Duka Lelaki Senja
Oleh Marsel Koka
Terik mentari mengigit bumi dengan sengatnya yang tak terkatakan. Di angkasasana tak ada awan menutup terik. Langit biru berdendang riang menjemput siang yang semakin menawan. Sudah hampir setengah hari, lelaki tua itu duduk membeku di kursi kumalnya. Dia tertegun dalam diam. Sendirian. Dia seola buta akan hilir-mudik orang-orang di depan rumahnya. Siang yang semakin bolong itu dia terpekur dalam kebisuan yang kosong. Dia, pria yang ditinggal pergi oleh istri dan kedua anaknya. Ya, kedua putri dan istrinya menjadi saksi bisu kemarahan alam. Alih-alih mengais rejeki di lokasi tambang, ketiganya dijemput maut dan tenggelam bersama tumpukkan pasir beberapa tahun silam. Yang lebih sial lagi ketigannya dipersalahkan tanpa ampun oleh investor dan sesama warganya. Begitulah takdir orang miskin. Kapan saja mereka disalahkan dan mati dalam kehampaan.
Lelaki tua itu seakan-akan masa bodoh pada hari yang sudah semakin jauh meninggi. Barangkali setan kemalasan sudah lebih awal mengodanya untuk tak pamit dari kursi usangnya itu. Sejak kepergian istri dan kedua anaknya pria ini memang hobi mendudukkan pantatnya di kursi reot itu. Dia masih tak terima pada kenyaan pahit yang dialami. Pagi, siang, malam bahkan hingga pagi lagi ia menghabiskan waktunya di kursi usang itu. Mungkin keduanya dipertemukan untuk tidak dipisahkan. Entalah. Maklum sebab kursi itu adalah hasil keringat satu-satunya sejak ia mendandani rumahnya tangganya bersama istri dan ketiga bauh hatinya.Kursi-kursiitulah membuat tapak-tapak hidupnya menjadi bermakna. Namun setelah kematian yang naas menimpa istri dan kedua putrinya itu dia lebih memilih lebih banyak berdiam diri. Mungkin diam adalah cara yang paling bijak ketika kenyataan hidup tak memihak padanya. Sebab sebagian orang bilang apa yang tak terkatakan mungkin kita harus diam.
Bocah-bocah kecil berteriak kecil dan lalu lalang ke sana kemari di halaman rumahnya. Suara-suara mereka seakan tumpul dan hilang leyap entah kemana. Di kursi reotnya itu dia masih terpaku dan tenggelam dalam kehampaan. Tak ada kata-kata yang keluar dari rongga mulutnya. Tatapannya jauh dan sunyi. Hanya sesekali ia menunduk lalu menggelengkan kepalanya. Kadang-kadang dia komat-kamit dengan kata-kata yang tidak jelas. Badai hebat sedang menguncang sekujur tubuhnya. Jiwa sedang dihadapkan dengan gejolak yang meluap-luap.
Kalau dulu, nyawa istri dan anaknya dicuri maut di lobang pasir itu. Kini ia pun bersua pada pilu yang lebih ngeri. Anak laki-laki semata wayangnya pergi tanpa kata. Tiga minggu yang lalu beberapa warga menemukan anak laki-laki satu-satunya tak bernyawa di jembatan angker. Di jembatan sempit dan rusak itu, nyawa anaknya mengerang dipagut maut. Dia retak dan rapuh. Pergi tanpa kata selamanya.
Kini lelaki tua itu semakin tak tentu nasibnya. Ibarat sudah jatuh tertimpah tangga, tersiram air panas. Hatinya mendidih dan perih. Keping demi keeping jiwanya punah. Warga setempat pernah bilang kalau sudah ada banyak nyawa hilang dan terkubur di sana. Tak segan-segan jembatan angker itu memenggal kepala orang-orang yang lewat di situ. Warga sekitar menyebutnya sebagai jembatan pembunuh yang sadis. Di sisi kiri dan kanan jembatan itu ada banyak tumpukan batu, beberapa potong baju dan celana, sandal jepit serta sia-sia lilin yang habis terbakar meneraingi tubuh yang mati terkapar dalam kesedian. Jembatan itu angker bukan karena ada setan haus darah yang menunggu di sana. Tetapi karena kondisinya yang ganas.Jembatan itu rusak berat dan hampir roboh. Lobangnya mengganga di mana-mana. Kalau lewat disitu, engkau siap berdoa novena. Sebab engkau akan berada dalam bahaya maut. Antara hidup dan mati. Kondisi mengerikan ini membuat orang tak berani lewat di sana. Kecuali kalau engkau dalam keadan mabuk dan siap mati. Di jembatan angker ini maut menjemput anak pria tua itu. Tubuhnya kaku dalam diam. Di sana kematian merajalela, dan menari-nari dengan sombongnya. Antonius Agung pernah memberikan peringatan kepada kita katanya “setiap hari kita menatap maut dan maut melirik kita”.
