Ruteng, Vox NTT- Ratusan masyarakat Weol-Cancar, Kecamatan Ruteng dari berbagai klan menyambangi kantor DPRD Manggarai, Senin (4/9/2017).
Pantauan VoxNtt.com, warga yang lengkap dengan pakaian adat Manggarai itu tiba sekitar pukul 10.30 Wita.
Arak-arakan 13 mobil dump truck yang mereka tumpangi turut menyita perhatian masyarakat sekitar kantor dewan. Mobil-mobil itu kemudian memadati jalan utama di depan kantor DPRD Manggarai.
Di depan truk-truk itu, terdapat satu unit mobil angkutan kota berwarna merah palang biru sebagai pemandu, dengan dipasangi speaker kemudian disoraki lagu-lagu.
Jelang beberapa saat berada di pelataran kantor itu, warga kemudian masuk di ruangan lobi dan diterima oleh Wakil Ketua I DPRD Manggarai, Paulus Peos.
Selain itu, sejumlah anggota Komisi C seperti Marsel Nagus Ahang, Paulus So, Rafael Nanggur, dan Simon Wajong ikut mendampingi Wakil Ketua untuk menerima ratusan warga tersebut.
Warga mengaku dengan penuh kesadaran datang ke kantor DPRD Manggarai untuk meminta dewan segera mempertemukan mereka dengan Kapolres Manggarai, AKBP Marselis Sarimin Karong dan Bupati Manggarai, Deno Kamelus.
Permintaan mereka untuk bertemu dengan pihak-pihak itu bukan tanpa alasan. Penutupan lokasi galian pasir di Weol pekan lalu oleh pihak Polres Manggarai menjadi pemicunya.
Warga mengaku, aksi penutupan lokasi galian pasir Weol seakan mereka disambar petir di siang bolong. Sebab, sebelumnya mereka tidak pernah mendapatkan sosilisasi oleh instansi terkait, baik dari pemerintah maupun kepolisian.
“Sejak tahun 1980 kami sudah kerja gali pasir Weol. Sejak itu tidak terjadi apa-apa, apalagi penutupan. Dua minggu lalu kami kaget tiba-tiba dipasang garis polisi. Mengapa pasir kami ditutup tanpa ada sosialisasi sebelumnya?,” ujar Ande Larus, salah satu tua adat Weol di hadapan Paulus Peos dan kawan-kawan.
Setelah ditutup polisi lanjut Ande, nasib mereka terkatung-katung. Sebab, penggalian pasir satu-satu sandaran ekonomi keluarga mereka.
Warga lain, Fery Cembes menegaskan pihaknya tidak sedang melabrak aturan. Namun, penerapan aturan oleh pihak Polres Manggarai hingga sampai penutupan lokasi pasir Weol sangat tidak diterima oleh warga.
Mestinya, kata Fery, sebelum aktivitas galian pasir ditutup harus ada pendekatan persuasif dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
“Polisi seharusnya lakukan sosialisasi sebelumnya. Polisi harus juga melihat sisi kemanusiannya, masyarakat mau makan apa jika pasir mereka langsung ditutup? Warga yang bergerak di jasa angkutan pasir juga mau makan apa?,” tanya Fery dalam kesempatan dialog tersebut.
Menurut dia, setelah aksi penutupan lokasi tambang pasir oleh polisi memicu kerasahan di tengah masyarakat. Karenanya, Fery mempertanyakan sikap polisi yang tidak sejak lama tidak melakukan penutupan.
Dia juga menilai, polisi telah tebang pilih dalam penertiban galian C di Manggarai. Sebab, dalam kenyataannya masih ada lokasi galian pasir yang belum ditertibkan oleh pihak Polres Manggarai.
“Karena itu, tidak mengurangi rasa hormat kami kepada bapak-bapak dewan. Kami ini buta hukum, sehingga kami minta saat ini Kapolres Manggarai datang untuk menjelaskan langsung kepada kami alasan penutupan itu,” ujar Fery.
Senada dengan Ande dan Fery, anggota Komisi C DPRD Manggarai Marsel Nagus Ahang menegaskan, aksi penutupan lokasi galian pasir oleh polisi merupakan persoalan emergensi dan perlu segera mencari jalan keluarnya.
Marsel sendiri dalam kesempatan tersebut seirama dengan warga untuk segera memanggil Kapolres Marselis dan Bupati Deno agar bertemu dengan warga di lembaga DPRD.
“Agar masyarakat ini paham, dasar penutupannya itu apa. Solusi yang harus diambil itu apa yang tidak merugikan masyarakat,” ujar Marsel.
Apalagi, politisi PKS itu mengaku sudah mencium aroma tebang pilih dalam aksi penutupan tambang pasir di Manggarai oleh polisi.
“Di lelak itu, galian pasir masih beroperasi sampai sekarang. Karena itu Kapolres harus hadir sekarang untuk menjelaskan kepada masyarakat yang datang,” ujar Marsel.
Menanggapi berbagai usulan itu, Wakil Ketua I DPRD Manggarai Paulus Peos menyatakan keluhan masyarakat terkait penutupan pasir sama dengan keluhan pemerintah.
Menurut, politisi PDI Perjuangan itu akibat dari penutupan pasir oleh polisi tidak hanya dirasakan oleh warga tetapi pembangunan di Manggarai menjadi terhambat.
“Tapi kami tidak bisa mendatangi Kapolres sekarang, sebab ada mekanismenya itu rapat dengar pendapat. Tetapi segera melakukan koordiansi untuk menggelar rapat Forkompinda, sesegera mungkin menyikapi ini dan mencari jalan keluarnya,” jelas Peos.
Dia mengatakan, jika masalah utama di balik asksi penutupan itu ialah di perizinan, maka rapat koordinasi nantinya pemerintah segera membantu masyarakat dalam mengurus izian operasi penggalian pasir.
“Tidak mungkin ini kita tidak usahakan, karena ini masalah kita bersama. Ingat realisasi DAK itu evaluasi tiap tiga bulan, itu yang kita takut jika pembangunan pemerintah terhambat karena akan mempengaruhi kelancaran visi-misi bupati,” kata Peos.
Warga kemudian pulang setelah, Peos berjanji akan menyampaikan permasalah tersebut saat rapat dengan pemerintah pada 9 September mendatang. (Adrianus Aba/VoN)