Oleh: Inosentius Mansur
Beberapa waktu lalu (18/7), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyelenggarakan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2017 di Jakarta (Kompas,19/7/2017).
Apa yang dilakukan ini, menegaskan betapa sastra telah, sedang dan akan terus menjadi matra penting dalam kehidupan berbangsa kita. Sastra bisa merawat ke-Indonesiaan kita dan mampu memaklumkan bangsa Indonesia ke dunia Internasional.
Sastra juga bisa menjadi instrumen yang berdaya liberatif. Dalam tulisan ini, saya tertarik untuk mengelaborasi sastra dari perspektif sosio-politik. Tesis dasar tulisan ini adalah satra bisa menjalankan peran advocatus diaboli.
Melampaui Seni Berkata dan Kata-kata Seni
Terminologi advocatus diaboli memiliki arti sebagai “setan pengganggu”. Dalam tulisan ini, advocatus diaboli lebih dikaitkan dengan orang yang ditugaskan untuk “mengganggu” atau menyampikan ‘argumen perlawanan’ (Marwoto&Witdarmono, 2014).
Saya coba mengidentikan sastra dengan subyek (orang) yang tugasnya adalah “mengganggu” tersebut dan menyampaikan argumen kritis. Bahwasannya sastra, sebenarnya bisa menjadi “sarana” untuk “mengganggu” berbagai kebijakan sosial yang acapkali salah kaprah.
Sastra, tak hanya tentang seni berkata ataupu berkata-kata secara seni, ataupun deretan ucapan-upacan dan kata-kata seni, tetapi juga tentang seni mengelaborasi dan mengelola segala problem sosial-politik lewat rangkaian kata-kata seni.
Ia berusaha untuk mengatakan secara elok – terkadang sarkastik – tentang apa yang “tak elok” untuk dilihat. Dengan begitulah, sastra bisa memainkan peran advocatus diaboli.
Dalam menjalankan peran advocatus diaboli, ada tiga hal yang perlu dijabarkan dalam dan melalui karya sastra.
Advocatif dan Matra Alternatif
Pertama, mengadvokasi hak rakyat. Kondisi masyarakat tertentu, bisa diketahui dari karya sastra, karena sastra selalu merupakan cerminan dari fakta masyarakat dengan memasukkan unsur fiksi didalamnya (Wellek dan Warren, 2014).
Sastra dianggap seperti roh leluhur, yang tidak berumah dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. tetapi bisa diundang – dengan ilham dan kreativitas – dan diwadahkan dalam bentuk material dalam bentuk karya sastra di dunia untuk memberi wejangan dan menyelamatkan manusia dari roh jahat, angkara murka, penindasan penguasa atau ketidakadilan sosial (Heryanto, 1984).
Maka, sebuah imperatif etiknya adalah sastra tak boleh eksklusif apalagi “masao bodoh”, tetapi selalu terbuka dan membuka diri terhadap realitas dan harus membuka tabir kegelapan hidup yang disebabkan oleh hegemoni tertentu.
Sebagai sarana advocatus diaboli yang mengadvokasi hak rakyat, sastra harus membela kepentingan rakyat dari berbagai bentuk marginalisasi sosial-publik. Sastra tidak boleh membiarkan rakyat ditindas.
Sastra selalu kritis terhadap penguasa ataupun elite-elite politik. Saat rakyat tidak mampu berkata, maka sastra harus mengatakan apa yang tak terkatakan itu.
Saat rakyat (di)bungkam, sastra harus menjadi ruang atau menyediakan ruang bagi mereka untuk berbicara jujur, berbicara bebas tanpa represi.
Saat rakyat dilokalisir dan menjadi “kerbau bercocok hidung”, sastra harus tampil menyerukan pekikan perlawanan. Untuk maksud mulia ini, sensibilitas sosial sastrawan amat dibutuhkan.
Dia harus menjadi sastrawan kreatif, yang memperhatikan lingkungannya (Heryanto Budiman, 1985). Di sini, sastra(wan) harus berperan manifestasi dan artikulatif, mengakomodir suara kaum tak bersuara.
Tepatlah kata-kata Sapardi Djoko Damono (1999): “satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih bersungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya” .
Kedua, sastra sebagai “entitas alternatif”. Agar bisa mengadvokasi hak rakyat, maka fokus elaborasi sastra adalah realitas (keprihatinan) sosial. Karena itu, perlu untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai sastra kontekstual (Ibid).
Sastra kontekstual adalah sastra yang menulis dan berbicara tentang konteks masyarakat (lokal) tertentu. Sastranya terlahir dari permenungan tentang problem sosial. “Helaan nafas” sastra adalah kegelisahan-kegelisahan sosial. “Detak nadi” sastra adalah keprihatinan-keprihatinan sosial. Hal ini berlaku pula untuk sastra NTT.
Ada banyak persoalan yang mesti menjadi titik acuan sastra seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, human trafficking, disparitas sosial, ketimpangan pembangunan, problem kesehatan, ketiadaan sense of crisis.
Adalah amat bagus jika persoalan-persoalan ini menjadi titik tolak dan titik tuju atau katakanlah menjadi tema sastra dan juga tema kritik sastra.
Di saat peran elite politik seringkali tidak representatif dan bahkan kontra-publik, maka sastra bisa menjadi “entitas alternatif” yang berusaha untuk selalu peduli dan selalu memberikan kritik konstruktif.
Peran seperti ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial-politik sastra juga peringatan terhadap elite sosial-politik/pemerintah dan juga demi penguatan civil society. Dengan begitu, sastra bisa membuka wacana diskursus sosial dan menjadi ruang kolektif-kritis dimana rakyat bisa berpartisipasi di dalamnya.
Ya, saat peran representatif para elite politik tidak maksimal, sastra bisa menjadi solusinya. Sastra adalah “kawan” sekaligus “lawan” elite politik. Meskipun – kita tahu itu – sastra itu tetaplah kumpulan kita. Tetapi kata selalu lebih tajam dari pedang bermata dua.
Penulis adalah Penyuka sastra dan pemerhati sosial dari Ritapiret, Maumere