Oleh : Ellen Jaimun
Hanya sebuah prolog dari lembah terdalam, hati yang mungkin tak seindah karyanya, karena aku hanyalah penikmat katamu. Tulisan ini untuk kamu sebagai bukti kusamnya tinta diatas putih pada kisah yang kau selipkan setiap kali bangun tidur.
Begitu cepat kisah itu berlalu? Ataukah pikiranku yang lamban? Benar juga ramalan Alfin Tofler pada 1965 silam, aku mengalami future shock. Tekanan dan disorentasi hebat tergambar jelas dalam detak nadi ini. Benar-benar bodoh, mengapa aku baru sadar? Tak terjaga aku dari lamunan, aku sekarang harus mengejar waktu minus dari kisah ini, sebelum semuanya menjadi kisah tak bertuan. Tak boleh berhenti.
Menyusuri lorng-lorong dunia yang sudah kalah seleksi alam, aku berusaha mencari cetak biru pada tetesan kasih yang terus saja melintas di benak ini. Aku ingat, kau pernah hadir saat raga ini tak mampu menjawab keinginanku. Kau hadir bagai sinterklas, memberiku hangat sehingga aku bangkit dan imajinasiku melangit. Tak terasa samapilah aku pada titik ini.
Tempatmu luar biasa, aku nyaman bersamanya.
Yah, itulah sepenggal kalimat yang sempat aku renungkan, ketika pertama kalinya aku merayakan ulang tahun di tempat seperti ini. Sebuah sejarah baru pada usia ke dua puluh. Tempat ini sangat jauh. Di tempat inilah pembatas antara gunung dan kaki gunung. Di kaki gunung sekitar tempat itu, terdapat balik semak-semak pohon kopi yang tidak mau tumbuh. Atau kah kopinya malu melihat wajah lama ini? Sejatinya, pohon kopi itu adalah sebuah pagar tanaman yang menjadi batas dengan gunung. Orang sering berkata, bahwa pagar itu menyulitkan kawanan babi hutan untuk merusak tanaman anak kopi.
Bagi semua orang, kecuali saya, pagar tanaman itu sama sekali tak berguna. Namun, itu hanya karena mereka tak pernah mencoba menembus pagar itu. Aku telah menemukan jalan tikus di pagar itu, yakni sebuah lubang kecil. Ketika memasuki lubang kecil itu, aku samapai merayap diantara semak-semak. Lubang itu, seperti sebuah gua kecil hingga tak ada satu orang pun tahu aku berada disana. Dengan membawa ponsel, belpoin dan secarik kertas surat berwarna, aku berlari melintasi kebun merangkak dengan kedua kaki dan tangan, serta membuka jalan menembus lubang itu. Samapailah aku di gunung. Tiap hari aku duduk diatas serumpun akar yang bertonjolan membentuk sebuah kursi duduk. Dari sana aku dapat melihat keluar melalui lubang pengintip kecil di sela-sela ranting dan dedaunan. Meski tak ada satupun lubang besar disana untuk aku mengintip, namun dengan jangkauan mataku yang sedikit terang, aku pun bisa menjajal di sekitar tempatku itu. Dan yang lebih penting lagi, disitu, aku merasa tenang karena jauh dari kebisingan orang-orang di sekitarku. Bagiku, ini adalah taman surga yang nyata yang pernah aku lihat. Ya, dia adalah lembah terdalam, poco kuwus.
Jarak bukanlah suatu pengahalang, tetapi jarak bagiku adalah waktu yang akan mempertemukan kami kembali.
Kembali buku ingatan mengingat sinterklas. Yeps, itu kata kunciku, ketika kali ini, aku merayakan ulang tahunku, sendiri tanpa ada yang tahu. Teman, keluarga saja tidak ada yang tahu. Lupa kali yach, atau mungkin pura-pura lupa. Ah, masa bodoh, yang penting saat ini aku bisa merefleksi diri dari pengalaman ku selama dua puluh tahun yang telah lewat. Anggap saja, ini hadiah terindah yang aku terima dari satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Karena, aku diberi-Nya kesempatan untuk melihat diri secara lebih intens. Terima kasih.
Detik, menit pun berganti menjadi pukul 18.12 WITA. Dering telepon ku berbunyi.
Trettttt…!!!
Aku memberanikan diri untuk mengangkat teleponku.
“Yes, yes,yes dia menelponku,” kata ku girang.
“Tak menyangka saja, orang yang menjadi pemenuh pikiranku akhirnya meneleponku. Ah, serasa dunia ini milikku,” gumamku.
Aku pun menjawab teleponnya.
“Hi Olllie,”sapanya.
“ Hi…,” jawabku sekadarnya.
Hening beberapa menit. Mmmph,,, selamat ulang tahun yach, semoga kau selalu merasa baik. Singkat, jelas padat. Itulah kalimat yang sempat ia utarakan padaku.
