Maumere, Vox NTT- Pemandangan seorang pria dalam balutan busana tradisional sedang meliuk-liuk di udara dengan bertumpu pada sebatang bambu setinggi 3-4 meter, tentu saja akan mengundang decak kagum.
Apalagi bila sang penari mengayunkan pedang panjang mengkilap. Sementara di bawahnya terdapat beberapa orang penari memegang erat-erat tiang bambu tersebut. Menakutkan sekaligus menakjubkan.
Itulah tarian tua reta lo’u. Tarian ini merupakan tarian tradisional dari Maumere yang menggambarkan teknik perang leluhur orang Maumere dan etnik Sikka Krowe di masa lampau.
Menurut Koordinator Sanggar Bliran Sina, Desa Kajowair, Kecamatan Hewokloang, Sikka, Yoseph Gervaius tua reta lo’u lebih banyak ditarikan oleh masyarakat adat Hewokloang.
Sanggar Bliran Sina sendiri termasuk yang turut mempopulerkan tarian tersebut.
“Tua reta lo’u sebenarnya terdiri atas tiga tarian yang menggambarkan tiga teknik perang,” terang Yosep Gervasius saat dihubungi VoxNtt.com, Senin (25/9/2017).
Tarian tersebut terdiri atas 3 tarian yang dikombinasikan yakni tarian awi alu, tarian mage mot dan tarian tua reta lo’u itu sendiri yang ditarikan secara berurutan oleh belasan penari perempuan dan laki-laki.
Biasanya para penari akan diiringi dengan tabuhan irama gong waning dengan berbagai jenis pukuan.
Ketiga tarian tersebut berkaitan dengan ketangkasan perang yang wajib dimiliki oleh setiap laki-laki.
Tarian awi alu menggambarkan latihan ketangkasan tubuh bagian bawah. Pada tahap ini para penari akan melompat diatara tongkat-tongkat kayu atau bambu yang dibenturkan oleh penari lain.
Tongkat yang beradu akan menghasilkan bunyi. Tarian awi alu ini menyerupai tari tongkat yang biasa dimainkan anak-anak Pramuka.
Selanjutnya ada tarian mage mot. Tujuan tarian mage mot ditujukan untuk melatih ketangkasan tubuh bagian atas.
Modelnya serupa dengan tarian awi alu hanya saja bila pada tarian awi alu tongkat ditempatkan pada jarang 20-30 cm dari tanah maka pada tarian mage mot tongkat akan ditempatkan sejajar dengan leher.
Terakhir adalah keterampilan mengintai yang disajikan dalam bentuk tarian tua reta lo’u. Pada sesi ini seorang penari pria lengkap dengan pedangnya akan dinaikkan ke sebuah tiang bambu oleh rekan-rekannya.
Si penari akan bertumpu pada ujung tiang dengan perutnya. Ia berputar ke segala arah seperti sedang memantau keadaan.
Tiang dipegang oleh beberapa penari pria sambil beberapa penari wanita menari di sekeliling mereka. (Are De Peskim/AA/VoN)