Redaksi, Vox NTT-Di tengah gencarnya kampanye anti politik uang yang disuarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelang Pilkada serentak 2018, anggota dari kedua lembaga demokrasi tersebut di Kabupaten Garut, Jawa Barat malah tertangkap tangan terlibat kasus suap.
Kedua oknum tersebut yakni Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Garut, Heri Hasan Basri dan Komisioner KPU Garut, Ade Sudrajat.
Adapun barang bukti yang didapatkan Satgas Anti Money Politik Polda Jabar yakni satu kuitansi tertanggal 8 Februari 2018 dengan tulisan Rp 10 juta dari DW, satu buah buku tabungan Bank Mandiri atas nama Heri Hasan Basri, dan tiga buah ponsel, 12 bukti transfer ATM BCA, 3 lembar bukti trnasfer ATM Bank BRI, 1 buku tabungan bank BRI atas nama Ade Sudrajat, 1 buku tabungan Bank BNI Ade Sudrajat, 1 unit mobil Daihatsu Sigra warna putih No. Pol Z 1784 DY berikut kunci dan STNK kendaraan atas nama Ade Sudrajat.
Kejadian itu menampar muka Bawaslu dan KPU yang sejak awal menolak keras adanya suap dan politik uang jelang Pilkada Serantak 2018.
“Peristiwa itu merupakan peristiwa yang memalukan bagi korps penyelenggara Pemilu,” ujar Ketua Bawaslu Abhan saat menggelar konferensi pers di Kantor Bawaslu, Jakarta, seperti dikutip dari Kompas.com, Minggu (25/2/2018).
Skandal Demokrasi
Penangkapan komisioner KPU dan Ketua Panwaslu Garut juga dinilai sebagai skandal besar dalam praktik demokrasi.
“Alarm telah berbunyi bahwa politik uang adalah nyata” demikian Tajuk Rencana Kompas, Selasa, 27 Februari 2018.
Seperti di Garut dan daerah-daerah lain di Indonesia, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi NTT juga telah menggelar deklarasi tolak politik uang dalam pemilihan pilkada serentak 2018.
Acara ini digelar di Hotel Swiss Belinn Kristal Kupang, Rabu (14/2/2018) lalu.
“Sadar akan politik uang, maka kami lakukan deklarasi untuk menolak politik uang. Semua elemen harus didorong untuk melaksanakan gerakan bersama menolak politik uang dan politisasi SARA,” kata Ketua Bawaslu NTT, Thomas Mauritus Djawa kala itu.
Menengok kasus Garut, sebenarnya memberi sinyal dini bagi proses demokrasi yang akan berlangsung serentak di Indonesia termasuk NTT.
Peristiwa ini memberi pesan kuat bahwa politik uang tidak hanya terjadi antara kandidat/tim sukses dan masyarakat pemilih, tetapi juga antara kandidat dengan penyelenggara dan pengawas pemilu.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri merupakan salah satu provinsi yang akan menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Selain pemilihan gubernur, terdapat 10 kabupaten juga akan menggelar pemilihan bupati dan wakil bupati.
Kesepuluh kabupaten tersebut yakni Kabupaten Sikka, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Alor, Kabupaten Kupang, Kabupaten Ende dan Kabupaten Sumba Barat Daya.
Skandal ‘Garut’ adalah peringatan dini bahwa kejadian serupa juga bisa terjadi di NTT. Pengawas yang seharusnya mengawasi jalannya pelaksanaan pilkada justru ikut menjual perannya demi untuk kepentingan finansial.
Situasi ini menunjukkan bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk persyaratan untuk ikut dalam proses pilkada. Jika gejala ini terus membesar, inilah ancaman terhadap demokrasi.
Demokrasi yang sejatinya berperan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas justru menjadi benalu bagi kesejahteraan rakyat akibat proses yang kotor sejak awal.
Di NTT, ada beberapa kecemasan yang mendukung hal itu.
Pertama, proses perekerutan penyelenggara, panitia dan pengawas pemilu belum terlepas dari titipan partai politik. Dugaan ini terungkap dalam proses perekrutan di kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Baca disini.
Selain itu ada suatu rahasia umum yang beredar kuat di kalangan awam bahwa dalam KPU juga tidak luput dari titipan parpol.
Keterlibatan kader titipan partai ini selain melanggar peraturan pemilu juga bisa berpotensi melahirkan kecurangan demi menguntungkan partai yang menitipnya.
Kedua, kesadaran partisipatif pemilih NTT masih tergolong rendah. Pemilih NTT masih berkutat pada level partisipasi memilih saja, tetapi belum sampai pada level pengawasan.
Pengamat politik dari Sophia institute, Lasarus Jehamat menegaskan partisipasi masyarakat NTT dalam demokrasi masih sebatas prosedural semata.
“Secara prosedural bisa iya. Tapi secara substansial, saya masih ragu,” katanya saat dihubung VoxNtt.com beberapa waktu lalu.
Menurut Jehamat, politik lemah pada partisipasi masyarakat sementara demokrasi kerap dan jelas masih amat prosedural.
“Agak sulit mengatakan bahwa di 2018 ini, kualitas demokrasi saat kontestasi baik. Ini bisa diakui baik sejauh kualitas secara substansial turut berubah” tegasnya.
Ketika penyelenggara dan pengawas pemilu sudah terlibat dalam skandal suap Pilkada, ditambah lemahnya partisipasi rakyat, maka bisa dipastikan demokrasi yang berlangsung juga gagal sejak awal. Maka harapan untuk melahirkan pemimpin yang bersih dan berkualitas pun hanya menjadi angan-angan di setiap Pilkada.
Karena itu pesan dari Garut sangat kuat dalam konteks Pilkada serentak NTT tahun ini.
Kesigapan Satgas Anti Money Politik Polda NTT yang bekerja sama dengan KPK RI sangat dibutuhkan demi mewujudkan demokrasi yang berkualitas di NTT. Satgas maupun KPK harus memantau indikasi kecurangan dan suap sejak awal.
Selain itu, pesan Garut juga memberi peringatan bagi masyarakat pemilih untuk turut terlibat dalam mengawasi jalannya demokrasi pada tahun ini.
NTT sudah dikenal dengan daerah miskin karena korupsi. Itulah sebabnya para pakar sering menyebut daerah ini miskin karena sistem (kemiskinan sistemik).
Jika NTT segera keluar dari stigma-stigma tersebut maka mengawal Pilkada sebenarnya mendorong sistem politik kita keluar dari ‘zona korupsi’. Hanya dengan sistem yang bersih NTT bisa keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan.