadi keping-keping negara Balkan. Jadilah Rusia yang sigap merayakan demokrasi. Rusia kini menjadi negara demokratis yang disegani bangsa-bangsa di dunia.
Demokrasi menjadi jaminan kebelangsungan hidup bersama dan kebebasan meramaikan ruang publik dengan apresisasi atau pun kritik. Semua orang berhak punya akses atas ruang publik, asal rasional dan beretika.
Mackie menulis, “dengan demokrasi, setiap orang bebas dan sama untuk terlibat dan berkomunikasi di ruang publik”. Atas nama demokrasi itulah publik punya hak akses atas perbincangan ruang publik dan mendapatkan informasi yang akurat.
Kecanggihan teknologi informasi tumbuh bersamaan dengan arus parade demokrasi. Dengan kemudahan dan kecanggihan itu, portal-portal berita online tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Media online dibuat dengan segala motif kepentingan masing-masing. Motif politik, ekonomi, sosial budaya berkelindan tumpuk dalam media online.
Poin positifnya, pertama, informasi bisa muncul dari segala perspekif. Kedua, sebaran informasi bisa menjangkau secara luas. Ketiga, ada voice of voiceless sebagai bagian dari partisipasi politis publik. Keempat, kesadaran literasi dengan menulis kian menjamur untuk segala lapisan.
Intinya, bermedia berarti memperluas wawasan dan mempegaruhi kebijakan publik. Di situ, media tidak hanya berperan informatif, tetapi juga sebagai “watchdog” yang mengawasi kebijakan pemerintah demi kebaikan persama. Bermedia berarti tanda berdemokrasi. Tanpa media, kita masih hidup di era diktator totalitarian.
Oleh karena itu, media sebagai kerja jurnalisme profetik harus benar-benar mampu mengeja zaman, menggugah nurani dan (bila perlu) membentak pemerintah lalim atau elite yang korup. Hanya media-lah yang mampu menembus batas antara terang dan gelap; isu dan fakta.
Publik akan terhentak bila media berpihak pada fakta. Publik akan tercerahkan bila jurnalis menulis benar. Orang membuka media bukan sekadar untuk membaca informasi, melainkan menggunakan informasi sebagai bekal urusan-urusan publik. Ketercerahan publik akan berujung pada tindakan politik yang demokratis.
Thomas Jafferson pernah mengatakan, “the man who reads nothing at all is better educated than the man who reads nothing but newspaper”. Itu berarti membaca media mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang. Di sinilah literasi media menjadi sangat penting demi kehidupan peradaban yang demokratis.
Literasi media tidak hanya soal isi informasi, melainkan juga soal “gaya” dan sistematika dalam menyajikan informasi kepada publik pembaca.
Keterjebakan media online ada dalam persoalan gaya penyajian tersebut. Jurnalisme media online yang sesak dengan ketergesaan dan “stright news”, seringkali luput memperhatikan persoalan bahasa. Banyak tulisan berita terlepas dari “ejaan yang disempurnakan”.
Kalimat berita kadang tidak memperhatikan posisi subyek, predikat, obyek dan keterangan. Jika publik membaca dengan teliti, penulisan berita hanya terdiri dari subyek, sebab predikat tidak ditemukan. Memang ada faktor ketergesaan dalam menulis sehingga sehingga gramatika penulisan pun luput dari perhatian.
Kesalahan gramatika penulisan pun berujung pada kesalahan pemahaman atas isi berita. Media online yang sama sekali tidak mempedulikan penulisan yang baik dan benar akan hanya menyesatkan pembaca. Kesalahan informasi seringkali bermula dari kesalahan penulisan berita.
Selain itu, sisi edukatif media harus dimulai penulisan yang baik dan benar. Ujung tombak bahasa Indonesia (juga) ada di “pundak” media. Media mestinya ditulis dengan baik dan benar dengan memperhatikan semua unsur berbahasa Indonesia.
Karena setiap kata itu punya roh dan makna, maka pilihan kata (diksi) pun penting untuk diperhatikan. Pada kata-lah pembaca mengurai isi berita. Selain itu, penempatan tanda baca sangat penting untuk dilihat.
Tanda baca itu berkaitan dengan logika dan nafas pembaca. Tanpa tanda baca, sebuah kalimat berita akan menjadi rancu. Kalimat berita yang panjang dengan anak kalimat yang beruntut akan membuat pembaca jadi “putus nafas”. Sebab, tak ada jeda dalam kalimat berita yang ditulis.
Memang target media online adalah para pembaca cepat, pembaca yang sekali baca berita langsung paham. Akan tetapi, media yang bertanggung jawab adalah media yang memenuhi etika jurnalistik dan etika berbahasa Indonesia.
Isi berita memang sesuai dengan politik redaksi sebuah media, tetapi penyajian berita perlu memperhatikan kelangsungan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Demokrasi di Indonesia membutuhkan media yang bertanggung jawab. Begitulah juga media online. Media merupakan salah satu pilar demokrasi. Oleh karena itu, media mestinya juga berpegang pada nilai-nilai demokratis (baca:etika).
Media hari ini mesti melepaskan diri dari pesan sinistik Mahatma Gandhi ketika ia mengatakan, “i believe in equality for everyone, except reporters and photographers”.
Kesamaan hak melibatkan diri dalam proses berdemokrasi, media online harus memperhatikan hak publik atas informasi yang benar dan penulisan berita yang baik dan benar. Derajat demokrasi Indonesia juga ada pada media yang melakonkannya.
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia