Ruteng, Vox NTT- Marten Ingku mengaku sudah bernafas lega. Aktivitasnya setiap kali mentari terbenam, menyiapkan lampu pelita untuk menerangi malam tampak sudah mulai hilang.
Sekarang, ia dan keluarganya bebas dari cengkraman penderitaan gelap gulita tanpa listrik.
Betapa tidak, di kampungnya Wae Nenda, Desa Golo Lembur, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) saat ini sudah dialiri listrik.
Arus listrik bahkan terus mengalir di siang dan malam hari. Hidup dengan gelap gulita hanya diterangi lampu pelita selama bertahun-tahun, kini hanya menjadi cerita masa kelam.
“Pertengahan bulan Mei lalu mulai menyala,” kata Marten Ingku, salah satu warga Wae Nenda kepada VoxNtt.com, Kamis (5/10/2017).
Ia dan warga lainnya memang tidak pernah membayangkan bahwa listrik akan hadir di kampung mereka.
Jarak kampung itu saja dengan Benteng Jawa, ibu kota Kecamatan Lamba Leda sangatlah jauh sekitar belasan kilometer arah timur.
Di pusat kecamatan ini memang sudah ada listrik dari PLN Rayon Ruteng.
Cerita Kampung Wae Nenda bebas dari gelap gulita tidaklah mengalir begitu saja.
Kisah itu bermula saat Marten Ingku dan Fransiskus Yuvendi, dua warga Wae Nenda melihat potensi air terjun Tengku Liok yang ada di Kali Wae Laing.
Kali yang mengalir menuju Laut Flores itu letaknya tak jauh dari Kampung Wae Nenda. Jaraknya hanya beberapa ratus meter saja arah barat dari kampung itu.
“Kami merancang untuk pembangunan PLTA Wae Laing,” terang Marten.
Ide memanfaatkan arus air Kali Wae Laing menghasilkan potensi listrik seakan gayung bersambut oleh warga Wae Nenda lainnya.
Marten dan Yuven kemudian mengundang beberapa tokoh di Wae Nenda untuk serius membahas pembangunan PLTA Wae Laing.
Alhasil, ide dua pencetus itu langsung diterima oleh masyarakat secara keseluruhan. Warga kemudian sepakat untuk mulai membangun secara swadaya.
“Setelah itu kami merancang semua bahan yang dibutuhkan,” kata Marten yang adalah satu tokoh muda di Kampung Wae Nenda itu.
Setelah warga menyepakati untuk membangun PLTA Wae Laing, Marten dan Yuven kemudian menyodorkan jenis-jenis peralatan yang dibutuhkan. Alat-alat itu seperti, turbin, semen, pipa, dan peralatan yang dibutuhkan lainnya.
Tak hanya mencetuskan ide, Marten dan Yuven terpaksa harus bekerja ekstra untuk mengatasi masalah keuangan.
“Kami mengumpulkan semua warga untuk mengumpulkan uang awal untuk pembangunan PLTA,” kata Marten.
Setiap Kepala Keluarga (KK) kemudian mengumpulkan uang awal berjumlah Rp 375.000. Dana tersebut digunakan untuk pembelian turbin, pipa, dan kabel.
Tak hanya sampai di situ, warga Wae Nenda dengan penuh kesadaran selanjutnya mengumpulkan uang tahap dua berjumlah Rp 170.000 tiap KK.
Pengumpulan tahap dua ini digunakan untuk pembelian dynamo dan semen. Sedangkan tenaga kerja dilakukan secara gotong royong warga.
“Jumlah KK di Wae Nenda sebanyak 100 lebih, yang sudah memakai arus listrik hanya 70 KK yang lain belum tarik arus karena daya tidak bisa muat,” ujar Marten.
DPRD NTT Beri Bantuan
Adalah Inosensius Fredi Mui salah satu anggota DPRD NTT yang tergerak hati dengan perjuangan warga Wae Nenda.
Fredi kemudian membantu membeli kabel listrik kepada warga Wae Nenda sebanyak satu rol (sekitar 500 meter).
Pada Mei lalu, politisi NasDem itu kemudian membawa langsung bantuan kabel tersebut di Kampung Wae Nenda.
Kala itu, ia disambut dengan antusias oleh warga dan diterima di rumah gendang (rumah adat).
Fredi sendiri tak hanya tertarik membantu warga Wae Nenda. Ia juga berinisiasi akan membantu kabel listrik untuk warga Kampung Wantal, sebuah kampung sebelah barat Kali Wae Laing.
Menurut dia, potensi listrik dari PLTA Wae Nenda sangat besar dan bisa juga mengalir di dua kampung sekitar yakni, Wantal dan Lompong.
“Untuk kabel biar saya tanggung, sedangkan untuk dynamo PLTA mohon masyarakat urunan. Bisa juga koordinasi baik dengan kepala desa agar dialokasi lewat dana desa,” ujar Fredi saat mengunjungi Kampung Wantal pada 30 Agustus lalu.
Marsel Bur, salah tokoh masyarakat Wantal meminta Fredi agar memperjuangkan jaringan listrik di kampungnya.
“Saat ini kabel yang dibutuhkan dari PLTA Wae Laing ke Wantal yaitu 1.870 meter,” ujar Marsel saat tatap muka dengan Fredi di kampung itu. (Adrianus Aba/VoN)