Ruteng, Vox NTT- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus menilai rekrutmen pimpinan Polri untuk beberapa Polda tertentu, termasuk NTT, lebih mengutamakan faktor kedekatan personal perwira tinggi yang bersangkutan dengan atasannya, ketimbang rekam jejak.
“Selama ini penempatan beberapa perwira Tinggi Polri sebagai Kapolda di NTT lebih didasarkan kepada sistem penjatahan karena kolega satu angkatan atau karena akan memasuki usia pensiun, sehingga penugasan sebagai Kapolda di NTT lebih kepada pemberian hadiah atau balas budi atau karena belas kasihan,” katanya melalui pesan WhatsApp, Minggu (07/01/2018).
“Atau sebagai sanksi atas perbuatan tercela, sehingga penugasannya kepada provinsi tertentu dianggap sebagai pembuangan dalam rangka menjalankan sanksi,” tambahnya.
Dalam catatan TPDI, kata Salestinus, NTT mengalami diskriminasi dalam penjatahan perwira terbaik untuk jabatan Kapolda dan struktur di bawahnya.
“Jika kita bandingkan kinerja Polisi NTT dengan kota-kota besar lainnya, nampak jelas bedanya. Polisi begitu cepat mengungkap kejahatan besar dan menangkap pejahatnya, namun prestasi gemilang seperti itu jarang terjadi di NTT, bahkan untuk kasus-kasus pembunuhan secara tradisional sekalipun tidak serta merta polisi segera menangkap dan menahan pelakunya,” katanya.
Sebab itu, dia merasa NTT menjadi korban dari kebijakan terselubung sebagai daerah pembuangan pejabat. Sehingga, lanjut Salestinus, tak heran kalau tingkat kejahatannya di provinsi tersebut sangat tinggi, seperti korupsi, narkotika, human trafficking, pertambangan dan lain sebagainya.
“Apakah kondisi penegakan hukum di NTT yang demikian bisa diselesaikan oleh seorang Raja Erizman yang sempat terkena masalah dalam kasus Gayus Tambunan? Ataukah pengangkatan Raja Erizman menjadi Kapolda NTT adalah batu loncatan bagi Raja Erizman untuk jabatan lain yang lebih bergengsi?” tanya Salestinus.
Kontributor: Ano Parman
Editor: Adrianus Aba