Ruteng, Vox NTT- Pemerintah Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur didesak untuk segera menghentikan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Desakan itu berdasar pada pertimbangan bahwa daya rusak pertambangan yang sudah dan sedang dialami masyarakat lingkar tambang pada dua kabupaten tersebut sulit dipulihkan.
Apalagi saat ini ada 18 IUP di Manggarai dan 7 IUP di Manggarai Timur yang masih aktif, dan baru akan berakhir izinya pada Desember 2017 mendatang.
Demikian salah satu poin yang dihasilkan dalam pertemuan sejumlah stakeholders tolak tambang yang diselenggarakan di Biara OFM Karot-Ruteng, Jumat (8/12/2017).
Dalam pertemuan itu, Direktur JPIC OFM, Pastor Peter Aman mengatakan kegiatan pertambangan di Manggarai dan Manggarai Timur, berikut dampak buruknya bagi lingkungan bersumber dari kebijakan pemerintah daerah yang instan, rakus, serta tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan ruang hidup masyarakat.
“Masyarakat sederhana di daerah-daerah lingkar tambang banyak mengalami penderitaan kronis akibat pengambilalihan lahan secara sepihak, konflik yang berkepanjangan, kekerasan dan disharmoni kehidupan bersama,” katanya.
Lebih lanjut Pastor Peter mengatakan masyarakat lingkar tambang tidak banyak memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk dan mekanisme kerja perusahaan tambang, sehingga mereka banyak dimanipulasi dan dibohongi serta dirugikan secara sosial, ekonomi dan kebijakan.
Selain itu, kata Aman, prosedur hadirnya perusahaan, persetujuan masyarakat dan hak-hak warga lingkar tambang diabaikan oleh pemerintah ketika menetapkan wilayah izin usaha pertambangan.
“Warga masyarakat melalui para tua adat didesak untuk menyatakan persetujuan tanpa memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai tentang dampak-dampak dari operasi pertambangan serta hak dasar yang mesti diperoleh dari usaha pertambangan dan kemampuan untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan,” jelasnya.
Senada dengan Aman, Kordinator Kampanye Jaringan Anti Tambang (JATAM), Melky Nahar mengatakan pola adu domba dan pendekatan intimidatif dari aparat keamanan dan pemerintah dan bujuk rayu perusahan telah menjebak warga masyarakat untuk menyerahkan lahan tanpa kompensasi.
“Dalam berbagai kasus pertambangan, keputusan publik pemda atas masuknya investasi pertambangan di wilayah Manggarai Raya telah menunjukkan kecenderungan keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan dan mengabaikan kepentingan masyarakatnya,” jelasnya.
Dia menambahkan, seluruh cerita kehadiran pertambangan di Manggarai dan Manggarai Timur nyaris luput dari pantauan publik. Masyarakat yang berdampak langsung dan tidak langsung, tak pernah didengar, apalagi untuk dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.
“Penerbitan izin-izin tambang ini berlangsung dalam ruang tertutup. Masyarakat yang sadar ruang hidupnya dirampas, dan memilih untuk mempertahankan hak-hak walaupun diintimidasi menggunakan oknum aparat keamanan,” tukas Nahar.
“Perjuangan masyarakat untuk mempertahankan ruang hidupnya ditanggapi oleh pemerintah yang cenderung memposisikan warganya sebagai pembangkang, oposan dan penghambat kebijakan pembangunan di wilayah tersebut,” tambahnya.
Kontributor: Ano Parman
Editor: Adrianus Aba