Oleh: Nadha
Fajar bergulir dalam porosnya berganti senja yang menyinggahi cakrawala dalam bias jingga di ufuk barat. Nyiur dibelai sang bayu menyapa lembut tubuh dua insan yang sedang dihiasi indahnya asmara.
Suara deru ombak yang dengan santainya bergulung seolah menambah rasa romantis tersendiri sembari dingin merambah mencari celah.
Sementara Sofie sedang menikmati sore itu, tiba-tiba suara handphone-nya berdering tanda pesan masuk. Ditatapnya layar ponsel, pesan dari Mommy. Dengan segera ia membaca isi pesan;
Sofie PULANG sekarang juga!
Ada hal yang ingin Mama bicarakan.
“Ada apa gerangan?” Sofie membatin.
Gadis berparas cantik, didandani mata sayu indah bola pingpong, berambut ikal sebahu yang dibiarkannya tergerai begitu saja dengan sentuhan jepitan kecil model kembang favoritnya menghias di kepalanya.
Kala itu Sofie sedang melewati senja di tepi pantai bersama Charles, pria yang telah menjadi tambatan hatinya selama dua tahun belakangan ini. “Sayang, aku harus pulang sekarang ”.
Sofie berucap dengan penuh kekhawatiran, parasnya berubah menjadi sedikit pucat. “ Sayang, ada apa? apa kamu baik-baik saja? Tanya Charles sambil menggenggam tangan halus pujaan hatinya itu.
“Aku baik-baik saja” jawab Sofie setelah menarik nafas panjang seolah sedang menikamati hembusan angin sepoi berusaha membohongi kekasihnya.
Senja pun berlalu, sang dewi malam hendak menduduki singgasana langit. Dengan menggunakan Vixion putihnya, Charles mengantar Sofie kembali ke kediamannya.
Perjalanan ditempuh dalam diam tanpa kata dari Sofie. Bola mata sayu itu dibayangi wajah tegas sang Bunda.
Lima belas menit berlalu, tak terdengar lagi bunyi mesin motor yang dikendarai Charles.
Tak sadar Sofie telah sampai di rumahnya. Tampak halaman yang cukup luas dengan pepohonan rindang dan tanaman cantik lainnya di sana.
Pemilik paras cantik itu mengucapkan terimakasih pada Charles dan dibalas dengan kecupan mesra yang berlabuh di keningnya.
Senyuman manis Sofie sambil mendoakan hati-hati di jalan mengiringi punggung Charles yang kini berbalik arah untuk pulang.
“Selamat sore Ma” Sofie memberi salam pada wanita setengah baya yang dikasihinya itu. Sorot mata tajam dan tegas membalas salam anak perempuannya yang sudah dewasa itu.
Sofie mengayunkan langkah kakinya perlahan mengambil posisi duduk di samping Ibu Santa, ibundanya. “ Kamu harus putus dengan Charles, pria itu tidak pantas dengan kamu!” bentak Ibu Santa. “ Kenapa harus seperti itu Ibu? ” tanya Sofie.
Mata sayu itu seolah membendung hujan, bibir tipis yang tadi menyunggingkan senyum kini bergetar.
“Ibu bilang tinggalkan lelaki itu! selama masih ada Ibu di rumah ini tak ada seorangpun yang boleh keluar dan pergi pada yang lain ” bentak Ibu Santa dengan nada suara meninggi dan semakin tegas kemudian berlalu dari hadapan Sofie. “
Ibu…. Ibu… ” panggil Sofie sambil berlari mengikuti Ibunya. Sementara itu terdengar *praaak* pintu kamar tertutup rapat. Tangis Sofie memecah menatap pintu kamar.
Ibunya yang enggan dibukakan. Di belakang Sofie tampak pria bertubuh tinngi, kumis tipis, dengan beberapa helai rambut yang telah beruban, menatap Sofie dengan rasa iba. Ia berjalan ke arah Sofie yang masih terisak dalam tangis.
Bapak Wilem memeluknya dengan penuh kasih seorang ayah pada anaknya. Dekapan hangat serta belaian lembut penuh kasih meredakan hujan di mata anak perempuannya. “Yah, kenapa Ibu begitu kejam pada Sofie?” Dekapan Bapak Wilem kembali dihujani deraian air mata Sofie.
“Ayoo Sayang, mari duduk dulu. Jangan terus menangis” bujuk Bapak Wilem sambil menggandeng tangan Sofie.
Tanpa mengoceh, Sofie menuruti permintaan ayahnya. Dengan langkah kaki yang gontai berjalan ke arah tempat duduk yang ditunjuk ayahnya.