Vox NTT-Laboratorium Psikologi Politik (LPP) Universitas Indonesia (UI) merilis hasil survei opini pakar bertajuk “Mencari Kandidat Gubernur Terbaik NTT” pada Minggu, 26 November 2017 lalu di Hotel Neo, Kupang, NTT.
Hasil survei ini mengungkapkan aspek moral integrity (integritas moral) Marianus Sae meraih posisi tertinggi dengan nilai 6,57% dibandingkan bacagub lainnya.
Temuan survei ini pun menjadi ramai diperbincangkan setelah VoxNtt.com menyoroti aspek integritas moral Marianus yang disangsikan banyak kalangan. Pasalnya, sejak tahun 2013 lalu, Marianus disebut-sebut telah menghamili mantan pembantunya yang berinisial MNS hingga membuahkan seorang anak lelaki berinisial RF.
Meski secara hukum baru sebatas dugaan, namun beberapa bukti sudah terkuak. Salah satunya bukti yang dikumpulkan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F).
Suster Eustochia Monika Nata SSpS, Ketua Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F), mengungkapkan MNS melahirkan seorang bayi laki-laki pada 7 Mei 2012, hasil hubungannya dengan Bupati Marianus.
“Kami punya data berupa catatan, surat kuasa, rekaman, video wawancara. Semua data itu menyebutkan bahwa ayah biologis anak dari MSN adalah Bupati Ngada”, kata Suster Eustochia dalam konferensi pers di Maumere, pada Kamis 7 November 2013 lalu seperti dilansir dari indonesia.ucanews.com.
Dugaan skandal moral Bupati Marianus pun menuai perbincangan hangat di media sosial. Beragam tanggapan baik yang membela maupun yang menghujat menjadi sajian menu diskusi netizen.
Namun dalam perjalanannya, metode survei LPP UI bukan lagi menjadi topik yang perlu dikritisi. Padahal, kritik metodologis sebenarnya sangat penting didiskusikan mengingat dalam survei, metode apapun yang dipakai terkandung banyak kelemahan di dalamnya. Hal ini pun ditegaskan oleh peneliti senior dari Sophia Institute Kupang, Lasarus Jehamat.
Menurut dia, penilaian aspek integritas moral dalam survei ini dinilai tidak berdasarkan data dan hanya berbasiskan pengetahuan luar dan bersifat umum.
“Karena itu, di aspek tersebut (integritas moral), riset ini amat diragukan” katanya.
BACA: Unggulkan Marianus Sae, Aspek Integritas Moral Survei LPP UI Diragukan
Tanggapan segelintir orang kemudian menyerempet ke masalah penting tidaknya dugaaan kasus moral Marianus diangkat. Bahkan segelintir orang lagi mempertanyakan mengapa kasus ini diangkat di tengah semangat Marianus mencalonkan diri sebagai Gubernur NTT.
Mengikuti logika berpikir seperti ini sebenarnya menarik disimak.
Pertama, bagi sebagian kalangan, masalah moral tidak penting dibahas dalam urusan kekuasaan politik. Pandangan ini menegaskan bahwa menjadi seorang gubernur tidak penting dibahas moralnya baik atau buruk, yang penting punya skill dan kompetensi.
Kedua, ada kecurigaan dari segelintir orang, jangan sampai ada motif politik di balik pemberitaan ulang dugaan skandal Marianus.
Setiap orang dalam alam demokrasi bisa saja beranggapan demikian. Namun apakah pandangan ini produktif dalam membangun diskursus kepemimpinan yang sehat dalam konteks Pilgub NTT? Tentu tidak.
Di sini penting ditegaskan bahwa semua bakal calon yang ketika disurvei dan hasil surveinya bertentangan dengan rekam jejak masa lalu kandidat tersebut, sangat penting diangkat ke publik agar publik tidak memakai kaca mata kuda dalam menilai seorang calon Gubernur NTT. Kali ini, dugaan skandal moral Marianus mendapat gilirian untuk dibahas karena memang sedang ramai diperbincangkan khayalak.
BACA: Netizen Dukung Alasan Marianus Sae Tolak Pakai APBD untuk TdF
Karena itu, beberapa catatan berikut penting disimak.
Pertama, kalau dalam setiap masa kampanye yang baik-baik boleh ditunjukkan, kenapa yang buruk-buruk tidak? Padahal, yang baik dan yang buruk harus sama-sama disiarkan sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi publik pemilih.
Kalau seorang calon pernah membantu orang lain, pernah berbuat baik, lalu tindakan moralnya itu dibangga-banggakan kepada publik, lalu kenapa tindakan lainnya yang amoral ditutup-tutupi? Jangan sampai kita memakai kacamata kuda. Hanya liat satu warna. Yang baik kita terima dan kita bangga-banggakan, lalu yang buruk kita tolak dan kita kecam.
Kedua, kenapa saat Pilkada? Karena ini saatnya masyarakat tahu siapa calon pemimpinnya, apa baik dan apa buruknya. Lalu kenapa tunggu Pilkada baru yang buruk-buruk dibuka? Karena kalau baru dibuka sesudah Pilkada maka sudah terlambat, nasi sudah jadi bubur, surat suara sudah ditusuk, kita sudah pilih pemimpin yang salah.
Ketiga, seharusnya yang ditolak itu adalah berita bohong, bukan menolak membahas moral calon pemimpin. Berita yang bukan berita bohong harus diterima untuk ditimbang-timbang. Jadi kalau berita tentang laku amoral seorang calon itu bukan berita bohong, kenapa mesti ditolak?
BACA: Jujur dengan Kondisi Anggaran, Ini Alasan Bupati Ngada Tolak Alokasi Dana untuk TdF
Keempat, demokrasi akan sehat sejauh rasionalitas masih jalan, bukan emosionalitas. Demokrasi akan sehat sejauh kita memakai akal sehat, bukan memakai kesan sesaat. Biarkan rakyat menimbang-nimbang dan memilih.
Sampai di sini, penting ditegaskan bahwa tugas profetik media massa adalah membentangkan profil calon pemimpin kepada rakyat, apa baik dan apa buruknya.
Jangan sampai karena seorang calon terlanjur disukai, kita pun lantas menolak sisi buruknya untuk ditampilkan. Padahal di situ kita punya peluang untuk menimbang-nimbang, siapa pilihan yang tepat dan layak untuk memimpin NTT ke depan.*** (VoN).