Ruteng, Vox NTT- Salah satu anggota DPRD NTT, Boni Jebarus merespon langkah sejumlah guru komite SMA/SMK di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) yang menyuarakan haknya.
Pada Senin, 20 November 2017, sejumlah guru komite SMA/SMK di Matim mendatangi kantor DPRD setempat.
Mereka datang untuk menagih keberpihakan dewan dalam mengurus kesejahteraan guru komite.
Dikabarkan, selama setahun terakhir guru komite hanya menerima gaji Rp 300 ribu perbulan, pasca kewenangan SMA/SMK diserahkan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT.
Baca: Melarat Selama Satu Tahun, Guru Komite Minta Keberpihakan DPRD Matim
“Kepada guru komite se-NTT, teruslah berjuang untuk menuntut hak, kami apresiasi sekali,” ujar Boni Jebarus saat dimintai komentarnya melalui pesan WhatsApp, Selasa (21/11/2017).
Dia mengaku, Fraksi Demokrat DPRD NTT sudah meminta Pemprov agar mengalokasikan anggaran untuk honor guru komite SMA/SMK di tahun yang sedang berjalan ini.
Tak hanya itu, Fraksi Demokrat juga meminta pemerintah agar segera mengangkat guru komite menjadi tenaga kontrak Provinsi NTT.
“Jawaban pemerintah masih dalam proses pendataan dan sampai saat ini Dinas Pendidikan masih ngambang dan tidak jelas,” ujar Boni Jebarus.
Menurut Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPRD NTT itu, persoalan kebijakan memang tidak hanya bertumpu pada dewan.
Artinya, DPRD dan Pemprov NTT harus menyetujui bersama terkait kebijakan guru-guru komite SMA/SMK tersebut.
“Fraksi Demokrat pastikan jika kader Demokrat BKH (Benny Kabur Harman) jadi gubernur (NTT), guru komite dan kesejahteraannya dibiayai oleh APBD provinsi sesuai kewenangan,” kelakar Boni Jebarus.
Honor Guru Komite Kembali Dibayar Kabupaten?
Informasi yang dihimpun VoxNtt.com, riakan guru-guru komite SMA/SMK yang santer terdengar yakni berasal dari Kabupaten Matim.
Keluhan para guru ini terutama karena sebelumnya mereka diberi upah memakai nomenklatur Bosda dan Tenaga Harian Lepas (THL) dari APBD II Matim.
Untuk guru Bosda mendapatkan upah berkisar Rp 600.000-Rp 700.000 perbulannya. Sedangkan untuk THL kurang lebih dibayar Rp 1.500.000 perbulannya.
Anggota DPRD Matim, Frumensius Frederik Anam menjelaskan keluhan para guru komite ini mulai muncul setelah urusan SMA/SMK dipindahkan ke Pemprov.
Sebab itu, semua tanggung jawab pemerintah kabupaten (Pemkab) Matim untuk SMA/SMK juga ikut diserahkan ke Pemprov NTT.
Mensi Anam mengatakan, untuk guru penerima Bosda tidak disanggupi oleh Pemprov NTT dengan alasan ketiadaan uang.
“Pada saat yang sama kita sudah tutup buku untuk mereka, uang sudah dialihkan ke anggaran kegiatan dan program lain,” jelas Mensi Anam saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Selasa siang.
Hanya guru yang selama ini sebagai THL di Kabupaten Matim yang disanggupi Pemprov NTT karena masih memiliki dana.
Begitu pun guru PNS, tinggal mengalihkan administrasi dengan memakai Dana Alokasi Umum (DAU) langsung dibayar Pemprov NTT.
“Dalam perjalanan ada wacana, bisa tidak gubernur, bupati, pimpinan DPRD provinsi dan kabupaten duduk satu meja, misalnya kalau provinsi tidak sanggup, maka kembali dibiayai kabupaten? Jalan ini dilakukan pada level elite, apa bisa lihat celanya,” ujar politisi Hanura itu.
“Pada sisi lain kita punya duit ngga, tahun ini kita urus Pilkada dan RSUD. Semuanya kena rasionalisasi, memang berat,” tambah Mensi Anam.
Biasanya, kata Mensi Anam, Pemkab Matim beralasan tidak memberi upah bagi guru komite SMA/SMK memakai APBD II karena mereka sudah merupakan kewenangan Pemprov NTT.
Terpisah, Leonardus Jehatu, seorang guru SMA di Matim mengaku sejauh ini hanya 94 guru THL dari kabupaten itu yang diakomodir oleh Pemprov.
Mereka diberi upah dengan memakai nomenklatur THL Pemprov NTT yang lengkap dengan SK Gubernur.
Jehatu sendiri senada dengan Mensi Anam yang menyebutkan semua guru Bosda SMA/SMK tidak diberi upah lantaran keterbatasan anggaran di Pemprov NTT.
“Jawaban sementara ini yang menerima gaji dari Pemprov NTT hanya yang di-SK-kan bupati masing-masing daerah, karena provinsi belum punya anggaran pada awal tahun 2017,” katanya.
“Hingga kini, kepastian kesejahteraan guru komite yang pernah terima Bosda di Matim tidak jelas lagi,” tambah Jehatu.
Penulis: Adrianus Aba