Kefamenanu, Vox NTT-Di tengah trend fashion modern yang sedang menggeliat, kita sepertinya lupa bahwa masyarakat lokal menyimpan sejuta pesona yang tak kala menarik dan layak dijual.
Daya tarik estetika busana modern nyatanya lebih mempesona ketimbang tenun lokal yang beragam khususnya di NTT.
Meski terus dihempas trend budaya populer tersebut, nyatanya geliat tenun ikat di NTT tetap eksis bertahan dari waktu ke waktu.
Kebiasaan menenun terus dilestarikan dalam kebudayaan masyarakat Fafinesu A, Kecematan Insana Fafinesu, Kabupaten TTU.
Saya sendiri mengalami langsung tamasya kebudayaan tradisional yang mengagumkan ini.
Kesempatan sepekan dua hari (1-9 Juli 2017) hidup bersama kelompok penenun di daerah ini sungguh luar biasa.
Saya diterima dengan baik, mengalami irama hidup mereka dan akhirnya tertarik dengan berbagai momen dan suasana yang khas.
Kamis, 6 Juli 2017 saya bertemu dengan seorang ibu bernama Maxima Safe yang sedang menenun di bawah naungan pohon asam di belakang rumahnya di desa Fafinesu A, RT 7, RW 2 , kecamatan Insana Fafinesu. Ia sudah bisa menenun sejak tamat SD.
“Karena tidak lanjut sekolah maka saya mulai belajar menenun. Akhirnya saya bisa hidup hanya dengan menenun,” tutur ibu Ima.
Satu kain tenun berhasil dikerjakan dalam waktu dua atau tiga hari. Waktu satu minggu dapat dua kain tenun.
Sekali jual dapat meraup keuntungan Rp 400.000/500.000. Karena itu kegiatan menenun, selain mempertahankan tradisi juga dapat menjadi mata pencaharian masyarakat yang dapat menunjang kehidupan ekonomi keluarga.
“Saya menenun supaya bisa dapat uang. Uang saya gunakan memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya,” kata ibu ima sambil tersenyum.
Selain ibu-ibu, anak sekolah juga bisa menenun. Mereka menenun waktu liburan atau sepulang sekolah untuk melanjutkan tenunan orang tua mereka.
Tetapi pada umunya mereka mulai mandiri menenun. “Dulu saya melanjutkan tenunan orang tua, tetapi setelah banyak belajar dan praktik akhirnya saya sudah bisa menenun sendiri. Kalau ada kesulitan saya meminta bantuan mama saya,” cerita Erlin, seorang siswi kelas VIII SMP St. Yosef Maubesi.
Dalam wawancara sederhana bersama ibu Maxima Safe saya memperoleh sedikit pengatahuan mengenai tahap-tahap dalam menenun.
Tahap pertama, naun abas yaitu tahap menggulung benang menggunakan alat yang disebut niso.
Tahap kedua, noon yaitu tahap membentuk motif seperti beti untuk perempuan dan tais untuk laki-laki.
Tahap ketiga, teun yaitu tahap menenun. Menenun kain untuk laki-laki disebut teun tais dan untuk perempuan teun bete. Tahap keempat adalah menjahit kain yang sudah ditenun. Dengan menjahit maka selesailah proses menenun itu.
Desa Fafinesu A meliputi Obe A, Obe B, dan Obe C, terletak 3 KM dari jalan utama.
Salah satu kekhasan dari desa ini adalah menenun dan daerah penghasil alkohol atau dikenal dengan istilah tuanakaf Insana.
Kerajinana tenun berlaku untuk semua perempuan di desa ini. Setiap hari kita menyaksikan mereka menenun di lopo-lopo yang ada di depan rumah atau di tempat yang tepat seperti teras rumah atau di bawah naungan.
Tenun ikat Desa Fafinesu A memiliki ciri khas khusus seperti lotis, sotis, futus, dan bunak. Jenis kain pun ada yang kecil dan besar.
Yang kecil disebut bet ana dan yang besar disebut bête naek. Bête naek diikat sebagai bawahan dikombinasikan dengan kemeja, sedang bet ana dikalung di leher bila mengikuti peretemuan-pertemuan adat atau peretemuan resmi lainnya.
Tenun ikat Desa Fafinesu A adalah gambaran keutuhan tradisi dan budaya lokal yang menghidupkan religiositas dan harmoni hidup bersama.
Tenun ikat adalah warisan tradisi yang harus dijaga kelestariannya. Sebab menjaga kearifan lokal-menenun adalah usaha mempertahankan tradisi dan memberi jawaban terhadap tantangan budaya fashion modern.
Atas dasar ini, Kepala Desa Fafinesu A, Bapak Petrus Fanu menyatakan bahwa kita harus mempertahankan tradisi dan terus memotivasi anak-anak kita supaya bisa menenun.
Menenun adalah detak jantung budaya; budaya itulah yang membuat kita menjadi sungguh-sungguh manusia.
Penulis: Edy Soge Ef Er, novisiat SVD Nenuk, Atambua
Editor: Irvan K