Ruteng, Vox NTT- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus angkat bicara terkait aksi penganiayaan yang dilakukan oknum di Polres Manggarai terhadap aktivis PMKRI Cabang Ruteng, Sabtu 9 Desember 2017 lalu.
Pasalnya, fenomena kekerasan fisik yang dilakukan secara terbuka dan brutal terhadap aktivis membuka kedok bahwa polisi anti kritik. Setiap terjadi aksi unjuk rasa bertema kritik terhadap perilaku polisi dalam pemberantasan korupsi, selalu dilayani dengan kekerasan.
Padahal, kata Salestinus, unjuk rasa adalah ungkapan kekecewaan dan kritik yang disampaikan oleh masyarakat kepada penguasa dengan tujuan agar tuntutan itu didengarkan guna memperbaiki kebijakan yang salah dan tidak berpihak kepentingan rakyat.
Baca: Demo di Ruteng, Polisi Pukul Aktivis PMKRI dan Ancam Patah Batang Leher
“Karena itu UUD 1945 dalam pasal 28 memberikan jaminan secara eksklusif berupa hak untuk menyatakan pendapat sebagai sebuah kebebasan asasi yang penggunaannya tidak boleh dihalang-halangi oleh siapapun juga,” katanya melalui pesan WhatsApp, Senin (11/12/2017).
“Oleh karena itu, setiap aksi unjuk rasa yang hendak dilakukan oleh setiap warga negara wajib memberitahukan kepada Kepolisian agar Polisi dapat memberikan fasilitas, mengawal dan memperlancar jalannya unjuk rasa hingga waktunya berakhir, bukan sebaliknya,” tambahnya.
Namun, lanjut Salestinus, yang terjadi di Manggarai pada 9 Desember 2017, justru sebaliknya. Polisi yang seharusnya mengawal, memfasilitasi aktivis PMKRI justru mengabaikan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dann Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Dalam pasal 9 dan pasal 18 Perkap tersebut, jelas Salestinus, polisi berwajib memberikan perlindungan dan pelayanan secara profesional, menjaga kebebasan penyampaian pendapat dari intervensi pihak lain hingga aksi unjuk rasa selesai.
“Yang terjadi justru sebaliknya. Polisi menjadi penghambat dan perintang aksi unjuk rasa hingga melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap beberapa Mahasiswa yang unjuk rasa, mengancam akan mematahkan leher mahasiswa PMKRI yang sedang melakukan orasi mengkritik kinerja Polres Manggarai yang tidak berprestasi dalam mengungkap kasus-kasus korupsi,” tegasnya.
“Patut diduga para koruptor berada di balik sikap repersif polisi terhadap mahasiswa PMKRI. Bukan hanya di Manggarai tanggal 9 Desember 2017 kemarin, tetapi juga di kabupaten lain, seperti di Ende, Maumere, Kupang, Sumba dan daerah lainnya di NTT,” ujarnya.
Lebih lanjut, advokat PERADI itu, mengatakan kekerasan yang sering dipraktekan oleh anggota kepolisian di NTT saat menghadapi unjuk rasa hampir selalu terkait dengan sikap kritis mahasiswa terhadap kinerja buruk aparat kepolisian dalam banyak kasus korupsi. Bahkan, sejumlah kasus diduga penyelesaiannya melalui perbuatan korupsi baru.
“Oleh karena itu, sikap oknum anggota kepolisian Manggarai ini memang jelas sebagai upaya untuk mencoba membodohi mahasiwa, membodohi akal sehat publik dan terlebih-lebih memberangus HAM menyatakan pendapat di muka umum dengan misi menuntut Polri melakukan penegakan hukum terhadap koruptor di NTT,” imbuhnya.
Kapolres Manggarai, AKBP Marselis Sarimin Karong meminta maaf atas tindakan represif bawahannya saat aksi unjuk rasa PMKRI Cabang Ruteng.
“Mohon bantuan rekan-rekan untuk memuat berita permohonan maaf dari Kapolres Manggarai atas perlakuan dari oknum Polres Manggarai, yang melakukan penganiayaan terhadap para mahasiswa yang melakukan demo tadi di Mapolres Manggarai,” kata Kasubag Humas Polres Manggarai, Ipda Daniel Djihu menghubungi VoxNtt.com, Sabtu malam.
Kontributor: Ano Parman
Editor: Adrianus Aba