Maumere, Vox NTT – Masyarakat Suku Soge yang termasuk dalam rumpun masyarakat Tana Ai melakukan ritual ‘blatan tana’, di salah satu lokasi yang merupakan bagian dari lahan eks Hak Guna Usaha Patiahu-Nangahale.
Pimpinan dan anggota salah satu suku yang sedang mereclaim tanah tersebut berkumpul selama 2 hari di Utang Wair, Nangahale, Kabupaten Sikka terhitung dari Senin (11/9/2017) sampai dengan Selasa (12/9/2017).
Ritual ‘blatan tana’ merupakan ritual pendinginan atau pemurnian dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa yang lampau. Dengan pendinginan tersebut diharapkan alam dapat menjadi tempat hidup yang baik, dan memberikan kesejahteraan bagi para pemilik ulayat.
“Dulu kalau ada pembunuhan, ada kesalahan apa saja, kita lakukan penapisan atau pembersihan dan menjauhkan segala musibah dari wilayah ulayat dan masyarakat kami,” terang pimpinan Suku Soge, Ignasius Nasi kepada VoxNtt.Com usa ritual, Selasa (12/9/2017) di lokasi pelaksaan ritual ‘blatan tana’.
Ritual ‘blatan tana’ tediri atas beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap ‘ea wua’ atau makan sirih pinang. Selanjutnya dilakukan pembersihan atau ‘roni hok’ dengan mengantarkan sesajen dan simbol hal-hal buruk ke nuba yang terletak di pinggir pantai yang dipercaya sebagai tempat pertama yang diinjak oleh leluhur mereka. Selanjutnya dilakukan ‘likong daha’ atau pengumpulan bahan makanan untuk diolah.
Setelah makanan siap disajikan ritual dilanjutkan dengan ‘pla’a’ atau makan bersama yang diikuti dengan bernyanyi dan menari bersama dengan iringan musik tradisional. Tahap selanjutnya adalah ‘pele’ atau meminta leluhur, Tuhan dan alam memberikan berkah dan perlindungan. Pada akhirnya akan dilakukan ‘pati blatan tana’ atau pendinginan tanah dengan mengurbankan seekor babi.
Ritual ini juga turut memperbaiki hubungan antara anak-anak korban dan pelaku dalam persitiwa pembantaian pada tahun 65-66 lalu. Selain itu, beberapa anggota suku yang merasa telah melakukan kesalahan tertentu membuat kurban khusus dalam ritual tersebut untuk memohon pengampunan pada alam, leluhur dan Tuhan.
Pada hari kedua ritual tersebut turut diikuti oleh para pegiat PBH Nusra, Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA), Kapolsek Waigete dan Danramil Talibura. Selain itu hadir juga utusan Pemda Sikka dan Ketua DPRD Sikka.
Ritual tersebut telah lama tidak dilaksanakan karena selama ini lahan tersebut dikuasai oleh PT.Diag selaku pemegang HGU. Perlu diketahui sejak tahun 2000 masyarakat Suku Soge dan Suku Goban yangmeyakini diri sebagai pewaris ulayat telah melakukan pendudukan atas lahan tersebut.
Sejak tahun 2016 lalu konflik atas tanah eks HGU tersebut memasuki tahap perundingan yang dipimpin oleh Komnas HAM. Perundingan tersebut belum menghasilkan kesepakatan berkaitan dengan pemanfaatan lahan eks HGU.
Akan tetapi, Pemkab Sikka ditunjuk untuk memfasilitasi tim bersama untuk melakukan pendataan di lapangan. Namun, sampai saat ini belum ada perkembangan kelanjutan perundingan tersebut. (Are De Peskim/VoN)