(Refleksi sosio-politik masa pra-paskah)
Oleh: Inosentius Mansur *
Umat Katolik kini memasuki masa pra-paskah. Salah satu aspek yang ditekankan pada masa ini adalah berpuasa.
Saat berpuasa, manusia diberi kesempatan untuk mengendalikan nafsu jasmani dan diarahkan untuk mencapai tujuan mulia (Rais, 1996) serta membangun relasi yang lebih akrab dengan Tuhan (Franklin, 2009).
Inilah yang ditandaskan Allah melalui nabi Yoel: “koyakanlah hatimu dan bukan pakaianmu” (Yl. 2:13). Orientasinya adalah pembaharuan hati. Maka tidak heran, Yesus mengecam cara berpuasa yang mementingkan aspek eksternal dan mengabaikan hati (Mat.6:16).
Hal tersebut bukan berarti mengabaikan aspek eksternal, tetapi mau menandaskan bahwa pertobatan integral dan pembaharuan radikal merupakan conditio sine qua non bagi terselenggaranya kehidupan (sosial) yang berbobot. Sebab, pertobatan mesti berdampak pada perubahan sikap (praksis).
Praksis disini selalu dipahami secara korelatif-dialektik dengan kehidupan sosial (Bdk. Boff, 1978). Itu berarti efeknya mesti tampak dalam ranah sosial-publik.
Lebih dari itu, masa pra-paskah merupakan momentum dimana Allah berinisiatif melakukan tindakan quaerere et salvum facere (berarti: mencari dan menyelamatkan) terhadap manusia.
Melalui tindakan quaerere et salvum facere, Allah memperlihatkan keberpihakan kepada manusia. Hal ini terbukti dari model pewartaan Kristus yang memperhatikan orang-orang yang kerapkali dipinggirkan. Ia selalu mencari dan menyelamatkan mereka dan berpuncak pada wafat-Nya di kayu salib.
Berbasiskan ulasan elaboratif ini, pembaca diajak untuk melihat kaitan antara puasa dan praksis politik. Ketika puasa menekankan pertobatan (restorasi hati), maka berpolitik merupakan cara memperjuangkan kepentingan kolektif.
Hal seperti ini akan terealisasi secara efektif-sempurna, jika politikus yang akan mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan itu terlebih dahulu “bertobat” dengan membaharui dirinya dan berkomitmen memperlihatkan dimensi baru dalam praksis publiknya.
Politik memang berkaitan dengan pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice&Mitchel, 1969). Namun demikian, perlu disadari bahwa sebagai orang beriman, otoritas politiknya mesti digunakan sebagai instrumen sakral untuk melaksanakan apa yang dikehendaki Allah (Watson in Mackey (ed.),1969).
Kendak Allah itu adalah membaharui diri (bertobat) serta mencari dan menyelamatkan manusia (rakyat). Itulah yang mesti menjadi landasan berpolitiknya.
Quaerere et Salvum Facere
Kita berharap agar para politikus sanggup menterjemahkan tindakan “mencari dan menyelamatkan” rakyat dalam kiprah publik mereka. Itu berarti mereka berusaha mencari orang-orang yang didiskredikan secara sosial dan tidak mendapat perhatian dalam kebijakan publik.
Sebab selama ini, rakyat seringkali menjadi komoditas politik dan dicari hanya untuk kepentingan elektoral. Saat musim Pilkada misalnya, para politikus selalu “mencari” mereka dengan melakukan blusukan masif lagi ekspansif dari pelosok ke pelosok.
Rakyat juga diperlakukan layaknya anak yang (di)hilang(kan) dan calon pemimpin mampu menciptakan kesan seakan-akan mereka (calon pemimpin) akan tampil sebagai figur solutif yang memastikan bahwa rakyat tidak akan diabaikan dalam proses pembangunan.
Menariknya, tatkala kekuasaan itu diperoleh, mereka malah “menghilangkan” rakyat dari orientasi kebijakan kolektif.
Karena itulah, kita berharap agar para politikus yang berusaha untuk mendapatkan kekuasaan tidak boleh hanya “mencari” rakyat untuk mendapatkan dukungan elektoral semata.
