Oleh: Firmus Kana
Genggamlah matahari anakku, sebelum daun itu gugur. Aku masih disini. Dalam kesendirian seakan didera rasa sepi tak bertepi. Entalah, hari ini terasa amat lain dari hari-hari sebelumnya. Galau, gunda gulana rasanya. Tugas-tugas harianku yang selama ini kujalani terasa membosankan.
Joe, kau masih di sini? Suara itu seakan memecahkan keheningan. Ya, jawabku dengan suara parau sambil mengangguk ringan. Bukankah engkau harus sudah kembali ke Mukusaki menjenguk ibu yang telah lama sakit? Mendengar kata-kata itu, spontan pikiranku tertuju pada kampung sunyi, tempat aku dilahirkan, baring, merangkak, duduk, tertatih, berjalan, berlari,jatuh dan bangun kembali.
Kampung yang masih jauh dari hingar bingar dan riuh rendah keramaian akibat pesatnya pembangunan. Kampung yang mempertemukan aku dan saudara-saudaraku yang lain. Tempat dimana aku memahat kehidupan dengan aneka warna dan watak. Kampung yg mengeratkan jiwa ragaku dengan yang lainnya. Di Mukusaki seluruh catatan kehidupanku berawal.
Sosok yang mengajak aku bicara dengan potongan tanya pun diam. Mungkin dia menghendaki agar saat ini aku harus berada bersama bunda yang kaku terbaring dipeluk rasa sakit aneka penyakit.
Bu bertahanlah, gumamku seraya memandang sosok sahabat yang mengingatkanku untuk pulang tersebut. Ray, terima kasih, kata-kataku seakan terlepas dari bibir kerontangku. Terhitung hari ini, kurang lebih satu bulan ibu terbaring di ranjangnya yang berdebu. Ranjang yang dulu aku dan saudaraku yang lain lelap menetek pada ibu.
Genggamlah matahari anakku, sebelum daun itu gugur. Jarum jam di kamarku menunjukan pukul 18:04 menit. Angin perlahan menyapu dedaunan flamboyan yang ada di samping kamarku. Gugur satu demi satu menuju bumi sunyi. Sesekali tamparan dingin angin itu menari ria menusuk sum-sum ragaku. Sangat dingin. Namun kali ini lebih dingin nuraniku. Nurani yang terbeban dengan salah dan dosa. Dosa egoisme, dosa akibat selalu menunda untuk pulang mengunjungi ibu, saudara dan kampung halamanku.
Jarum jam tetap menunjukan angka 18:04. Ya jarum itu seakan letih dan tak mau berpindah. Logikaku menjawab jam dinding itu rusak, atau mesin penggeraknya daluwarsa. Angka 18:04 apa mungkin sebuah kebetulan? Atau adakah seseorang yang mengatur irama jarum jarum itu? Pita otakku mulai bekerja menganalisa tentang angka itu. Jiwa ku kembali memasuki jagad paling sunyi. Angin seakan mati suri. Dingin erat memeluk bumi dan kehidupannya. Aku masih menyendiri. Oh Tuhan, angka itu berhubungan erat dengn hidupku. Tidak sekedar angka letih yang mungkin sengaja disodorkan oleh jarum jam. Pandanganku sontak menukik angka-angka penanggalan dalam kalender. Ku coba mengutik atik makna angka itu 18:04, angka jarum jam itu sangat berselisih dengan waktu yang seharusnya. Pergumulanku semakin menusuk dalam sukmaku. Akhirnya kutemui angka jarum jam yang pensiun berdetak itu menunjukan jam lahirku yang pernah diceritakan ibu bertahun-tahun yang lalu. Memori otakku tertuju pada peristiwa tangis pertamaku. Kini segala macam perasaan bertemu jadi satu.
Ah kurasa tidak adil, gumamku. Dan dalam sepi yang menggunung itu aku seakan bertemu sosok ibu. Ya, aku sungguh bertemu sosok itu meski tak sua muka. Genggamlah matahari anakku sebelum daun itu jatuh. Dalam hening ini pun ku pinta Tuhan segera mengakhiri malam ini. Aku harus segera pulang.
Aku harus mengekalkan niatku untuk kembali. Aku harus kembali menemui sosok yang telah mempertarukan seluruh tenaga dan pikiran buatku. Singkatnya seluruh cinta dan kasih sayang ibu yang membuat aku hidup dan gagah berziarah bersama sang waktu. Kira-kira 60-an tahun sudah usia ibuku. Kutahu angka usia ibuku itu dari buku harianku. Angka itu adalah angka bonus dalam hidup ibu. Aku yakin ibu pasti menyetujui hal itu. Ibu pasti merasa bersyukur. Ibu pasti berterima kasih atas waktu yang diberikan Tuhan selama ini. Ibu pasti merindukan kasih sayang anak-anaknya saat ini. Ibu pasti merindukan cinta anak-anak yang ada di tempat jauh. Ibu pasti rindu memeluk, mencium hangat anak anaknya. Ibu pasti ingin mengajak lagi anak-anaknya untuk bercengkrama.
