Ruteng, Vox NTT- Tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyebut Pilgub NTT 2018 cendrung ditunggangi oleh para pebisnis kelas kakap.
Ketiga LSM yang menyatakan itu, masing-masing, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT.
Dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (16/02/2018), mereka mengatakan, Pilgub NTT dan Pilkada Serentak 2018 tidak akan menyelesaikan permasalahan dan krisis rakyat. Pilgub NTT ini, tampak hanya dimanfaatkan untuk merebut kuasa dan jabatan bagi segelintir elit dan politisi.
“Bahkan ada kecenderungan ditunggangi para pemodal yang bermain di balik setiap kandidat yang berkontestasi demi melanggengkan bisnisnya di NTT,” demikian dalam rilis yang mengatasnamakan Pengkampanye Jatam Melky Nahar, Perwakilan JPIC OFM Indonesia Pastor Alsis Goa, OFM, dan Perwakilan WALHI NTT Petrus N. Nganggu itu.
Dijelaskan, pernyataan tersebut cukup beralasan, mengingat Provinsi NTT hingga saat ini terus dikepung oleh berbagai investasi berbasis lahan skala besar. Hal itu seperti pertambangan dan perkebunan.
Dalam konteks pertambangan, misalnya, masih terdapat 309 izin tambang yang menyebar di 17 kabupaten di NTT.
Kehadiran pertambangan ini merampas lahan dan merusak hutan, mencemari air dan pesisir pantai, bahkan tak sedikit warga dikriminalisasi hingga berujung di penjara hanya karena membela tanah dan airnya.
Jatam, JPIC OFM Indonesia, dan WALHI NTT menambahkan, selain pertambangan, Provinsi NTT juga dikepung investasi perkebunan skala besar, seperti yang terjadi di Sumba Timur dan Ngada.
Di Sumba Timur, terdapat 3 perusahaan, yakni PT Muria Sumba Manis (MSM), PT Lingkar Agro Sejahtera, dan PT Palma Asri.
Tiga perusahaan ini masing-masing bergerak di bidang perkebunan tebu, perkebunan pohon sejenis jarak, dan tanaman sisal family kaktus.
Perusahaan-perusahaan ini berada di bawah payung PT Djarum Group dan mengkapling lebih dari 50.000 hektare lahan.
Selain di Sumba Timur, kata mereka, investasi perkebunan lainnya hadir di Kabupaten Ngada, melalui PT Bumi Mampo Investama Sejahtera, anak perusahaan PT Bahtera Hijau Lestari Indonesia (BHLI).
Perusahaan ini bergerak di bidang perkebunan Kemiri Reutealis Trisperma dengan luas konsesi mencapai 30.000 hektare.
Dikatakan, kehadiran perusahaan perkebunan di Sumba Timur dan Ngada ini telah merampas lahan, hutan, dan ritus-ritus budaya masyarakat adat.
Masyarakat pun kerap diintimidasi dan kriminalisasi, seperti yang terjadi dengan Dedi Febrianto Holo, warga Sumba Timur yang menolak keberadaan PT MSM.
“Kami melihat, di balik kontestasi Pilgub NTT, para pebisnis ini diduga kuat ikut bermain melalui praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi mereka di daerah,” sebut Jatam, JPIC OFM Indonesia, dan WALHI NTT.
Lebih lanjut masih dalam rilis itu, mereka mengatakan salah satu pendekatan yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah dengan menunggangi dan mengendalikan para kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai bagian dari praktik ijon politik.
Maka investasi berbasis lahan skala besar seperti pertambangan, perkebunan, dan sejenisnya adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi, mengingat tidak sedikit modal finansial yang dibutuhkan untuk berkontestasi dalam Pilgub.
Sebagaimana Laporan Direktorat Litbang KPK pada 2015, bahwa setidaknya dibutuhkan biaya Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar untuk menjadi Bupati/Walikota, dan untuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.
Kebutuhan biaya yang tidak sebanding dengan jumlah kekayaan para kandidat yang ikut berkontestasi.
Kondisi itu diperkuat, mengingat para kandidat yang bertarung dalam Pilgub NTT adalah para politisi lama, yang beberapa diantaranya punya rekam jejak buruk terkait pertambangan dan perkebunan.
Christian Rotok, misalnya, pernah mengobral 22 Izin Tambang selama dua periode menjadi Bupati Manggarai.
Demikian juga dengan Marianus Sae, pernah menerbitkan 5 Izin Tambang pada 2010, tahun dimana ia terpilih dan dilantik menjadi Bupati Ngada dan 1 Izin Perkebunan tahun 2011.
Para kandidat lain, seperti Esthon Foenay, Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi, Benny Harman dan Benny Litelnoni, serta Emi Nomleni yang berpasangan dengan Marianus Sae juga tidak punya rekam jejak baik yang menandakan kehadiran dan keterlibatan mereka dalam setiap persoalan masyarakat di atas.
Mereka tampak jauh dari persoalan rakyat, meski sudah dan tengah menjabat jabatan publik seperti Wakil Gubernur, Anggota DPR (D) dan Bupati.
Parahnya lagi, hingga penetapan calon gubernur usai dilakukan, sebagian besar pesan kampanye mereka hanya jargon-jargon yang mengacu pada identifikasi masalah yang generik, tidak mencerminkan realitas krisis yang terjadi, seperti yang sedang dialami masyarakat NTT.
Jika sudah begini, harapan rakyat akan adanya perbaikan kualitas hidup yang dihasilkan oleh proses politik elektoral, tampaknya harus kandas. Tidak ada lagi yang bisa diharapakan dari proses politik elektoral kali ini.
Sumber: Press Release
Editor: Adrianus Aba