(Catatan Untuk Hari Ulang Tahun Guru, 25 November 2017)
Oleh: Berto Turu dan Klaudia Deda
Siswa SMAK Regina Pacis Bajawa
“Kebiasaan untuk tidak biasa diam dan kebiasaan untuk tidak menerima sesuatu dengan pasrah adalah kebutuhan utama kemajuan”. (Thomas Alfa Edison)
Kerinduan biasanya bersumber dari suatu pengharapan akan sesuatu yang belum tercapai dan juga dari semacam kerisauan atau kegelisahan hati terhadap fakta hidup yang buram.
Untuk saat ini, kerinduan yang dimaksudkan penulis adalah seputar realitas buram yang sedang dihidupi dan dipertontonkan oleh sebagian guru yang enggan bahkan malas menulis. Hal ini terbukti dengan jarangnya guru menulis di media cetak ataupun media online.
Penulis tidak bermaksud menggeneralisasi atau menjadikan fakta miris ini sebagai acuan utama bahwa semua pendidik di Negeri ini malas menulis. Namun sebagai seorang siswa yang kritis dan peka terhadap situasi sekitar, maka tulisan ini adalah bentuk simpati, empati, serta kepedulian sebagai makluk sosial untuk saling melengkapi satu sama lain.
Tak dapat dimungkiri bahwa, seringkali kita gagal paham tentang tugas guru dengan pikiran sempit yakni tugas guru adalah seputar membuat rencana perangkat pembelajaran, silabus, memberikan ulangan atau tes akhir, evaluasi dan mengajar di kelas. Dan tanpa disadari kitapun melegitimasi bahwa rutinitas demikian adalah tugas guru yang sesungguhnya.
Pemikiran terhadap rutinitas itu seringkali meligitimasi cara pandang yang keliru dan perilaku yang mengabaikan makna dan tugas guru yang sesungguhnya yakni keteladanan. Karenannya label guru pembelajar sebenarnya mau menegaskan figur dan tokoh keteladanan seorang guru.
Untuk hal ini penulis meminjam kalimat motivasi yang sering didengungkan oleh guru kami namanya Pak Boy Zanda di kelas yakni “berbicaralah apa yang dibuat dan bukan yang diketahui”. Artinya sebagai seorang guru akan lebih bijak bila mengatakan kepada anak didik apa yang dibuatnya bukan apa yang diketahuinya, sebab seringkali apa yang diketahui melenceng dari sebuah kebenaran.
Artinya ketika guru memberi motivasi agar anak didik harus bisa menulis, maka saat yang sama juga guru harus lebih dahulu menulis. Dan ini yang namanya berbicara memberikan motivasi dari apa yang dibuat sebagai pembuktian yang tidak bisa digugat.
Hemat penulis, bila seorang guru berbicara dari apa yang diketahuinya maka bisa dipastikan ada celah yang keliru atau tidak benar. Mengapa? “Menurut metode dekonstruksi, kebenaran hanya semacam jejak. Manusia tak mampu memahami kebenaran mutlak pada dirinya sendiri. Yang bisa ia capai hanya merupakan jejak-jejak kebenaran. Ia hanya bisa mendekati kebenaran, tanpa pernah bisa memilikinya dengan utuh dan penuh.”(bdk Marto Rian Lesit, Hoax dan Kesehatan Berpikir, dalam dawaniusa.com).
Oleh karenannya dapat disimpulkan bahwa guru kalau hanya mengandalkan pengetahuannya bukanlah guru sumber kebanaran. Dalam artian, setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti dan terbuka. Ia selalu dinamis seturut kedinamisan waktu dan peristiwa. Ia selalu bersifat terbuka untuk berbagai macam pertanyaan dan juga sanggahan, sampai pada akhirnnya memuncukan kemungkinan lain yang dianggap lebih baik.
Bagi penulis, merindukan guru menulis merupakan bentuk cinta sekaligus kerisauan batin seputar realitas akan keengganan guru untuk menulis. Oleh karenanya, salah satu solusi yang ditawarkan penulis adalah setiap lembaga Pendidikan harus memiliki majalah sekolah.
Penulis sangat yakin dengan memiliki majalah sekolah, maka semboyan “paksa, bisa, biasa pun harus diterapkan agar para guru dan murid mampu menghidupi semangat literasi dan guru harus memulai menulis terlebih dahulu agar para muridpun bis amenulis.
Dengan demikian penggemaan semangat literasi sekolah dan label guru pembelajar tidak hanya slogan tetapi memiliki dampak humanis dengan mengedepankan praktek. Karena menulis mau mengafirmasikan sekaligus melegitimasi eksistensi guru untuk menjadi teladan dalam seluruh aspek kehidupan.
Oleh karenannya guru yang melek baca tulis harus menjadi kebutuhan hidup, agar dapat menjadi motivator hidup lewat keteladanan kepada anak didik. Di akhir tulisan ini penulis berharap semua Lembaga Pendidikan harus menjadi rahim yang melahirkan generasi-genarasi pejuang dan produktif.
Guru dan muridnya harus menjadi figur yang produktif yang dapat berguna bagi diri dan sesama lewat perjuangan dan belajar yang tanpa henti. Dan akhirnya kita mengamini apa yang dikatakan oleh Thomas Alfa Edison yakni untuk menjadi pribadi yang produktif maka, hidupilah kebiasaan untuk tidak biasa diam dan kebiasaan untuk tidak menerima sesuatu dengan pasrah adalah kebutuhan utama kemajuan.