Genggamlah matahari anakku sebelum daun itu jatuh. Aku masih di sini. Dalam keputusan teramat mulia.Pulang, mungkin saudarkau yang lain sudah di rumah. Terlalu berat untuk kulupakan kisah-kisah bersama ibu.
Kuraih foto ibu yang terpampang di kamarku. Gambar wanita cantik saat berusia 40 tahun. Ibu, bisikku datar. Kata-kataku terasa hambar. Seakan tak punya nilai apa-apa. Kata ini menjadi hampa dari lidah yang keluh. Kudekapkan lebih erat lagi potret itu. Menukik tajam ke arah dada, menuju hati, masuk jantung, menerawang kalbu. Ibu, andai saja kita bersua saat ini. Aku tak sanggup melanjutkan kalimat ini. Terpenggal lara dalam jarak. Ku pinta sekali lagi Tuhan bawalah nyanyian laraku ini pada ibu. Semakin ku dekap foto itu justru semakin terasa hidupku tak berarti. Ya, aku dan ibu dipisahkan. Oleh waktu, ruang dan jarak. Dan yang terakhir oleh rutinitas. Kujunjung asa sepenuh doa semoga kami bisa dipertemukan. Satu harapanku ibu mau memaafkan aku. Tuhan mau mengampuni aku.
Aku hening dalam doa yang khusyuk. Jarum jam seakan merajuk, Enggan bergeser. Aku terlena dalam dekapan kasih sang ibu meski lewat potret perempuan hebat itu.
Angin perlahan keras menampar tubuh dan seisi bumi. Aku tersentak ada nada dering pertanda pesan masuk pada telepon genggamku. Joe, ibu telah tiada. Batin ini remuk. Jantung seakan berhenti sesaat. Daun itu akhirnya gugur. Angin pun memetik dedaunan flamboyan mengajak tergeletak di bumi fana. Ibu, keluhku dalam diam sejuta nafas. Kau pernah menitip pesan padaku, raih cita cita dan tujuan hidupmu. Genggamlah matahari anakku, sebelum daun itu gugur. Akhirnya kau pergi, gugur, jatuh bersama flamboyan yang memisahkan daun dari tangkainya.***
Mukusaki 2017, buat yg berkisah padaku. Kuatkan jalan hidupmu dalam doa-doa paling sakti.
Firmus Kana, pembaca setia VoxNtt.com. Suka menulis dan kini tinggal di Mukusaki-Ende Lio. Menikmati hari-hari sebagai seorang guru di kampung dan bertani.
Ibu dan Kisah Tentangnya Yang Tak Selesai
Catatan Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya VoxNtt.com
Membaca cerpen Firmus Kana edisi minggu ini cukup mengharukan semua kita yang ikut mengasihi ibu kita masing-masing. Satu tipikal cerita yang berputar-putar tetapi tetap meninggalkan tanya tentang apa sesungguhnya yang terjadi antara tokoh bernama Joe dengan ibunya.
Kesan yang tinggal sampai dengan selesai membaca cerpen ini adalah cerita yang berputar-putar tetapi tetap membungkus masalahnya sampai dengan sang ibu meninggal.
Untuk keahlian macam itu, saya kira tidak semua penulis karya sastra (baca, cerpen) mampu membahasakannya dengan telaten. Untuk cerpen Minggu ini, Firmus Kana masuk dalam kategori berhasil menarik rasa ingin tahu pembaca untuk terus dan terus mencari akar masalah persoalan. Sekalipun akhirnya persoalan itu haruslah hidup dalam imaginasi-imaginasi pembaca yang mendalami cerpen Teringat Pesan Ibu.
Ibu dalam cerpen ini tentunya adalah sosok bersahaja yang rindu kepulangan puteranya. Begitu pun sebaliknya. Sayang, kisah yang dilukiskan Firmus tidak sampai mempertemukan sang ibu dan putera tercintanya. Pembacaan atas cerpen ini menyajikan satu rasa penasaran yang hidup dalam sukma pembaca masalah apa yang telah membuat sang putera bersiap untuk pulang. Dan baru sampai pada rencana pulang cerpen ini akhirnya selesai dengan pesan singkat kepergian sang ibu. Maka segala tentang ibu dan sang putera dalam cerpen Firmus Kana kali ini adalah kisah-kisah yang tak selesai. Maklumlah kita karena toh yang diintensikan Firmus dalam cerpen ini hanya merujuk pada pesan ibu. Genggamlah matahari nak, sebelum daun itu gugur. Pesan dengan kiasan sederhana ini hanya mau bilang semoga hidup sang putera bermakna dan bahagia. ***