Larantuka, Vox NTT– Pasca klaim hak milik oleh warga desa Pululera pada area Hak Guna Usaha (HGU) yang dikelola oleh PT Rerolara Hokeng pada April 2017 lalu praktis semua aktivitas di kebun misi Hokeng sampai dengan saat ini macet total.
Puluhan karyawan harus kehilangan pekerjaan pokok mereka sebagai buru di kebun misi milik Keuskupan Larantuka ini.
Perusahaan milik keuskupan ini pernah mempekerjakan karyawan mencapai ratusan orang. Semunya pelan-pelan berhenti seiring dengan pengelolaan manajerial yang jatuh bangun. Satu yang juga mungkin bakal hilang adalah kopi Hokeng yang pesonanya mulai dilirik pasar internasional.
“Mau bagaimana lagi Pak, saya dan kawan-kawan saya terpaksa kembali jadi petani dari ladang yang luasnya tidak seberapa. Itu pun lahan garapan. Saya mungkin bakal pulang ke Lembata. Jadi petani lagi” kata-kata itu meluncur dari Thomas Lele, seorang mantan karyawan pada kebun misi.
“Kami berhenti ini juga gaji kami sekitar tiga bulan belum dibayar. Mau bagaimana lagi, kami minta tapi mereka (PT Rerolara) bilang belum ada uang” keluh Thomas.
Kondisi pailit PT Rerolara Hokeng memang berlangsung sudah sekitar tahun 2008 yang lalu saat penjualan kopi yang mencapai 20 ton ke salah satu perusahaan di Semarang tak jelas ujung pangkalnya.
Konflik perebutan lahan memang hanya satu dari sekian persoalan yang kini melanda pihak pengelola kebun misi tersebut. Beberapa karyawan yang masuk kategori orang dalam atau pegawai yang selama ini bertugas di kantor PT Rerolara mengakui pengelolaan dan manajemen kebun misi memang amburadul.
“Datang satu Romo (baca imam keuskupan) dengan program lain. Ganti lagi Romo lain lagi. Begitu terus-menerus jadi kalau saat ini macet total harusnya jadi refleksi juga bagi pihak keuskupan. Kebun misi ini sebenarnya cukup banyak membantu warga seputar karena menjadi pekerja tapi nasibnya ya sama seperti kami ini,” timpal seorang mantan pegawai yang lain.
“Pak boleh tulis tapi nama kami jangan dicantumkan ya”
Terlepas dari semua urusan soal manajerial perusahaan toh yang paling bakal disesali adalah pesona kopi Hokeng itu sendiri.
Dari Denpasar Bali, Wilfridz seorang pengusaha kedai kopi mengakui bahwa banyak pelanggannya yang mampir sekedar untuk menyeruput kopi Hokeng. Rasanya itu, katanya beda. Mungkin karena tekstur alam pertumbuhannya yang langsung di bawah lereng gunung api Lewotobi itu jadi penentu juga untuk rasanya.
“Kalau kopi Hokeng benar-benar hilang dari peredarannya rasanya sedih juga ya” ungkap Wilfridz.
Banyak pihak berharap kopi Hokeng yang pengelolaannya selama ini ditangani pihak keuskupan bisa segera ditata lagi. Saat ini memang baru ada LSM Ayu Tani Mandiri dan Pemerintah Desa Boru Kedang yang lagi gencar-gencarnya untuk membudidayakan kopi Hokeng di kebun para petani HKM (hutan kemasyarakatan).
Thomas Uran, selaku Direktur LSM Ayu Tani Mandiri mengungkapkan bahwa area perkebunan kopi yang saat ini menjadi rebutan warga desa Pululera mungkin segera juga ditinjau. Selama ini memang sudah banyak sekali terjadi pertemuan dan duduk bersama untuk penyelesaian masalah ini tapi belum saja ada hasil yang positif.
Maximus Ola, seorang warga Hokeng berkomentar kopi sebenarnya dapat menjadi maskotnya NTT.
“Kita ini kaya akan kopi. Ada kopi Colol, kopi Bajawa. Di Lembata ada kopi Boto. Kalau semuanya diatur dengan cermat bukan tidak mungkin orang bakal ingat Flores tidak hanya indah karena pesona-pesona lainnya tapi juga pesona kopi” terang Ola.
“Harapan saya semoga kopi Hokeng tidak bakal hilang. Kira-kira begitu juga dengan semua anak-anak Flores Timur-Lembata yang menggilai kopi Hokeng” tegas Maximus. (Hengky Ola/VoN).
https://www.youtube.com/watch?v=kEhPPhwa4_Y&t=10s