Kupang, Vox NTT- Warga eks Timor-Timur (sekarang Timor Leste) melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Gubernur NTT, Jalan Eltari Kupang, Senin (25/09/2017).
Masa aksi yang diperkirakan mencapai 1000-an orang itu adalah mantan pejuang integrasi Indonesia saat gejolak Tim- Tim pada tahun 1997-1999 silam.
Mereka berunjuk rasa untuk meminta kepastian status kewarganegaraan dan hak-hak mereka kepada pemerintah Indonesia.
Saat ini memang mereka sudah diakui sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) oleh pemerintah. Namun oleh PBB, mereka masih dianggap sebagai warga Timor Leste yang tidak mau pulang ke negara asalnya karena alasan keamanan.
Padahal, sejak 18 tahun silam, saat Pemerintah Indonesia melepaskan Tim-Tim, mereka memilih keluar dari sana (Timor Leste) untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saat ke Indonesia, ada yang meninggalkan orang tua, suami, istri, anak dan saudara serta harta benda mereka. Namun, hingga saat ini mereka mengaku belum mendapatkan perlakuan yang pantas, hak hidup yang layak serta kesejahteraan mereka tidak diperhatikan pemerintah Indonesia.
“Hari ini kita turun, tapi tidak semuanya, kalau saya lihat itu diperkirakan kurang lebih seribu lebih yang hadir. Bagaimana nasib orang-orang ini? Nasib para pejuang-pejuang Timor-Timur yang tetap mempertahankan keindonesiaannya, yang sudah 18 tahun tinggal di Timor Barat NTT dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,” demikian pernyataan Kordinator Aksi, sekaligus mantan Wakil Panglima Milisi pro-Indonesia di Timor Leste, Eurico Barros Gomes Guterres saat diwawancarai VoxNtt.com di depan Kantor Gubernur NTT.
Di hadapan Gubernur, Ketua DPRD NTT, Kapolda NTT dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Guteres menyampaikan, sebenarnya aksi unjuk rasa tidak perlu dilakukan karena bisa melalui jalan dialog.
Namun sejak beberapa tahun sebelumnya, hingga saat ini belum ada kepastian.
“Sebenarnya aksi seperti ini tidak perlu kita lakukan, cukup dengan dialog tetapi sepertinya pemerintah ini berusaha untuk menghindari cara –cara dialog itu,” ungkapnya saat beraudiens di Aula Lantai 2 Kantor Gubernur NTT.
Pejuang yang kini berusia 43 tahun ini mengatakan sejak tahun 2010, mereka menyampaikan aspirasi yang sama, namun hingga hari ini belum mendapatkan titik terang.
“Tanggal 4 September kemarin, kita berusia 18 tahun terusir dari tempat kelahiran kami demi NKRI dan demi Merah Putih. Dan itu, pilihan kami. Oleh karena itu, hari ini kami datang mau menyampaikan kepada pemerintah pusat melalui pak gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Provinsi Nusa Tenggara Timur,” terangnya.
Guteres berharap aspirasi mereka secepat mungkin disampaikan ke pemerintah pusat agar nasib para pejuang bersama keluarga mereka termasuk janda dan yatim piatu bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pada kesempatan itu mereka juga meminta kepastian hukum terhadap 403 orang yang namanya masuk dalam daftar serious crime atas tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor-Timur oleh Unit Serious Crime (USC) PBB.
Menurut dia salah satu nama besar yang terlibat adalah Menteri Kordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam), Wiranto.
“Enak sekali pak Wiranto, saya dengan kawan-kawan sama-sama namanya masuk dalam daftar Serious Crime kok beliau jadi menteri. Oleh karena itu sekarang kami mau sampaikan, bahwa bapak jadi menteri kami dukung. Apalagi kerja untuk bangsa dan Negara,” tegas Guteres.
Dia juga menegaskan bahwa mereka tidak minta untuk diistimewakan, hanya minta untuk diperhatikan. Jangan sampai pemerintah Indonesia menjadikan mereka sebagai anak tiri.
