Redaksi, Vox NTT-Demokrasi palsu (pseudo-demokrasi) rupanya masih menjadi benalu yang terus menggeranyangi esensi demokrasi di NTT.
Data BPS NTT tahun 2017 menyebut Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) NTT tahun 2016 mencapai angka 82,49 dalam skala 0 sampai 100.
Angka ini naik sebesar 4.02 poin dibandingkan dengan angka IDI 2015 yang sebesar 78,47. Capaian kinerja demokrasi NTT berdasarkan data tersebut sudah berada pada kategori “baik”.
Namun, apakah benar deretan angka statistik ini mencerminkan demokrasi yang bersumber dari, oleh dan untuk rakyat?
Secara prosedural, demokratisasi yang sedang berjalan selama ini bisa jadi cenderung membaik.
Hal ini misalnya terungkap dalam beberapa indikator seperti: hasil pemilu yang berlangsung secara damai, tepat waktu, etis, bebas, jujur, dan adil. Pelgub maupun pilkada yang terjadi selama ini telah berjalan sesuai operasional standar yang ditentukan undang-undang maupun aturan pilkada.
Namun kalau mau lebih jujur, indikator keberhasilan demokrasi tidak bisa hanya diukur dari unsur-unsur prosedural semata.
Esensi demokrasi adalah proses penjaringan pemimpin yang berasal dari suara rakyat dan partisipasi rakyat itu sendiri dalam suatu perhelatan demokrasi.
Di sini kita kadang terkecoh. Kita sebenarnya melewati suatu mata rantai yang cukup serius dalam proses penjaringan calon atau pemimpin.
Dalam proses penjaringan pemimpin tersebut, proses penentuan calon hanya semata ditentukan oleh partai politik tanpa melibatkan rakyat.
Parpol bisa berdalih bahwa kandidat yang diusungnya telah lolos survei popularitas maupun elektabilitas publik. Namun benarkah demikian?
Kapan parpol membuka secara transparan hasil data primer survei ke publik? Lebih miris lagi jika melihat hasil survei abal-abal beberapa hari terakhir yang hasilnya telah direkayasa oleh pemesan survei.
Jika memang survei dilakukan secara objektif maka hasilnya pun tidak beragam seperti yang terjadi belakangan ini di NTT.
Fenomena ini sesungguhnya mau mengatakan bahwa siapa yang menjadi calon pemimpin bukan urusan rakyat. Rakyat hanya menjadi konsumen politik yang siap menyantap menu pilkada (baca:kandidat) hasil kompromi para elit.
Parpol tak mau ambil pusing apakah calon yang diusungnya itu berintegritas atau tidak, tua atau muda, bersih atau kotor. Bagi parpol, yang paling penting adalah deal-deal politik transaksional telah tuntas di belakang layar.
Kandidat ‘siluman’ hasil racikan elit dalam dapur gelap ini pun disuguhkan oleh partai politik untuk dipilih oleh rakyat.
Dampak dari praktek politik seperti ini sebenarnya sangat berbahaya bagi keberlangsungan NTT pada masa yang akan datang.
Partai politik juga stakeholders dalam pilkada yang telah dikuasai sekelompok orang ini sebenarnya telah melakukan pembiaran sistemik untuk berbagai ketimpangan seperti kemiskinan, korupsi, ketidakadilan dan patologi sosial-politik lainnya di NTT.
Isu-isu kemiskinan dan ketimpangan sosial itu sengaja disebarkan seperti pil narkoba agar masyarakat yang haus akan keadilan menelan bulat-bulat tanpa berpikir kritis siapa calon yang dipilihnya.
Bahasa satirnya, rakyat dibuat candu agar isu-isu yang disebarkan selama proses kampanye menjadi laku terjual, lalu menghantarkan kandidat siluman itu ke kursi kekuasaan.
Pertanyaannya, apakah sistem demokrasi seperti ini dapat melahirkan pemimpin ideal yang nantinya dapat melayani kebutuhan rakyat NTT secara konsekuen? Tentu TIDAK.
Selama proses penjaringan calon dikuasai oleh oligarkis yang rakus kekuasaan, selama itu pula ruang pilkada maupun pilgub NTT yang akan datang tetap menjadi narkoba politik yang berisi retorika dan pencitraan politik kaum oligarkis.
Karena itu, jangan biarkan praktek politik seperti terulang dari pilkada ke pilkada. Kita sudah jenuh menanti pemimpin yang sungguh-sungguh punya itikad baik memajukan daerah ini.
Pilgub NTT kali hanya dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas, jika kita jeli memilih mana calon pemimpin siluman dan mana yang sungguh-sungguh punya itikad membangun daerah ini.