Labuan Bajo, Vox NTT-Hari masih siang. Panas mentari terasa menggigit di kulit. Angin pantai terasa menjauh, enggan bertiup kencang.
Tapi perjalanan harus dilakukan. Hari itu, tepatnya tanggal 23 November 2016 lalu, BKH pergi ke desa Benteng Dewa, menyerap aspirasi warga. Ini salah satu desa di wilayah selatan Manggarai Barat.
“BKH harus ke sana, sudah lama warga merindukan kedatangannya. Saya sering ditanyai, kapan bapak BKH ke tempat kami? Saya hanya bilang, bersabar. Pada saatnya BKH akan datang. Mengelilingi satu per satu semua desa di NTT membutuhkan waktu. Tapi yakinlah, suatu saat BKH akan ke benteng dewa ini”, demikian cerita seorang warga bernama Towan ke saya lewat telepon.
Namun, perjalanan ke Benteng Dewa tidaklah mudah. Daerah ini cukup terisolir. Jika ke sana, pilihannya ada dua. Pilihan pertama, menggunakan mobil truk atau bis kayu (otto colt) tapi dengan syarat air belum naik. Jalan masuknya sebelum jembatan Wae Ara.
Jika masa kecil anda seperti saya yang pernah tinggal di Golokarot-Lembor, jalan masuk ini dulu adalah tempat BUMN HK menggilingkan batu jadi krikil untuk aspal di dataran Lembor yang saat itu dijuluki sebagai Surabaya kedua.
Ini juga pernah menjadi tempat saya cari kayu api atau sekedar mencuri kerara (sukun) bersama teman teman masa kecil. Yahhhh…..kenakalan masa kecil yang manis untuk dikenang. Tetapi kerara itu saat ini sudah tidak ada lagi. Sudah ditebang.
Jadi bagi saya, menelusuri kembali jalan ini adalah menapak tilas jalan kenangan. BKH membawaku kembali ke masa kecil. Tapi kami tidak melewati jalan itu, karena mobil apapun tidak bisa lewat. Air lagi naik.
Kami memilih menggunakan sampan, motor laut nelayan kecil. Ini pilihan kedua.
Untuk itu, jalan kecil di belakang Nangalili kami lewati. Di tempat itu, ada banyak pedagang ikan, kue atau sekedar menjual kopi untuk para nelayan atau orang yang datang mancing.
Begitu mereka melihat BKH, semua datang bersalaman. Mereka tidak menduga BKH datang ke situ. Setelah ngobrol sekitar 30-an menit, BKH turun ke sampan yang sedang menunggu.
Sampan tentu bukan kapal phinisi atau kapal roro (ASDP). Tapi inilah modal transportasi satu-satunya untuk siapapun yang mau ke Benteng Dewa jika air pasang.
Ada rasa takut untuk naik sampan. Maklum, orang gunung, berenang sekedar bisa untuk melangsingkan badan. Tapi keinginan untuk bertemu masyarakat dan melihat wilayah itu membunuh rasa itu. Apalagi melihat BKH yang sangat antusias naik sampan. Ini juga membawa BKH ke masa kecil.
“Lexy, dulu waktu masih kecil, kami sering bersama dengan tetangga yang memiliki sampan sering mencari ikan di Laut Sawu”, BKH mulai bercerita di atas sampan kecil itu. Dia melanjutkan bahwa saat itu, Iteng belum seramai sekarang. Nelayan juga masih sedikit.
“Saya sebetulnya tidak terlalu mengharapkan berapa ikan yang akan didapat, tetapi melihat dari dekat bagaimana para nelayan bekerja. Itu pengalaman yang luar biasa. Setiap hari mereka mengarungi lautan dan ganasnya ombak demi sesuap nasi buat keluarga-istri dan anak. Yaaaah….begitulah hidup, penuh dengan perjuangan. Tidak ada yang didapat dengan begitu mudah. Jika kita bekerja, kita akan dapat hasilnya. Namun jika kita tidur, yang ada hanyalah mimpi,” lanjut BKH dengan senyum khasnya.
Tanpa terasa, kami sudah berlabuh. Jangan bayangkan pelabuhan yaaa….Tidak ada pelabuhan di situ. Nahkoda sampan melempar tali pengikat sampan ke temannya.
Tali tersebut diikatkan pada sepotong kayu kecil yang ditancapkan ke tanah. Kami turun. Jalan naik sedikit beberapa meter. Itu jalan setapak.
Di ujung jalan itu adalah tempat tukang ojek mangkal. Mereka menunggu penumpang sampan. BKH kembali bersalaman dengan mereka semua.
Mereka berebutan agar BKH naik di motor mereka. Tapi tidak mungkin semua motor menaikan BKH. Hanya satu motor yang BKH naik.
Karena Benteng Dewa jaraknya sekitar 4 kilometer dari tempat mangkal ojek itu, di perjalanan saya menanyai tukang ojek yang saya naik.
“Kae (kakak), mengapa tadi rebutan menaikan BKH ke motor? Dia mengatakan bahwa menaikan BKH ke atas motor yang kita punya, adalah cerita yang tidak pernah habis. Dia mengunjungi desa kami, mendengar aspirasi kami dan motor yang dinaikinya akan menjadi cerita kami di sini. Selamat berjuang BKH, kamu selalu di hati”, ujarnya ketika kami kembali.
Kontributor: Lexy Armanjaya, Staf Ahli DPR RI
Editor: Andre J