Mereka mesti secara sungguh-sungguh “mencari”, rakyat yang memang acapkali tereliminasi dari proses pembangunan. Saat “mencari”, mereka harus mendengar keluhan, melihat konteks dan mengiventarisasi problem hidup yang mengakibatkan rakyat tersingkir secara ekonomi-politik.
Mengikuti Bung Karno, “mereka mesti bisa merasakan penderitaan rakyat, seperti merasakan detak nadi mereka sendiri”. Itu berarti, mereka menjadi “agen” restorasi yang bergerak dan bertindak meta-persona (melampaui diri) demi menjangkaui orang lain (rakyat) yang dibuktikan lewat aktus berpolitik altruik.
Setelah “mencari”, para politikus juga harus “menyelamatkan” rakyat dari derita sosial. Tindakan penyelamatan selalu mengandaikan adanya kemauan untuk berkorban. Itu berarti mereka mesti bersedia menjadi pahlawan.
Tandas Max Scheler (dalam Wahana, 2004) pahlawan mencirikan manusia sebagai tipe person yang memberikan perhatian terutama pada perwujudan keluhuran atau nilai vital murni dan keutamaan dasarnya adalah keluhuran pikiran serta keagungan jiwa.
Rakyat membutuhkan “pahlawan” untuk mewujudkan apa yang paling bernilai yaitu mengeluarkan mereka dari derita sosial sebagai akibat kebijakan publik salah kaprah.
Kita berharap, para politikus yang berusaha untuk mendapatkan kedudukan harus menyadari bahwa kekuasaan mesti mengakomodir keinginan rakyat untuk dimanifetasikan dalam kebijakan sosial.
Mengutip Thomas Aquinas (dalam Magnis-Suseno, 1988), para politikus mesti memastikan bahwa pemerintahan yang ingin mereka kejar dan akan dapatkan melalui pentas politik elektoral bukanlah pemerintahan despotik yang berdasarkan kekuasaan saja, tetapi pemerintahan politik sah yang sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk bebas.
Itu berarti kekuasaan yang mereka kejar bukanlah kuasa hegemonik eksklusif-elitis. Jika rakyat tidak mendapatkan kebebasan secara ekonomi dan politik, maka para politikuslah yang mengeluarkan mereka (baca: rakyat) dari sandera semacam itu lewat tindakan liberatif.
Rakyat harus menjadi “simbol” kekuasaan dan karenanya mesti diberi perhatian lewat program keberpihakan yang interkonektivitas. Rakyat tidak boleh dibiarkan sendirian dalam melawan arus derita sosial.
Para politikus mesti mengubah kekuasaan politik yang selama ini acapkali identik dengan sederetan praksis deviatif menjadi kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan rakyat.
Sebagaimana spirit puasa yaitu pembaharuan dan peralihan ke hal baru, para politikus juga harus mampu membaharui praksis berpolitik dengan beralih dari cara berpolitik lama ke cara berpolitik baru.
Mereka harus bertobat dari aktus berpolitik pragmatik dengan menampilkan aspek baru yang berdaya reparatif, revitalitatif, restoratif dan solutif. Dan saya meyakini bahwa pembaharuan itu akan terwujud jika pertama-tama berasal dari pembaharuan hati untuk kemudian diaktualisasikan lewat pembaharuan “aktus” di ranah publik.
Hal ini mesti dikonkretisasi melalui tindakan penyelamatan integral-komprehensif terhadap rakyat. Tentu saja dengan harapan, kehidupan rakyat juga “diperbaharui” karena terciptanya kehidupan sejahtera.
Jangan sampai saat kekuasaan didapatkan, mereka hanya mencari dan menyelamatkan segelintir orang saja. Di balik itu, mereka harus sadar bahwa kekuasaan boleh ditentang dan dilawan jika bertentangan dengan keselamatan rakyat.
Bila perlu, kekuasaan yang mereka miliki mesti memungkinkan rakyat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah (Efriza, 2013).
Dengan demikian, rancangan program yang benar-benar berkeadilan sosial didesain secara dialektik. Hal ini mesti didukung oleh kesanggupan mereka dalam mengendalikan nafsu jasmani politik berupa pencaplokan orientasi politik, privatisasi dan kapitalisasi kekuasaan untuk memperkaya diri/kelompok. Itulah aktualisasi spirit quaerere et salvum facere.
* Rohaniwan Katolik dan pemerhati sosial dari Seminari Ritapiret – Maumere