Tidak Diperhatikan
Margarida Perera (45) Istri Pejuang yang gugur dalam perang di Timor-Tim, mengatakan dirinya pernah bertemu Gubernur NTT, Frans Lebu Raya saat kampanye pertama dalam suksesi Pemilhan Gubernur beberapa tahun silam.
Dia mengaku pernah menyampaikan keluhan mereka, namun sampai hari ini tak pernah mendapatkan perhatian apa-apa sebagaimana yang mereka sampaikan saat itu.
“Saya Margarida Perera, dulu pernah bertemu dengan Bapak Gubernur di camp saat maju gubernur. Saya atas nama rekan-rekan perempuan menyampaikan aspirasi kami. Kami sudah 18 tahun, tapi kami belum mendapatkan perhatian atas kebutuhan kami. Sampai saat ini kami belum mendapatkan kartu, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP),” tuturnya.
Menurutnya, selama ini dia bersama yang lain mengurus pendidikan anak mereka dari TK SD,SMP sampai SMA tanpa ada bantuan dari pemerintah.
“Saya mengurus pendidikan anak saya, mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA saya mencari uang, berjualan di pasar baru saya membiayai dia hingga sampai tamat dan selesai tahun 2012. Setelah tamat anak-anak kami mencari kerja, tapi tidak diterima karena alasan sebaga eks Timor Leste, tes Polisi dan Tentara juga tidak diterima,” tuturnya lirih.
Margarida juga meminta kepastian tanah, tempat tinggal mereka sekarang.
“Sekarang tanah-tanah mau digusur, nanti kami tinggal di mana? Apakah kami dibuang ke laut, atau ke mana?” tanya Margarida. Dia juga berharap agar KIS, KIP dan jenis bantuan lainnya bisa tepat sasaran.
Rafaec (60), tokoh pejuang yang mengaku belajar bahasa Indonesia di gunung-gunung bersama TNI diminta khusus oleh Gubernur untuk menyampaikan harapannya.
“Pa gubernur, saya tidak bisa omong banyak. Apa lagi bahasa Indonesia saya yang kurang bagus, sebab saya tidak pernah belajar di sekolah. Saya belajar bahasa Indonesia itu di gunung-gunung bersama dengan TNI saat berjuang mempertahankan Timor-Timur. Permintaan saya satu saja, setelah ini pa gubernur keluar menemui masa di luar agar menyampaikan secara langsung kepada mereka, agar harapan mereka bisa mereka dengar langsung dari gubernur,” katanya sambil mematikan mic.
Akan Bertemu Presiden
Menaggapi permintaan masa aksi, Gubernur Frans Lebu Raya berjanji akan segera menindaklanjuti permintaan mereka.
“Kami akan rapat segera bersama pimpinan seluruh pimpinan Forkopimda dan semua aspirasi ini akan kami bahas. Saya berjanji akan segera melanjutkan apa yang disampaikan sebagai aspirasi dari 13 ribu pejuang. Saya akan segera menyurati Presiden, semoga kita segera mendapatkan jawaban langsung dari Presiden “ujar Lebu Raya meyakinkan.
Dalam pertemuan itu juga Lebu Raya mengatakan akan berupaya agar beberapa perwakilan dari mereka bisa bertemu dengan Presiden.
Usai audiens Lebu Raya menandatangani surat pernyataan menindaklanjuti aspirasi warga tersebut.
Adapun Putri dari Raja Alas, Alexandrinu Borromeu, Tokoh penandatanganan deklarasi Balibo 1975, Azia Borromeu (40) mengaku puas dengan pertemuan hari ini sambil menunggu jawaban dari Presiden.
“Cukup pas dengan pertemuan hari ini, walaupun masih menunggu jawaban dari Presiden” katanya singkat.
Perempuan berparas cantik ini mengaku, dulu mereka berjuang hingga mendapat perhatian dunia internasional karena kecintaan mereka terhadap NKRI dan Merah Putih.
“Kita pernah menggemparkan dunia internasional, karena berjuang demi NKRI dan Merah Putih,” tuturnya. (Boni Jehadin/VoN).