Dan, ketika ku ingin menjawabnya, tiba-tiba saja, panggilan diakhiri.
Ah,ah, ah,,,serasa mencekam. Kau mengukungku dengan rasa yang aku miliki saat ini. Rasa ini. Yah, rasa rindu yang selalu aku ingin sampaikan padamu.
Tapi sit, lidah ini terlalu kaku untuk mengungkapkannya. Hingga aku pun terjerat dalam duka rasa itu.
Bungkam, aku diam untuk beberapa saat. Sebersit pertanyaan pun hadir dalam benakku. Apakah dia rindu aku juga? Ataukah dia hanya kasihan padaku? Sungguh, ini membuat aku bingung pada sikapnya yang takbiasanya.
Waktu berlalu begitu cepat, dan ketika ku sadari, ternyata waktu sudah menunjukan pukul 00.12 WITA. Sangat cepat, dan bagiku jarak bukanlah suatu waktu lagi yang akan mempertemukan kami, tetapi jarak bagiku sekarang adalah waktu yang akan aku tempuh untuk bisa bertemu dengannya. Waktu ini akan terus saja berlalu, kalau saja aku tidak berbuat sesuatu.
Semenjak itu, aku pun memberanikan diri untuk mulai mencoret kata demi kata pada kertas gegamanku. Karena dengan begitu, aku mampu untuk mengungkapkan rasa yang selalu berkelebat dalam pikiranku. Apalagi, yang kutahu dia juga adalah seorang pemulung kata yang sedang dalam proses. Lengkap sudah sasaranku, jika aku menekuni hobi menulis, berarti aku bisa beradu dengannya yang masih menjadi pengganggu konsentrasiku.
Sosokmu yang mencuri hatiku, aksramu yang memberiku rasa deg-degan, sapamu yang menyambut pagi, dan senyummu yang menggoda bibir ini, sungguh, hanya ini yang bisa aku berikan untukmu, sebuah prolog dari lembah terdalam hati , yang mungkin tak seindah karyanya, karena aku hanyalah penikmat katamu, menulis ini untuk kamu.
Entah ini apa, rasanya semakin berbeda saja jika aku menulis rasa rinduku padanya. Kedekatan yang sempurna yang menjadi hayalanku, akan terasa nyata kalau aku sudah menuangkankan rasa hatiku melalui tulisan, meski kadang hanya bisu dalam percakapan, setidaknya, itu sudah cukup bagiku.
Ini hanya rangkaian kata, yang terbalut dalam luka, yang kuanggap harapan untuk rasa rinduku.
Dear RiNa,,,,
Inikah rasanya rindu?
Aku merindumu, entah dari mana aku mendapatkan rasa itu,,
Aku berjalan dari waktu ke waktu,
Berlari dari rasa ke rasa,,
Dan, kulakukan semuanya demi dirimu..
Banyak hal yang telah aku pelajari, salah satunya adalah rasa sakit ketika rinduku tak terbalas.
Kutahu, duniamu bukan hanya tentang rasaku,,,,
Tetapi adakah sedikit pekamu?
Aku merindumu,,
Aku merindumu,,,
Dan untuk segalanya, aku tak ingin kau merasa terbebani dengan rinduku…
Aku hanya ingin rindu, semoga kelak kan terbalas.
# END #
Narasi Yang Pangling dari Catatan Hati
Oleh: Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Membaca cerpen Catatan Hati karya Ellean Jaimun kita dihadapkan pada bejibunnya persoalan yang hendak dibahasakan. Tokoh bernama Olie adalah sosok yang tampil dengan segala beban derita yang dihidupinya sendiri.
Secara menyeluruh Ellen tampak taktis membahasakan semuanya, sayangnya narasi panjang yang berputar dari kisah Olie terlalu berputar dan akhirnya menimbulkan semacam rasa bosan memahami maksud lebih jauh dari cerpen ini. Refleksi tentang ulang tahun, pohon kopi, gua di lembah Poco Kuwus jika disatukan dalam ketaktisan saling terkait mungkin bisa jadi lebih unik. Kisah semuanya seolah berdiri sendiri-sendiri.
Hal lainnya adalah bahwa beberapa hal teknis macam tanda baca, huruf yang terketik tidak tepat. Juga penempatan huruf besar dan kecil. Secara pribadi saya sengaja tidam memperbaiki hal teknis ini dan memasukannya sebagai bagian dari catatan redaksi agar semua yang sedang menulis dan mendalami karya bernama sastra (cerpen) untuk terus disiplin dalam menulis.
Akhirnya Catatan Hati dari Ellen adalah juga serupa pantulan dari kisah-kisah kita yang terus mengajak kita untuk membuat semacam refleksi diri atas pengalaman di hari jadi atau hari lahir kita. Salut untuk Ellen.