Oleh: Filmon Hasrin
Mahasiswa STFK Ledalero
“Dalam mencapai tujuannya, seorang pemimpin harus mendahulukan kepercayaan. Hal itu untuk membina kepercayaan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Kepercayaan masyarakat hanya dapat diperoleh dari keselarasan dalam perkataan dan perbuatan seorang pemimpin. Begitu tidak ada kepercayaan masyarakat, seorang pemimpin akan kehilangan segalanya. Sebab kepercayaan masyarakat dapat diibaratkan napas seorang pemimpin dalam memimpin”.
Jika kita berani untuk kembali ke belakang dan melihat kenyataan, masyarakat sangat kecewa karena diberi harapan palsu oleh para elite politik.
Politik kita hampir tidak lagi dilihat sebagai taktik yang baik untuk memperoleh pemimpin yang berkualitas dalam pelukan demokrasi.
Merakyat tetapi justru menggunakan taktik yang buruk untuk mencapai kekuasaan. Propaganda, kebohongan, iklan politik dengan penekanan berlebihan pada penampilan luar, manipulasi, pengerahan massa dan politik partisan. Inilah realitas politik yang santer terdengar di tengah arus pusaran politik saat ini.
Hampir setiap dekade, perjalanan politik kita dinilai buruk karena tidak sesuai dengan keutamaan moral politik. Sebentar lagi Pilkada dan Pemilu akan berlangsung secara berturut-turut untuk dua tahun ke depan, yaitu Pilkada serentak 2018, pemilu Legislatif dan Pilpres. Yang pasti suara berupa janji penuh di telinga setiap rakyat.
Politik yang diisi dengan janji yang mengarah kepada kebohongan. Hal ini menjadi catatan penting untuk para aktor.
Apa gunanya berteriak jika hanya untuk menyebarkan kebohongan?
Janji
Politik dan janji memang tidak dapat dipisahkan, mereka adalah sepasang “suami-istri” yang tak dapat dipisahkan. Boleh dikatakan, tidak ada politik tanpa janji.
Pertanyaannya, janji yang mana? Pertanyan ini penting karena tidak semua janji membawa kemajuan (progresif) dalam demokrasi. Persoalnnya bukan terletak pada ada atau tidaknya janji melainkan kualitas janji atau dikenal dengan sebutan politik praktis.
Masyarakat membutuhkan kerja nyata dari seorang pemimpin, sekali bicara langsung bertindak atau kalau boleh tutup mulut dan bekerja. Misalnya janji untuk mengadakan infrastruktur jalan, PLN, air dan lain-lain. Ini menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh politisi saat menjabat sebagai pemimpin. Artinya, perealisasiannya jelas dan mengena di hati masyarakat.
Kebohongan
Kebohongan berawal dari janji yang tidak tepat. Inilah janji yang tidak berkualitas. Para aktor yang memberikan janji kepada masyarakat ibarat “balon udara”, menarik perhatian banyak orang, indah, elok, dan suara angin yang membawa dia ke udara sangat enak didengar tetapi sifatnya sementara karena sebentar lagi dia akan pecah dan menghilang.
Artinya para aktor memberikan janji kepada masyarakat hanya untuk menenangkan syaraf, setelah itu ia pergi urus diri sendiri dan keluarganya. Lupa janji untuk kesejahteraan masyarakat sebagai rahim yang melahirkan dia. Janji dengan kebohongan terlihat kental.
Bagian dari janji itu tersembunyi dalam kampanye. Kampanye adalah sebentuk iklan yang menampilkan picture para aktor. Ekspresinya persuasif namun merugikan masyarakat, terjadi korban penipuan dan kum intelektual pun terjerumus dalam retorika para aktor yang selalu saja menguburkan kebenaran.
Panggung politik menjadi gudang pameran fisik, menampilkan kinerja dengan gaya gestikulasi yang penuh kebohongan, janji tidak pernah memenuhi kepastian.
Para aktor sebetulnya tengah merancang kebobrokan politik itu sendiri. Panggung politik tengah mengalami defisit moral. Pemimpin yang sudah terpilih pun masih ragu tentang kinerjanya karena masih ada “janji palsu”.
Secuil cerita “seorang pemimpin pergi keluar daerah untuk studi banding. Setelah ditelisik, ternyata mencari kesenangan tubuh”. Lupa rakyat miskin (lapar dan haus).
Epikurus mengingatkan kita “kebahagiaan tubuh memang penting tetapi lebih penting adalah kebahagiaan jiwa”. Artinya seorang pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan termasuk semangat untuk mensejahterakan masyarakat dan itu menjadi tuntutan publik yang harus ada dalam diri seorang pemimpin.
Tepati Janji
Ingkar janji membuat orang kecewa terhadap demokrasi, tanpa janji menggiring orang dalam jurang otoritanisme. Janji adalah hakekat sebuah visi dalam berpolitik.
Dengan demikian janji sejalan dengan politik tetapi tidak untuk menyebarkan kebohongan. Harus realistis. Karena itu tawarannya ialah; pertama, implementasi. Janji adalah harapan dan cita-cita yang diidealkan para aktor tetapi haruslah diwujudnyatakan. Bukan idealis semata, yang patut dipertanyakan adalah pembuktiannya.
Kedua, partisipasi warga. Seorang pemimpin tidak dapat berjalan sendiri tanpa masyarakat, bagaimana pun ia tetap kembali ke masyarakat untuk membagun bangsa dan negara secara bersama. Artinya, sebagai masyarakat tidak boleh apatis terhadap kepentingan bersama (bonum commune). Begitu pun pemerintah tidak boleh otoriter.
Ketiga, ketepatan antara pembuat janji. Pembuat janji harus konsisten dengan waktu yang telah dijanjikan. Apa yang harus ia buat untuk kepentingan masyarakat. Janji yang demokratis itu mengahargai masyarakat atas nurani dan pikirannya.
“Vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan, suara Tuhan ini yang berada dalam hati nurani kita. Karena itu, kepentingan rakyat tidak boleh diabaikan ketika para pemberi harapan (janji) menjabat sebagai pemimpin.
Janji politik dinilai sangat berbobot ketika menghindari kebohongan. Itu berarti tidak terlepas dari kualitas demokrasi yang pernah dibuat para politisi dalam janji-janjinya. Setia pada janji, dirinya akan dipercaya dan patut diapresiasi. Masyarkat dan pemimpin bahu-membahu. MARI BERJANJI TANPA KEBOHONGAN!