Kupang, Vox NTT- Direktur Setara Institute, Hendardi menanggapi fenomena hoax yang marak terjadi di era demokrasi digitial saat ini.
Salah satu contoh hoax yang belakangan ini menjadi perhatian publik yakni stigmatif PKI atas Presiden Joko Widodo.
Sebagaimana diketahui, kepemimpinan Jokowi menghadapi serangan serius stigma mendukung PKI dan membiarkan kader-kader PKI bangkit dan menduduki sejumlah jabatan strategis.
Hendardi menuturkan, sejak menjelang Pemilu 2014, isu ini terus dihembuskan oleh lawan politik Jokowi yang secara sistematis akan berpotensi melemahkan elektabilitas Jokowi pada 2019.
“Bagaimana pun, di era pascakebenaran (post-truth era), hoax yang diproduksi secara sistematis dan berkelanjutan akan dianggap kebenaran oleh para pembaca/penerima pesan. Karena itu ekspresi Jokowi dapat dipahami sebagai upaya menolak pengarusutamaan (mainstreaming) hoax PKI itu agar tidak menjadi kebenaran palsu,” jelas Hendardi dalam rilis yang terima VoxNtt.com.
Hoax semacam ini jelasnya, merupakan kerja politik oleh pihak-pihak yang disengaja (by design) untuk tujuan-tujuan politik tertentu, bisa dilakukan oleh pendukung parta-partai politik, bisa juga oleh kelompok professional yang dipekerjakan sebagai pihak yang bertugas melemahkan legitimasi kepemimpinan Jokowi.
Pola Baru
Selain isu PKI, Hendardi juga menemukan suatu pola baru dalam produksi hoax.
Di tahun politik, wujud hoax bukan hanya berkonten SARA tetapi juga berbagai materi yang dapat menjatuhkan marwah atau integritas pribadi seseorang, partai politik, atau pihak-pihak yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan kontestasi politik.
Dijelaskan, ruang persidangan kasus korupsi dan kasus lainnya bisa jadi menjadi sumber informasi palsu yang bisa menimbulkan kegaduhan baru.
Terhadap hoax dan hal-hal yang belum teruji kebenarannya sudah semestinya publik tidak mudah terbawa arus, apalagi menjelang Pilkada serentak 2018, Pemilu dan Pilpres 2019.
Hal ini disampaikan Hendardi dengan memantau pernyataan Setya Novanto di persidangan terkait dugaan aliran uang ke Partai Golkar, Pramono Anung dan Puan Maharani dalam kasus KTP elektronik.
Secara normatif, kata dia, apapun yang muncul dalam persidangan sebuah kasus, akan menjadi referensi KPK dalam mengembangkan sebuah peristiwa hukum. Tetapi materi-materi yang misleading dalam sebuah persidangan, semestinya juga tidak perlu ditanggapi berlebihan, apalagi menimbulkan ketegangan baru antar partai politik.
Ketegasan Polri
Hendardi menegaskan sebagai bagian dari bentuk tindakan pelanggaran hukum, penyebar hoax harus ditindak secara hukum.
Namun kata dia, cara polisi merespons kegelisahan demokrasi ini tidak boleh kontraproduktif sehingga menunjukkan institusi Polri berpolitik. Polri harus memastikan penindakan atas penyebar hoax dan jejaring intelektualnya murni berdasarkan fakta-fakta peristiwa.
Langkah itu pun harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sehingga tidak terjadi generalisasi penindakan, yang justru akan melemahkan independensi dan netralitas Polri.
“Pendekatan preventif yang demokratik bisa menjadi pilihan Polri dalam bersikap, karena pendekatan represif yang tidak terukur hanya menyenangkan penyebar hoax dan kekuatan-kekuatan yang mempolitisasi isu PKI di tengah kontestasi politik. Pendekatan represif ini pula yang justru akan mengoyak dukungan kelompok prodemokrasi pada Jokowi dan mengikis elektabilitasnya saat kontestasti politik itu tiba,” jelasnya.
Paralel dengan langkah penegakan hukum, lanjut Hendardi, edukasi publik untuk meningkatkan literasi media menjadi tugas banyak pihak.
Publik bahkan dituntut menjadi bagian dari pemberantas hoax dengan senantiasa kritis membaca dan menyimak berita, tidak menyebarkan hoax, dan melaporkan pihak-pihak yang memproduksi hoax, karena hoax adalah sampah demokrasi.
Penulis: Irvan K