Editorial:
Redaksi, Vox NTT- Sekolah Dasar Negeri (SDN) Wangkung Desa Sita Kecamatan Rana Mese Kabupaten Manggarai Timur (Matim) sontak menjadi perhatian publik beberapa hari terakhir.
Betapa tidak, pasca VoxNtt.com memberitakan dugaan penggelapan bantuan dana Program Indonesia Pintar (PIP) tahap 18, 19, dan 25 tahun 2016 lalu oleh Kepala SDN Wangkung, Markus Minggu publik terus berburu membacanya.
Totalnya pun tidak main-main yakni berjumlah Rp 26.575.000 dari 69 siswa penerima.
Berita pertama berjudul: Kepsek SDN Wangkung Rana Mese Diduga Gelapkan Dana PIP Sebesar Rp 22 Juta dipublikasi pada 19 Juli 2017.
Statistik page views menunjukkan hingga pukul 01.00 Wita, 25 Juli 2017 berita tersebut sudah dikunjungi sebanyak 710 kali. Hal ini tentu saja tergolong banyak pembaca dan traffic kunjungan terus mengalami peningkatan.
Selanjuntnya, berita kedua terkait kasus dugaan korupsi ini yakni berjudul: Kepala SDN Wangkung Diduga Gelapkan Dana PIP, Orangtua Siswa Minta Pemkab Matim Tindak Tegas. Berita ini diposting pada tanggal 23 Juli 2017.
Statistik page views menunjukkan hingga pukul 01.00 Wita, 25 Juli 2017 dikunjungi sebanyak 208 kali.
Berita ini diposting bukan tanpa alasan. Kabarnya, sejumlah orangtua murid SDN Wangkung menemukan bukti bahwa Kepsek Markus sudah mencairkan dana bantuan PIP di Bank BRI Borong pada 9 Februari 2017 lalu.
Kepada media massa para orangtua murid tersebut membeberkan bukti berita acara serah terima kepada Kepsek Markus dari Bank BRI.
Namun anehnya, uang tersebut tidak dibagikan kepada siswa SDN Wangkung yang berhak menerimanya.
Pada Senin, 24 Juli 2017, sejumlah orangtua murid penerima bantuan PIP melakukan pertemuan dengan Kepsek Markus di salah satu ruang kelas SDN Wangkung.
Di hadapan orangtua murid, Kepsek Markus mengakui kelalaiannya melambatkan pembagian bantuan PIP tahun 2016 tahap 18, 19, dan 25.
Uang tersebut berjumlah Rp 26.775.000 dari total 69 siswa penerima bantuan dari pemerintah pusat tersebut.
Kepsek Markus juga tidak menampik kebenaran pemberitaan media massa selama ini tentang dugaan penggelapan dana tersebut.
Menurut dia, pemberitaan media massa yang menulis dirinya melakukan penggelapan dana PIP benar adanya karena sesuai dengan data.
Atas hal itu, pada Senin siang pihaknya telah membagikan dana PIP sejumlah Rp 26.775.000 kepada para siswa yang berhak menerima bantuan tersebut.
“Ada pun data-data tambahan yang muncul itu semua terjadi karena kelalaian saya. Dan saya sudah mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya menurut tradisi Manggarai,” tukas Kepsek Markus.
“Dalam bentuk kepok (penerimaan dan permintaan maaf secara adat Manggarai) yang disimbolkan dengan tuak (arak) dan rokok. Dan itu sudah diterima oleh orangtua. Semua kekeliruan saya sudah dihapuskan. Dengan demikian berita yang selama ini menyebar di media sudah terklarifikasi,” katanya.
Baca: Buntut dari Dugaan Penggelapan Dana PIP di SDN Wangkung
Kepsek Markus memang sudah meminta maaf secara adat Manggarai atas kelalaiannya. Ia juga sudah membagikan uang tersebut kepada siswa penerima.
Namun pertanyaan refletifnya, apakah Kepsek Markus membagikannya bukan karena ada desakan orangtua siswa? Bagaimana jika ulahnya itu luput dari pantauan media massa?
Jika saja pola pikir kita saat ini sedang berandai-andai, bahwa perbuatan Kepsek Markus tergolong korupsi maka fungsi adat menjadi dilema dalam spirit pemberatasan korupsi.
Kendati kepok minta maaf ini tujuannya mulia, namun tentu saja dengan sendirinya tindak pidana korupsi dihilangkan. Sebab, antara orangtua murid dan Kepsek Markus sudah saling memaafkan dan menerima atas perbuatan tersebut.
Dalam Undang-undang tindak pidana korupsi Nomor 20 Tahun 2001, ulah Kepsek Markus tersebut sudah diatur dengan jelas.
Pasal 4 Undang-undang Tipikor ini menegaskan bahwa pengembalian kerugian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Ini ketika kita sedang berandai masalah tersebut sedang ditangani pihak penegak hukum.
Dalam konteks tersebut, adat Manggarai memang menjadi preseden buruk bagi penegakkan tindak pidana korupsi.
Parahnya, jika banyak orang yang melakukan perbuatan yang sama namun berbuntut permintaan maaf lewat adat Manggarai itu, maka harus dipercaya makin banyak lagi orang melakukan tindak pidana korupsi.
Karena itu, belajar dari kasus Kepsek Markus adat menjadi penghalang bagi penegakkan korupsi. Ke depan hendaknya peristiwa serupa harus menjadi permenungan bagi aparat penegak hukum, terutama untuk membebaskan bangsa ini dari extra ordinary crime yang namanya korupsi itu. ***
Oleh: Adrianus Aba, Staf Redaksi VoxNtt.com