KEPADA AYAH
Mengingatmu, seperti aku hendak bersandar di lenganmu yang perkasa
Lenganmu begitu kuat menopang hidup kami
Kerut di dahi, itu tanda engaku memikirkan hari esok kami
Terkadang karena ulah kami amarahmu membuncah,
kami lari,
sembari di hati kecil
Kami tak suka itu,
Tapi kini, kami mengerti
Itu cinta; itu karena engkau mengasihi kami.
Ayah….
Hingga waktu patah bergantipun
Subuh masih berembun, engkau dengan doamu memanggil kami bangun
Engkau begitu khawatir dengan esok kami, yang mungkin menjadi gelap karena ulah kami sendiri
Engkau khawatir arus zaman terlalu dasyat membawa pergi impian
Ayah….
Kalau boleh aku bertanya
Cinta semacam apakah ini?
Cintamu, cinta apa?
Subuh Desember, 2017
(Takkala, selesai ayah menelpon)
PERIHAL PULANG
Ini pulang,
Dan di sini musim basah sekali
Jua pada pelupuk
Sebab, tangis berganti ratap
Di sini jalan ber(lubang)
Sedang kami adalah
Pelupuk yang buta,
Kuping yang tuli
Dan bibir-bibir yang palsu
Di sini, musim patah berganti
Sekali-sekali kesini: misalkan
DI JANTUNG
Menulis senyum
Di jantungmu,
Itu hidup,
Jika demikian
Kan terus ku tulis
Agar tak mati, apalagi mati muda
Di jantungmu, itu abadi.
Lembah Wongge, November 2017
Membaca Kehendak Berpuisi dari Milla Lolong
Oleh Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Membaca tiga puisi dari Milla Lolong edisi pekan ini membawa kita pada keharuan mengenang sosok ayah. Tanya pada realitas dari satu kisah perjalanan dan juga rasa sayang pada sosok yang melahirkan rindu. Bisa jadi sosok bernama kekasih untuk puisi dengan judul Di Jantung.
Pada puisi Ayah, Milla serentak mengajak pembaca untuk merenungi sosok ayah yang setia dengan doa dan yang selalu tak tertidur dan penuh tanya pada nasib buah hatinya.
Pada puisi Perihal Pulang, puisi ini jadi serupa kritik yang sangat halus namun menukik dalam. Puisi ini menjadi satu ajakan pada yang empunya pengemban kepentingan untuk terlibat merasakan situasi miris. Bisa jadi kondisi seperti jalan berlubang, ketimpangan sosial lainnya jadi pelecut untuk berbalik dan melihat semua kondisi yang serba tak meyenangkan itu. Pada puisi ini Milla seperti memberi tanda khusus bahwa yang tidak beres itu harus diperbaiki. Diperhatikan sungguh.
Pada puisi Di Jantung, Milla bisa jadi menulis untuk pujaan hatinya tentang satu rasa yang senantiasa berdegup. Tampak sangat biasa saja. Tapi begitulah kehendak berpuisi yang bisa Milla sajikan untuk kita dalami.
Tiga puisi kali ini masih terlalu datar dengan eksplorasi yang masih sama dengan puisi-puisi sebelumnya toh ia tetap menunjukan cara menuju kedalaman berpuisi. Salut untuk Milla.