Redaksi, Vox NTT- Kamis, 4 Januari 2018 lalu, Warga Desa Oeltua, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang dihebohkan dengan peristiwa penangkapan tuyul yang hingga kini masih menyimpan misteri.
BACA: Makhluk Diduga Tuyul Ditangkap Warga Desa Oeltua
Sayangnya, sebelum diteliti lebih lanjut, pemilik rumah dimana tuyul itu ditemukan mengaku sudah memusnahkan penemuan aneh yang belakangan menimbulkan kontroversi tersebut.
Peristiwa yang tergolong langkah dan mistik ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan netizen di NTT. Ada yang sangat percaya namun ada juga yang menduga kalau itu cuma boneka silikon, mainan anak-anak.
BACA: Tuyul Hadir di Desa Oeltua? Ini Pengakuan Pemilik Rumah
Mengapa kabar tuyul begitu memantik reaksi publik?
Dari berbagai komentar yang terpantau di media sosial (facebook), setidaknya ada beberapa alasan yang terungkap.
Pertama, fenomena ini berlawanan dengan akal sehat dan keyakinan publik. Walaupun didahului ketidakpercayaan, namun sesuatu yang janggal dan bertentangan dengan keyakinan pasti memantik rasa penasaran khalayak untuk membaca.
Kedua, berita ini memantik keresahan bahkan ketakutan. Sebagaimana yang terlanjur dipercaya dalam masyarakat awam, tuyul adalah sejenis makhluk halus yang diperintah oleh tuannya untuk mencuri uang. Pasti menakutkan.
Ketiga, wacana kehadiran tuyul dinilai berbahaya dan mengancam kenyamanan. Sebagian masyarakat yang meyakini tuyul itu ada merasa terancam dengan berita ini.
Bayangkan jika satu tuyul berhasil ditangkap, artinya masih ada teman atau sanak saudaranya yang bakal bergentayangan lagi. Maka uang atau harta berharga lainnya pun terancam lenyap.
Terlepas dari kontroversi ada atau tidaknya tuyul tersebut, wacana ini menjadi menarik karena persis muncul di tengah hangatnya hawa panas Pilkada serentak tahun 2018 di NTT.
Dari jumlah pembaca yang kini mencapai 25,901 orang, kabar penangkapan diduga tuyul ini ternyata cukup memantik rasa penasaran publik.
Jumlah pembaca yang cukup signifikan ini bahkan kalah jauh dari semua berita-berita politik yang populer belakangan ini.
Tuyul ternyata lebih seksi dari politik. Setidaknya begitulah kesimpulan sementara yang berhasil terbaca.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa publik lebih memberi reaksi lebih pada tuyul yang bertentangan dengan akal sehat dibandingkan anomali politik yang terjadi sekarang ini?
Mengapa publik lebih resah dan takut terhadap wacana kemunculan tuyul yang diragukan kebenarannya dibandingkan dengan wacana politik yang terjadi sekarang ini?
Bisa jadi memang imajinasi tentang kehadiran tuyul nyatanya lebih menakutkan dibandingkan dengan dinamika politik pilkada maupun pilgub yang sekarang bergulir.
Tuyul bisa lebih memantik rasa penasaran dibandingkan keingintahuan kita melacak rekam jejak setiap calon kepala daerah yang bakal bertarung di Pilkada serentak NTT.
Tuyul Politik
‘Pesta demokrasi adalah pesta rakyat’, begitulah slogan yang sering terdengar pada setiap musim pilkada.
Sebagaimana sebuah pesta, maka momentum ini dapat dimaknai sebagai ‘kegembiraan politik’.
Namun sayangnya slogan-slogan elektoral ini hanya menjadi tetesan kosong bahkan mengalami pengaburan makna (disorientasi) karena elit politik absen memberikan pendidikan politik.
Inti dasar dari pesta rakyat dan kegembiraan politik itu belum mendarat dan mengakar sebagai prinsip dasar pemilih memilih. Lebih berbahaya lagi ketika praktek politik transaksional sudah menjadi budaya demokrasi lima tahunan.
Alhasilnya, rakyat hanya menilai momentum ini sebagai pesta hura-hura untuk menonton artis seksi bergoyang ria di atas panggung kampanye. Atau sekadar musim bagi-bagi duit yang ditukar dengan surat di bilik kotak suara.
Politik, akhirnya mengutip Oscar Ameringer, tak lebih dari seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya. Persepsi tentang demokrasi yang dangkal ini menjadi salah satu alasan mengapa tuyul lebih menakutkan dari pada tuyul-tuyul politik.
Bagaimana dengan tuyul-tuyul politik?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan tuyul sebagai makhluk halus yang konon berupa bocah berkepala gundul, dapat diperintah oleh orang yang memeliharanya untuk mencuri uang dan sebagainya.
Dalam konteks pemilu/pilkada tuyul politik dapat diartikan sebagai calon-calon kepala daerah atau yang terlibat sebagai penyelenggara pemilu dimana mereka tampil dan bekerja karena diperintah oleh ‘tuannya’ untuk mencuri hati dan sumber daya rakyat.
Tuyul-tuyul politik dalam bahasanya David Wise dan Thomas B. Ross (1964) disebut sebagai pemerintah bayangan (shadow government).
Dengan sifat tersembunyi , Shadow Government dapat diposisikan oleh para tuan untuk tampil di depan. Namun segala kebijakan, keputusan dan tindakan dalam bidang apapun dikendalikan oleh Si Tuan (konspirator). Kemampuan fleksibel tersebut menjadikan Si Tuan lebih powerful dari pemerintah yang sesungguhnya.
Dalam konteks ini, Si Tuan yang dimaksud adalah pemilik modal (modal ekonomi, politik dan sosial) yang punya kepentingan menjarah sumber daya publik untuk menambah pundi-pundi kekayaan dan kekuasaan.
Inilah yang menjadi masalah dari pilkada ke pilkada, mengapa mesin demokrasi gagal mencitakan kebaikan umum (bonnum comune). Ini pula yang menjadi alasan mengapa NTT terus miskin bahkan tetap miskin.
Perselingkuhan dalam ruang gelap demokrasi ini yang menjadi penyebab mengapa infrastruktur sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air, listrik, jalan, dan irigasi gagal dinikmati rakyat kecil.
Kalau kembali ke fenomena penangkapan tuyul di Desa Oeltua, berita ini memantik reaksi karena melahirkan irrasional, keresahan dan merasa terancam.
Lalu, bagaimana dengan fenomena tuyul-tuyul politik ini, apakah kita tidak merasa irrasional, resah dan terancam?
Hemat saya tuyul politik lebih menakutkan dari pada tuyul di Oeltua. Dampak dari pemakaian tuyul-tuyul politik lebih nyata terasa mencengkram kehidupan kita dibandingakan tuyul di Oeltua yang keberadaanya saja masih diragukan.
Tuyul sebagaimana yang dipercayai umumnya, tidak pernah munafik dan lihai memoles citra, tapi tuyul-tuyul politik mampu menjelma dirinya menjadi dewa penolong di siang bolong. Karena itu, WASPADALAH!
Penulis: Irvan Kurniawan