Ende, Vox NTT-Suku Kewi, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada mengadu lembaga Pertanahan Kabupaten Ngada ke Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Flores-Lembata di Ende.
Pengaduan ini berkaitan dengan persoalan sengketa tanah seluas sekitar 60 hektar yang masih berstatus quo di Desa Binawali, Desa Kila dan Kelurahan Fo’a, Aimere.
Putusan persoalan tanah yang dianggap belum mutlak ini membuat beberapa suku adat di Aimere merespon.
Suku Kewi misalnya, yang bersih keras atas hak tanah tersebut tidak menerima tindakan Pertanahan KabupatenNgada yang dianggap semena-mena melakukan kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dalam rangka kegiatan legalisasi aset atau Proyek Operasi Nasional Agraria (Pronan) sertifikat gratis.
Mereka menyatakan bahwa persoalan tanah puluhan hektar tersebut belum final. Sehingga, tidak diperbolehkan untuk melakukan suatu kegiatan termasuk dengan pengukuran untuk menerbitkan sertifikat.
Kepala Suku Kewi, Yohanes Meka Nae, ditemui Voxntt.com di Sekretariat Aman, Jalan Nuamuri, Ende, Flores, NTT pada Senin (13/11/2017) sore menyatakan keberatan atas tindakan Pertanahan Kabupaten Ngada untuk memuluskan program pronan.
Menurutnya, tindakan pengukuran tanah sudah melanggar putusan pengadilan negeri Bajawa.
Dalam putusan perkara Nomor 8/Pts.Pdt.G/1989/PN-BJW Jo Nomor 17/PK/Pdt/1992 menerangkan bahwa obyek tahan sengketa tersebut masih berstatus quo.
Sehingga tidak ada yang boleh beraktivitas hingga ada keputusan tetap yang dikeluarkan.
“Sertifikat itu nanti ditulis hak tanah siapa. Nah, saya tanya siapa yang berhak atas tanah itu,” ungkap Yohanes kepada Voxntt.com, Senin (13/11/2017) sore.
Kepada media ini, Yohanes menyatakan pihak Pertanahan Kabupaten Ngada melakukan pengukuran tanah sengketa pada Jumat (10/11/2017). Pengukuran melibatkan puluhan personil aparat dari Kepolisian Resor Ngada.
Ketua Aman Flores-Lembata, Phelipus Kami menegaskan bahwa Pemerintah dan Pertanahan Kabupaten Ngada mesti mengambil langkah strategi menyelesaikan persoalan perebutan tanah sengketa tersebut.
Menurut Phelipus, jika tanah masih berstatus quo maka pengukuran pronan mesti ditangguhkan.
“Kita justru mendorong Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan berjalan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Selesaikan secara kekeluargaan. Dan Bupati atau pihak Pertanahan memfasilitasi kepada suku untuk berdamai,” katanya.
Penulis: Ian Bala
Editor: Adrianus Aba