Se(TABAH)
Di sini musim patah berganti
Pucuk-pucuk luruh
Pelupuk-pelupuk lusuh, hendak meluruhkan
Awan di sudut pelupuk menjelma basah
Bagaimana dengan kotamu
Yang katanya kota paling “kekasih”
Sudahkan engkau seduhkan secangkir rindu
Secangkir saja: toh kau sendiri
Lalu engkau mesti meneguknya.
Sendiri. Dengan tabah.
Semisal engkau menanti musim berganti
Semisal engkau menanti sebuah jawab
Dengan pelupuk yang lusuh dari
Pintamu yang kau rapal dari musi ke musim
Pun dengan tabah
Se(Tabah) itukah ?
Ende, Februari 2018
Bulan dan Kemungkinan
Malam ini gelap sekali
Pekat.
Mungkin bulan sedang di kuburan
Mungkin pula rembulan sejenak
Singgah di matamu
Ataukah
Bulan datang singgah
Di bawah celanamu
Bergurau sesaat
Di bawah celanamu?
Ende, 31 Januari 2018 (takkala gerhana bulan)
Sebelum Pulang
Setelah musim dan segala usia mengendap
Sesungguhnya yang ada hanyalah pulang
Olehnya esok sebelum pulang
Taburlah segala budi di taman warisan adam dahulu
Sebab dari atas Sang pewaris telah mencatat segalanya
Kemas dengan segala harap yang penuh
Segala yang engkau bawa ke atas
Agar engkau tiba dengan suka
Tak lupa jua kemas segala dosa warisan adam itu
Dosa Mu(asal).
Lemba Wongge, 20 Februari 2018
Identitas penulis:
Milla Lolong perempuan Lamaholot
lahir di Flores-Lemabata 13 Oktober 1997.
Sering melamun, ngobrol lepas dan sesekali menulis puisi.
Sekarang sedang menempuh studi pada Universitas Flores.
(Catatan) Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Oleh: Engky Ola Sura
Pertama-tama, kami semua dari jajaran redaksi VoxNtt.com berterima kasih kepada Milla Lolong, karena termasuk sosok mahasiswi yang setia menulis untuk Vox. Kami percaya bahwa Milla juga adalah seorang pembaca yang setia. Kedua, tampak bahwa dari waktu ke waktu Milla makin matang dalam setiap puisi-puisinya.
Ketiga, membaca tiga puisi Milla Lolong pekan ini adalah membaca satu suasana yang keluh, muram juga gelisah. Maka gambaran dari suasana yang tercipta darinya adalah sayu.
Pada puisi pertama Milla bicara tentang penantian yang jika jenuh melanda maka penguatan yang paling layak diteguhkan adalah tabah. Sedangkan pada puisi kedua Milla sempat juga ikut menirukan baris dari puisi Sitor Situmorang yang berjudul Bulan di Atas Kuburan. Tak masalah memang, karena Milla bisa jadi sedang juga menjadi pembaca setia dari puisi-puisinya Sitor.
Sitor barangkali bisa jadi pegas buat Milla untuk menjadi lebih matang berpuisi. Puisi ini hemat saya nampak jenaka. Simak deret kata macam /bulan datang singgah/di bawah celanamu/berguru sesaat/di bawah celanamu/.
Diksi-diksi macam ini hemat saya terasa sangat berani tertuang kepada pembaca untuk ikut menafsir tentang apa saja. Bisa jadi tentang bulan, tentang celana juga tentang sosok yang memandang bulan dan sebagainya.
Toh Milla dalam keterangannya telah menulis bahwa puisi ini tercatat saat peristiwa gerhana bulan. Pada puisi ketiga, Milla seolah tampil sebagai pemberi wejangan untuk memaknai hidup.
Tiga puisi kali ini isinya nampak sayu tertoreh toh Milla ikut menegaskan kepada pembaca juga semua yang menyukai puisi bahwa puisi bisa memberi sesuatu pelajaran dengan cara yang sangat istimewah untuk dihidupkan.***