JAKARTA, Vox NTT — Seperti biasa, VoxNtt.com coba melist beberapa isu yang menjadi topik utama diangkat oleh tiga media ternama nasional, seperti Kompas, Media Indonesia (MI) dan Tempo.
Pantauan VoxNtt.com, hari ini ketiga media ini mengangkat beberapa isu yang berbeda tetapi menarik.
Kompas misalnya mengangkat topik tentang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang terus tertekan dalam sebulan terakhir.
Dengan judul: “Rupiah Tertekan dalam Sebulan Terakhir” Kompas menyodorkan data tentang rupiah yang terdepresiasi dan cenderung bergerak turun.
Nilai tukar rupiah bergerak menurun (melemah) sejak gubernur bank sentral AS yang baru, Jerome Powell, berencana menaikkan suku bunga seiring dengan membaiknya perekonomian AS pada 5 Februari lalu.
Sejak saat itu sebagaimana yang dijelaskan Kompas, rupiah cenderung melemah. Pada saat itu (5 Februari), kurs rupiah terhadap dollar AS di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada pada angka Rp 13.498.
Pada Jumat 9 Maret atau lebih dari satu bulan kemudian, angka ini bergerak naik drastis dimana kurs Jisdor melemah 2,19 persen ditutup pada angka Rp 13.794.
Ini adalah level kurs rupiah terhadap dollar AS terendah sejak Januari 2016 yang menyentuh level Rp 13.900.
Menanggapi hal itu, Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan, pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS terjadi karena investor asing banyak yang melepas aset dalam rupiah dan mengalihkannya ke dalam aset dalam denominasi dollar AS.
Pelemahan kurs nilai tukar rupiah dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Itu dilakukan karena imbal hasil aset dalam dollar AS diprediksi lebih menguntungkan seiring dengan rencana The Fed menaikkan suku bunga.
Sebagai dampak dari membaiknya perekonomian AS, Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell ingin menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) pada tahun ini.
”Dengan menaikkan Fed Fund Rate, dana asing yang ada di Indonesia berangsur keluar. Jumlah dollar AS yang berada di Indonesia berkurang, sedangkan permintaannya tetap. Hal ini yang menyebabkan kurs rupiah melemah,” ujar Josua yang dihubungi Jumat (9/3).
Keputusan Powell menaikkan suku bunga itu berkaca pada indikator ekonomi AS yang menunjukkan perbaikan. Data pengangguran mencapai 4,1 persen yang merupakan terendah sejak 2000.
Penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian juga baik, yakni 200.000 orang berhasil memperoleh pekerjaan setiap bulan.
Sepanjang 2017, pertumbuhan ekonomi AS mencapai 2,3 persen. Ini level yang termasuk baik untuk sebuah perekonomian yang produk domestik bruto (PDB)-nya terbesar di dunia, 19,3 triliun dollar AS. Sementara inflasi tercatat 2,1 persen, atau level ideal untuk ukuran AS.
Data lain di sektor riil: penjualan mobil mencapai 17,25 juta setahun. Ini termasuk impresif. Satu-satunya indikator yang masih lemah adalah defisit perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan, yang selalu besar.
AS menderita defisit sebesar 375 miliar dollar AS terhadap China. Namun, ini khas dan ”biasa” bagi AS.
Normalisasi suku bunga
Karena sederet data positif tersebut, Powell pun mulai berani menjanjikan kenaikan suku bunga akan diteruskan secara lebih cepat. Suku bunga acuan saat ini (Fed Fund Rate) adalah 1,25-1,50 persen.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) A Tony Prasetiantono mengatakan, saat menghadapi krisis keuangan pada 2008, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke menurunkan suku bunga, yang dimaksudkan untuk relaksasi likuiditas.
Kebijakan moneter longgar AS berakhir pada suku bunga 0,25 persen dan cetak uang 4,5 triliun dollar AS pada Mei 2013, ketika Pemerintah AS mulai menyadari terjadinya pemulihan ekonomi. Sejak itu, suku bunga diarahkan untuk naik.
Belum ada kesepakatan, berapakah suku bunga ideal untuk perekonomian AS saat ini. Namun, dari sejumlah diskusi, tampaknya akan mengarah ke sekitar 2 persen.
Bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga, itu sudah terantisipasi sejak pertengahan 2013. Namun, yang mengejutkan pasar adalah Powell akan menaikkan suku bunga sampai empat kali pada tahun ini.
Berarti, suku bunga akan berada pada level 2,25-2,50 persen pada akhir tahun ini. Pasar pun bereaksi dengan cepat, yakni dollar AS menguat (apresiasi), tetapi indeks harga saham di New York jatuh.
Research Analyst FXTM, Lukman Otunuga, mengatakan, pekan ini kurang menggembirakan bagi mata uang Asia karena peningkatan ekspektasi kenaikan suku bunga AS.
”Komentar hawkish dari Powell memicu spekulasi pasar bahwa Fed akan meningkatkan suku bunga AS empat kali tahun ini. Mata uang pasar berkembang, termasuk rupiah, dapat terkena dampaknya,” ujar Lukman.
Kestabilan
Meski rupiah terus terdepresiasi, Lukman mengatakan, sentimen terhadap ekonomi Indonesia tetap positif. Keyakinan pasar ini dapat terlihat dari Indeks Harga Saham Gabungan yang tetap kuat.
Josua pun meyakini, gejolak depresiasi biasanya hanya bersifat temporer. Pelemahan rupiah biasanya terjadi saat wacana kenaikan suku bunga itu dikeluarkan. ”Namun, saat kebijakan itu diambil, biasanya tidak banyak perubahan di sini,” lanjut Josua.
Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia pun sudah melakukan intervensi pasar dengan menjual dollar AS ke pasar.
Hal tersebut tecermin dari cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari yang sebesar 128,06 milliar dollar AS, menurun dibandingkan dengan cadangan devisa pada akhir Januari yang sebesar 131,98 miliar.
”Penurunan cadangan devisa pada Februari terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah,” ucap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman Zainal.
Di tengah kegelisahan akan nilai tukar rupiah yang semakin melemah, Indonesia saat ini juga tengah dihantui hoaks yang terus mengerogoti sistem perpolitikan era sekarang.
Hoaks memang bukan baru terjadi sekarang, khusus di Indonesia hoaks nampak begitu kentara semenjak suksesi pemilihan Presiden lima tahun lalu.
Pilkada DKI beberapa waktu lalu juga semakin membuktikan bahwa penyebaran hoaks di Indonesia sudah sangat akut, bahkan sudah dijadikan sebagai senjata pamungkas dalam menjatuhkan lawan setelah politik uang tidak lagi mempan.
Harian MI hari ini coba mengulasnya dalam judul: “Politik Uang Redup, Hoaks Subur”. Pemerhati politik dan social media, Ray Rangkuti dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Watch for Demokrasi di Jakarta kemarin menyampaikan, pengaruh politik uang untuk memenangi kontestasi politik semakin melempem dan membuat hoaks menjadi alternative untuk menjatuhkan lawan.
“pengaruh politik uang dalam pilkada itu saat ini hanya 30% saya kira. Karena orang tau memilih yang memberikan uang itu masalah,” kata Ray.
Menurut Ray, pemilih bisa enggan memberikan suara karena semua kontestan justru melakukan politik uang. Hal inilah yang membuat partisipasi pemilih semakin rendah setiap periode. “karena kanan kiri memberi dia, jadi dia bingung dan akhirnya tidak dating di TPS” katanya.
Hal kata dia menyebabkan berbagai pihak menggunakan politik identitas dan hoaks untuk menjatuhkan lawan dan melaikan elektabilitas.
“Hal ini sudah terlihat saat pilkada DKI. Hoaks digunakan setidaknya untuk menahan elektabilitas seseorang dan akhirnya ditiru oleh daerah-daerah lainnya,” tegas Ray.
Selain itu, kian masifnya penyebaran berita bohong di tengah-tengah masyarakat karena sikap permisif partai politik. Sikap permisif itu menurutnya dilakukan seluruh partai politik.
“Jika tidak jadi korban, mereka diam saja. Seolah membiarkannya saja, bukannya ikut mengecam. Jika jadi korban, baru mereka teriak, eh, saya ini korban loh,” kata Ray lagi.
Menurut Ray, parpol berkaitan erat dengan produksi hoaks. Sebuah keniscayaan, tiap parpol akan memanfaatkan hoaks untuk memenangkan kontes politik.
“Di daerah A bisa saja dia teriak antihoaks karena jadi korba, elektabilitasnya menurun. Tapi tidak demikian di daerah lain, justru bisa menjadi pelaku penyebar atau pembuat hoaks,” tegasnya.
Kalau mental bobrok tergambar dalam bentuk perilaku politik uang, identitas dan hoaks maka Polri khsusnya satlantas menunjukan kebobrokannya dengan meminta uang saat tilang pengendara di jalan.
Tempo mengangkatnya dengan sebuah judul: “Video Viral Polisi Minta Uang Tilang, Dirlantas Polda Kecewa”.
Berita tentang Polantas minta uang saat tilang memang bukan baru, hal seperti ini sudah sering terjadi walaupun sudah ada peringatan dari Kapolri agar perilaku macam ini segera dihentikan, sebagai wujud reformasi di tubuh Polri.
Dalam berita yang diturunkan Tempo.co dijelaskan, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Halim Pagarra mengaku kecewa karena dua anggotanya minta uang saat melakukan tilang, seperti terekam dalam video yang kemudian menjadi viral.
Dua personel dari Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Barat itu tertangkap basah meminta uang tilang kepada pengendara sepeda motor bernama Reza di Penjaringan, Jakarta Utara.
“Kami sudah bangun citra Polri dengan baik, ini justru lakukan hal yang tidak benar,” kata Halim di kompleks Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Maret 2018.
Ia memastikan kedua personel polisi tersebut, Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) SA dan Aiptu MA sudah dimutasi ke unit Pelayanan Masyarakat Polda Metro Jaya. Atas tindakan tersebut, keduanya juga tengah diperiksa divisi Profesi dan Pengamanan (Propam).
Perilaku kedua personel ini sendiri terungkap lewat video viral. Video itu merekam tiga anggota polisi lalu lintas, yang salah satunya meminta uang Rp 300 ribu kepada Reza karena mengangkut muatan melebihi batas maksimal. Namun Reza enggan membayar.
Lantas, polisi yang meminta uang itu mendadak mengeluarkan kata-kata kasar, lalu membawa motor milik Reza ke kantor polisi. Pemilik sempat bertanya pula kenapa tidak surat tanda nomor kendaraan atau surat izin mengemudinya saja yang ditahan. Namun polisi tetap membawa sepeda motor dan meninggalkan Reza serta barang bawaannya di jalan raya.
Ditlantas, kata Halim, masih menunggu hasil pemeriksaan Propam terhadap dua polisi lalu lintas yang minta uang tilang itu. Ia juga mengaku belum mengetahui hasil pemeriksaan terhadap dua bawahannya tersebut. “Silakan tanya ke Propam untuk lebih lanjutnya,” ujarnya.
Penulis: Boni Jehadin
Diolah dari Kompas, MI, Tempo.