Borong, Vox NTT- Tinggal setahun lagi, masyarakat Provinsi NTT akan menggelar pesta pemilihan gubernur dan wakil gubernur periode 2018-2023.
Sejumlah petani di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) pun mengharapkan gubernur dan wakil gubernur NTT lima tahun ke depan ialah mereka yang mempunyai kebijakan pro rakyat kecil.
Sipri Luis, petani asal Kecamatan Rana Mese mengatakan sebagai petani dirinya menginginkan pemimpin NTT harus peduli dengan masyarakat kecil seperti petani.
Baca Juga: Ini Sosok Gubernur NTT yang Diinginkan Petani di Nagekeo
Mimpi tersebut muncul lantaran selama ini kata dia, petani di Matim belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah provinsi NTT.
“Saya ambil contoh saja, soal pupuk. Selama ini petani sawah sulit sekali dapatkan pupuk. Padahal ini sangat penting untuk pertumbuhan tanaman kami. Pupuk didapatkan di pengecer pun jumlahnya terbatas dengan harga yang cukup mahal. Ini hal kecil yang tidak boleh disepelekan pemerintah,” ujar Sipri kepada VoxNtt.com, Kamis (03/11/2017).
Dikatakan, selama ini banyak tanaman-tanaman petani diserang hama. Namun tidak ada solusi jitu dari pemerintah.
Tanaman kakao misalnya sejak lima tahun lalu diserang hama. Namun hingga hari ini belum ditanggapi pemerintah.
Sipri menjelaskan, penyakit pada tanaman kakao itu hampir terjadi di seluruh wilayah Matim. Padahal tanaman ini cukup membantu ekonomi petani setiap bulan.
“Tidak ada respon sama sekali. Tetapi belum ada jalan keluar yang dibuat pemerintah untuk nasib petani, padahal sudah sering dilaporkan ke pemerintah,” tegas dia.
Terpisah, Bernadus Samuel petani asal Kecamatan Poco Ranaka, mengatakan dirinya mengharapkan pemimpin NTT ke depan adalah mereka yang peduli pada pembangunan infrastruktur pedesaan.
Baca Juga: Pilgub NTT 2018, Petani di Ende Tolak Calon Pemimpin yang Suka Tebar Janji
Menurut Samuel, selama ini petani miskin karena kondisi infrastruktur jalan raya yang buruk dari desa ke kota.
Buruknya infrastruktur mengakibatkan biaya transportasi naik.
Hal itu mengakibatkan pula harga barang pokok di desa sangatlah mahal.
“Sedih sekali nasib kami petani. Mau angkut hasil bumi ke kota itu susah. Terpaksa kami jual komoditi di pengusaha terdekat dengan harga yang di bawah standar,” ungkap Samuel.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Adrianus Aba