Memasuki hari baru berarti memasuki ancaman maut. Untuk itu, kalau kita bangun pagi hari, jangan terlalu percaya diri bahwa masih bisa hidup sampai malam hari. kalau kita naik ke tempat tidur untuk tidur malam, jangan terlalu percaya diri bahwa besok pagi bisa hidup. Sebab hidup kita selalu kurang aman di hadapan kematian.
Lelaki tua itu remuk dalam amukan badai jiwanya. Pedih dan perih membeku, membatu pada hatinya. Ia dipaksa untuk menjadi angin. Pergi dan datangnyapun ia tak tahu. Dukanya lebih ganas dari jembatan itu. Dia tahu kalau di jembatan tua itu kematian menjadi hal yang murah dan biasa saja. Hatinya kini pecah berantakan setelah ia mengingat kembali omong kosong para pemimpinnya. Bagaimana tidak, beberapa caleg yang sempat bertarung dalam Pemilu,sempat menjadikan jembatan ini sebagai agenda politik mereka di saat kampanye. Tetapi sampai saat itu, janji mereka tidak menunjukkan kumisnya. Dia ingin bangkit dan pergi tagih hutang di rumah rakyat dan teras kekuasaan mereka. Hutang kepedihan dan luka yang mengiris-iris hatinya membayangi-banyangi otaknya. Dia, anaknya serta seluruh warga pernah dibuai oleh gombal para caleg bahwa suatu saat mereka akan menyulap jembatan keropos itu. Namun kini mereka sadar, kalau para caleg itu bermulut besar yang pandai bersilat lidah namun nihil realisasi. Jauh panggang dari api. Kebohongan sangat nampak pada dahi mereka. Semua orang di kampungnya menjadi tahu kalau mereka lebih pandai berebut kursi, dan bekoar-koar, yang menjijikan. Kini dia tahu dukanya memang miliknya.
Lelaki tua itu masih tak mau bangkit dari kursi usangnya. Hujan kepedihan masih mengguyur tubuhnya dengan hebat. Sisa-sisa kepiluan masih mengenangi tubuhnya yang tak kuat lagi. Garis-garis kesedihan juga keputusasaan jelas dari sorot matanya. Dia masih tak terima kalau anaknya dirampas pergi oleh maut berdarah itu. Dia tahu di jembatan itu ada banyak jiwa yang sedang menagih janji kepada para pemimpin. Wajah anaknya masih rapi membekas di sudut jiwanya. Tak banyak kata yang keluar.
Wajahnya pucat pasi pertanda dia tidak kurang tidur. Ia mungkin sedang masuk pada pergumulan yang paling ngeri tentang kemahakuasaan Tuhan yang ia dengar dari kaum berjubah. Raut wajahnya yang semakin kusam memberi sinyal bahwa ia sedang protes dan marah yang meledak-ledak pada Allah yang ia percaya selama ini. Tatapan yang kosong membahasakan bahwa Tuhan sedang bertindak tidak adil padanya. Baginya Tuhan itu telah mati. Titik. Di saat-saat itu, engkau tak perlu berbasa-basi tentang kebaikan Tuhan sebab ia tak segan-segan menendang engkau jauh-jauh.
Siang itu berlari semakin jauh. Di sebelah rumah dari pria tua tadi tepatnya di bawah pohong manga seorang pria baya duduk melongo di bale-bale buatannya. Badannya besar dan tinggi. Dia sedang mengipas tubuhnya yang bercucuran keringat. Ia setengah bugil sehingga perut buncitnya menggunung dengan jelas. Tak ada kata-kata yang teucap dari mulutnya. Dia sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Kali ini karena terlalu lama, sedikit demi sedikit ia mengeluarkan rokok Surya kesukaanya dan sesekali menyembur asap ke udara. Dia tenggelam dalam kepulan asap putih yang menempel sekitar kumis tebalnya. Beberapa saat dia meminta minum, minta makan, minta itu, minta ini. Pokoknya macam-macam. Dan dengan gesit wanita berambut pirang tiba-tiba muncul dengan gesit melayani segala permintaan lelaki itu. Dia mungkin istrinya. Wanita itu jarang keluar dari rumahnya. Dia selalu menghabiskan waktunya di dalam rumah. Entah kenapa banyak tidak tahu. Namun banyak orang bilang wanita itu trauma sebab dia sering dipukul oleh si pemilik perut buncit itu. Suaminya memang dikenal sebagai pria ganas dan bengis. Ia sering main serong dan main hakim sendiri. Gerakan kumisnya bisa membuat engkau hilang akal dan lari berbirit-birit. Selain dikenal sebagai orang galak, pria yang berkumis tebal ini juga dikenal sebagai raja judi dikampung itu. Bale-bale di rumahnya menjadi tempat dia dan kawan-kawannya beradu nyali. Berulang dia keluar masuk bui akibat judi tapi itu tak membuatnya jera. Pil pahit harus ditelan istrinya disaat ia kalah judi. Ia aan marah-marah dan memukul istrinya.
