Ruteng, Vox NTT- Pihak Rumah Sakit (RS) Keluarga Kalideres Jakarta Barat bisa dipidana jika terbukti mengabaikan aspek kegawatan terhadap pelayanan bayi Tiara Debora Simanjorang.
Bayi itu meregang nyawa usai ditolak RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat untuk dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manggarai Raya-NTT, Fransiskus Ramli menegaskan pihak RS Keluarga Kalideres Jakarta Barat bisa terancam hukuman pidana jika terbukti ada unsur kelalaian dalam menangani bayi Debora itu.
“Saya menonton di televisi, pihak Kepolisian mengambil inisiatif untuk melakukan penyelidikan atas kasus bayi Debora tersebut. Menurut saya hal itu baik dan perlu didorong terus,” ujar Ramli dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (15/9/2017).
Menurut dia, ketentuan telah mengatur dengan jelas bahwa fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan harus mengetahui pasien yang dalam keadaan gawat darurat.
Itu terutama masyarakat tidak mampu, baik sudah tercover oleh BPJS Kesehatan maupun belum, harus diberikan pertolongan pertama oleh pihak medis.
“Urus selamatkan pasien gawat darurat dulu, kemudian baru urus (meminta) uang (muka). Itu amanat undang-undang,” tegas Ramli.
Konsultan hukum masyarakat tidak mampu di NTT itu menjelaskan, dalam Pasal 32 ayat 1 UU Kesehatan ditegaskan bahwa, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
Selain itu, Pasal 32 ayat 2 UU Kesehatan menegaskan pula, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
“Jika dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan dapat dipidana,” tukas dia.
Lebih lanjut kata dia, dalam Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan disebutkan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan tegas dinyatakan, dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Untuk mendukung argumentasinya, Ramli mengingatkan definisi fasilitas pelayanan kesehatan dan jenis-jenis fasilitas kesehatan berdasarkan ketentuan.
Menurut dia, dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan disebutkan bahwa, Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat.
Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan disebutkan bahwa, jenis pelayanan kesehatan terdiri atas: tempat praktik mandiri tenaga kesehatan, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik, rumah sakit, apotek, unit transfusi darah, laboratorium kesehatan, optikal, fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum, dan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional.
Karena itu, menurut Ramli bukan hanya rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan.
Fasilitas kesehatan lainnya seperti tempat praktik mandiri tenaga kesehatan, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik, apotek, unit transfusi darah, laboratorium kesehatan, optikal, fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum, dan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional.
Para pelayan fasilitas-fasilitas itu tidak boleh menolak pasien dalam keadaan gawat darurat.
Prinsipnya, nyawa pasien gawat darurat harus diselamatkan secara terlebih dahulu.
Hal yang sama berlaku pula pada rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
“Setelah keadaan darurat pasien teratasi dan dapat dipindahkan, fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” terang Ramli. (Adrianus Aba/VoN)