Vox NTT- Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA PKK) mengecam keras tindakan intimidasi oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) terhadap masyarakat adat Pubabu-Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Dalam rilis ITA PKK yang diterima VoxNtt.com, Kamis (19/10/2017) malam, menjelaskan pada Selasa, 17 Oktober 2017 Sat Pol PP yang bertindak atas nama Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT mendatangi masyarakat adat Pubabu.
Mereka datang bersama rombongan untuk membawa surat pembebasan lahan yang diklaim sebagai aset milik Pemprov NTT.
Rombongan Sat Pol PP, Sekretaris Kecamatan Amanuban Selatan, dan pihak Polda NTT kemudian menerobos masuk rumah milik David Manisa, salah satu masyarakat adat Pubabu.
Utusan Pemprov NTT itu memasuki rumah milik David untuk meminta segera melakukan penandatangangan surat pengosongan lahan atau hutan adat Pubabu.
“Kedatangan tersebut membuat Bapak David Manisa merasa ketakutan dan trauma, tanpa sebab akibat dan tanpa menjelaskan maksud penandatangan surat tersebut, akhirnya Bapak David Manisa enggan untuk menandatangani surat pernyataan tersebut,” tulis ITA PKK dalam rilis yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Adat Benyamin Selan dan Ketua ITA PKK Pubabu-Besipae, Imanuel Tampani itu.
Selanjutnya, sebut ITA PKK, oknum Sat Pol PP beserta Polda NTT dan UPT Dinas Peternakan Provinsi memaksa lagi. Ada yang membentak, ada yang memotret layaknya seorang teroris besar.
Ada pula salah satu oknum dalam rombongan berkata “foto dia supaya dia lari na kita bisa kejar dia”.
Tanpa ada perlawanan dari David Manisa. Mereka mengambil fotonya yang saat kejadian sedang memakai celana pendek tanpa menggunakan busana baju.
David Manisa pun diajak untuk mengikuti mereka agar bersama-sama menuju ke rumah warga masyarakat adat lain.
Setelah dari rumah David Manisa, mereka juga mendatangi rumah milik Frans Sae.
Frans Sae juga dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pengosongan lahan.
Pemaksaan yang dilakukan oleh rombongan tersebut mendapat protes dari masyarakat setempat.
Frans Sae juga enggan menandatangani surat pernyataan tersebut. Intimidasi terhadap Frans Sae juga dilakukan dengan cara memotret dan mereka juga berkata, “foto dia juga supaya kalau dia lari kita bisa tangkap dia”.
ITA PKK menyatakan perbuatan tidak layak dan tidak manusiawi juga dilakukan oleh rombongan tersebut ketika mereka mendatangi rumah milik Damaris.
Mereka memaksa Ibu Damaris tanpa memperhatikan ia yang sedang memakai busana.
“Perbuatan tersebut adalah perbuatan tidak manusiawi terhadap kaum perempuan. Perbuatan pemaksaan juga dilakukan terhadap ibu Damaris. Ibu Damaris juga enggan untuk penandatangani surat pernyataan tersebut. Akhinya Ibu Damaris juga diitimidasi dengan cara yang sama tehadap kedua orang sebelumnya,” beber ITA PKK.
Selanjutnya, pada pukul 15.30 Wita mereka juga mendatangani rumah Apolos Selan, Ketua RT 20.
Rumah Apolos berdekatan dengan lopo (tempat masyarakat adat berkumpul untuk melakukan pertemuan).
Di situ ada masyarakat yang sedang berkumpul, sehingga terjadi perdebatan antara masyarakat adat Pubabu dengan rombongan Pemprov NTT.
Masyarakat dengan tegas menolak aksi intimidasi yang dilakukan oleh Sat Pol PP. Warga menolak untuk menandatangani surat pernyataan tersebut.
Situasi semakin memanas akibat tindakan membawa surat pernyataan tersebut tanpa ada sosialisasi terhadap masyarakat adat Pubabu.
“Masyarakat adat Pubabu shock dan trauma akibat dari tindakan intimidasi yang dilakukan oleh pihak Satpol Pamong Praja Provinsi Nusa Tenggara Timur,” sebut ITA PKK.
Atas berbagai upaya intimidasi tersebut, ITA PKK menuntut agar menindak tegas secara hukum oknum Sat Pol PP tersebut.
Pemprov NTT juga diminta untuk mencabut sertifikat hak pakai nomor :00001/2013-BP,794953. Lalu, memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hutan adat Pubabu.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan VoxNtt.com belum berhasil mengonfirmasi Pemprov terkait tindakan intimidasi tersebut.
Sumber: Rilis ITA PKK
Editor: Adrianus Aba