Borong, Vox NTT- Laurentius Ni, praktisi hukum dari Manggarai Timur (Matim) menanggapi keberatan Merdianus Jemahan, tu’a gendang (tua adat) Kampung Jawang, Desa Golo Kantar, Kecamatan Borong.
Sebelumnya, Jemahan meminta Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten Matim untuk membatalkan pengukuran tanah ulayat di wilayahnya.
Baca: Tua Gendang Jawang Minta Batalkan Pengukuran Tanah Ulayat
Menurut Laurens Ni, keberatan Jemahan tersebut sangat beralasan.
Sebab, Jemahan sebagai tu’a gendang sangat mengetahui kepemilikan tanah ulayat di Kampung Jawang.
Alasan mendasar lain bahwa Jemahan juga sebagai tu’a teno.
Tu’a teno dalam kepercayaan adat Manggarai adalah orang dari tu’a gendang yang bertugas menentukan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian.
Hal ini tentu saja relevan dengan go’et (ungkapan adat Manggarai) yakni, gendangn one, lingkon pe’ang. Ungkapan ini berarti di suatu komunitas/kampung ada rumah adat dan ada juga tanah ulayatnya.
Atau dengan kata lain ungkapan itu ada makna esensial antara gendang dengan kebun komunal (lingko).
“Keberatan itu sangat bealasan. Karena tua gendang merasa tidak dihargai oleh BPN dengan tidak menghadirkan tua gendang dalam pengukuran tanah yang ada di wilayah lingkonya (ulayat),” ujar Laurens Ni saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Senin (06/11/2017).
Karena itu, dia menyarankan agar BPN dan sejumlah pihak yang dilibatkan dalam pengukuran tanah ulayat Kampung Jawang harus diketahui oleh tua gendang.
Begitu pula dalam proses jual beli tanah dalam lingkup ulayat suatu gendang haruslah ditandatangani oleh tua adat.
Hal ini dilakukan, kata dia agar tua gendang bisa mengetahui pengalihan lahan dari seseorang ke orang lain dalam kaitan dengan locang (sumbangan untuk acara adat dalam wilayah adat tersebut).
“Ini juga salah satu bentuk penguatan terhadap keberadaan masyarakat adat yang diakui dan dihormati oleh warganya dalam struktur adat,” ujar Laurens Ni.
Lebih lanjut kata dia, struktur adat itu seperti tu’a golo (pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga, menjaga keamanan, dan kebun warga).
Lalu, tu’a teno ( orang dari tua gendang yang bertugas menentukan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian).
Dan, tu’a panga (orang atau turunan tua gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijakan tua gendang. Panga berarti cabang.
“Masyarakat kita sebenarnya masih sangat menghargai keberadaan masyarakat adat yang secara turun temurun tetap diakui,” katanya.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Adrianus Aba