Di tempat itu memang cukup banyak orang yang bertipe sama dengan pria baya itu. Mereka terinveksi virus yang bernama judi. Di lorong-lorong pasti ada bale-bale berukurnan kecil, sedang dan besar. Siang malam pasti ada pantat yang selalu menjilatnya tubuhnya. Semua jenis judi ada di sana mulai dari sabuk ayam, kartu, dadu, kupon dan sejenisnya. Biasanya pria-pria tua yang mendominasi perkumpulan ini. Ada yang berbaju dinas, ada telanjang dada, ada yang botak, ada yang kribo, ada yang kemomos dan juga ada ompong. Kelompok lain juga tidak kalah. Mereka adalah oma-oma yang hampir masuk liang lahat tetapi masih nekat bertarung. Mama-mama juga tak ketinggalan. Mereka sengit dan lincah. Kalau kalah judi mereka sering aduh mulut, maki-maki dan adu jotos. Ibu-ibu mudah sedikit beda. Kalau bukan cari kutu, mereka cari perhatian, dan gosip-gosipan. Anak-anak lebih heboh lagi. Kalau jalan sendirian engkau harus siap-siap sebab mereka akan mengambil apa yang ada padamu. Maklum sebagian anak-anak kerempeng tidak tidak tamat sekolah bahkan tidak sekolah. Mereka hidup sebatang kara sebab orang tuanya lebih memilih mengadu nasib dengan merantau ke luar negeri. Mereka tidak punya masa depan. Hak mereka untuk mendapat pendidikan dirampas entah ke mana. Negara cendrung mengurus perut dan kantongnya.
Pria tua tadi masih tak mau pamit dari kursi usangnya. Kini ia tak peduli pada hiruk-pikuk sesamanya. Dia seakan-akan tak peduli pada dunia yang memandangnya dengan kasih. Baginya hidup adalah kejatuhan demi kejatuhan. Pagi, siang, malam tanpa henti aa masih di sana. Dia lupa diri dan akhirnya di kursi usangnya itu tengelam pada kebisuan panjang selama-lamanya.Baginya apa yang tak terkatakan, kita musti diam. Dalam diam ia tengelam. Itulah duka lelaki senja.
Pondok Rogate
Maumere, 6 November 2017
Lelaki Tua dan Gairah Menulis dari Marsel Koka
Oleh Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Membaca keseluruhan cerpen ini secara pribadi saya salut dengan semangat dari Marsel, sang penulis cerpen untuk edisi VOX NTT kali ini. Ada energi besar yang layak untuk terus dipoles oleh Marsel.
Dari keseluruhan cerita yang tersaji tampak bahwa Marsel adalah seorang yang sedang pada tahap awal untuk mencemplungkan semangat dan niatnya untuk terus mendalami dunia menulis khususnya karya sastra (baca cerpen).
Beberapa catatan untuk cerpen ini adalah ia tersaji dengan melaju. Marsel seperti sulit mengendalikan bahasa sebagai alat yang kadang perlu dikekang untuk menimbulkan semacam degup pada dada pembaca tentang duka dari lelaki yang kehilangan orang-orang tercintanya. Cerpen ini belum sepenuhnya mampu mengontrol gerak cerita. Bahasanya pun tampak mengalir tapi ketika didalami lagi terkesan seperti dilebih-lebihkan.
Kisah tentang lelaki yang kehilangan istri dan dua anak perempuan terdahulunya pun hanya jadi seperti pelengkap. Tak digambarkan kisah kenapa harus istri dan anak perempuannyalah yang jadi penambang pasir hingga akhirnya mati. Kisah ini saja kalau didalami Marsel lalu diikuti dengan kematian puteranya di jembatan sudah jadi kisah yang dramatik untuk digali kedalamannya. Sayangnya Marsel lebih asyik masyuk dengan cerita yang terus melaju.
Dari sudut pandang orang pertama Marsel seharusnya menjaga alur cerita dengan terus membuat semacam hentakan tentang duka lelaki senja. Lagi-lagi itu tak tampak. Pada bagian lain dari cerita cerpen ini hadir mirip renungan yang sepertinya menggurui pembaca.
Saya percaya bahwa Marsel akan terus menjadi luar biasa ketika ia terus mendalami dunia menulisnya, khususnya menulis cerpen.