Vox NTT – Para petahana yang sedang menjalani proses pemenangan Pilkada 2018 tapi kini berada di dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus memupus harapannya untuk bisa mengikuti rangkaian agenda kontestasi tersebut.
Sebab, KPK tidak akan mengabulkan permohonan penangguhan penahanan atas alasan politis tersebut.
Pada Jumat (23/2), kuasa hukum Bupati Lampung Tengah Sopian Sitepu mengajukan permohonan penangguhan dan izin untuk tetap dapat berkampanye.
Mustafa yang juga saat itu menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta juga menyatakan suara di Lampung masih cukup kuat untuk mendukungnya maju sebagai gubernur (Kompas, 24/2).
Menanggapi hal ini, Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu (25/2) menyatakan belum menerima surat pengajuan tersebut.
“Tapi saya kira tidak pernah ada preseden seperti itu sebelumnya, yaitu penangguhan penahanan untuk alasan Pilkada di daerah. Karena proses hukum ini harus dihadapi, apalagi sudah menjadi tahanan KPK. Jadi, kami pikir lebih baik fokus pada proses hukum ini saja dulu,” kata Febri.
Sebelum Mustafa, KPK sudah menangkap tiga kepala daerah yang juga tengah berpartisipasi dalam Pilkada 2018.
Mereka adalah Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae, dan Bupati Subang Imas Aryumningsih.
Ketiganya menerima suap dan mengumpulkan iuran dari pegawai negeri sipil untuk memodali kampanye.
KPK resmi menahan Bupati Subang Imas Aryumningsih beserta tiga tersangka lainnya yang terjaring OTT terkait suap pengurusan perizinan usaha di Pemkab Subang dengan komitmen suap sebesar Rp 4,5 Miliar.
Pada 2016, salah seorang petahana yaitu Samsu Umar Abdul Samiun yang kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Buton pada Pilkada 2017 memang berhasil terpilih sebagai kepala daerah.
Padahal statusnya saat itu sudah terdakwa. Kemenangan Samsu pun disebabkan dirinya adalah satu-satunya calon pada Pemilihan Bupati 2017 tersebut.
Berbeda dengan nasib mantan Wali Kota Cimahi Atty Suharti yang diamankan pada 2016. Usai berurusan dengan KPK jelang Pilkada 2017 yang diikutinya, Atty tak lagi memperoleh dukungan masyarakat bahkan perolehan suaranya menjadi yang terendah.
Marianus Sae di tahan dalam kasus dugaan menerima suap senilai Rp. 4,1 miliar dalam proyek pembangunan jalan.
“Kalau dikaitkan dengan proses pemilihan kepala daerah, saya kira masyarakat akan sangat cerdas untuk melihat apakah yang akan dipilih adalah orang yang terkait dengan kasus korupsi atau tidak. Kalau memang berpikir tentang masa depan sebuah daerah yang berawal dari proses pemilihan kepala daerah, sebaiknya pilih orang yang benar bisa memimpin dan bersih sehingga bisa menyejahterakan rakyatnya,” tutur Febri.
Secara terpisah, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menilai pendidikan politik kepada masyarakat perlu lebih gencar. Menurut Ade, belum semuanya memahami persoalan politik uang.
Untuk sejumlah wilayah di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, sebagian besar masyarakatnya memiliki kesadaran untuk tidak memilih calon yang melakukan politik uang.
Akan tetapi, kondisi di wilayah luar Jawa lebih kompleks. Politik uang kadang sudah menjadi budaya sehingga masyarakatnya terbiasa dengan hal itu.
Bahkan tidak sedikit yang menjatuhkan pilihan karena alasan sudah menerima pelicin sebelum memilih.
Untuk itu, hal ini menjadi pekerjaan rumah dari berbagai pihak supaya edukasi politik dapat menjangkau semua kalangan di tiap daerah.
Sumber: Kompas