Kupang, Vox NTT- Organisasi Kepemudaan yang tergabung dalam OKP Cipayung Plus Kota Kupang menggelar aksi unjuk rasa menolak UU MD3, Senin (26/03/2018).
OKP Cipayung yang tergabung ini yakni, PMKRI, HMI PMII, IMM, FMN, KEMANURI, PIAS, PERMATA, IMANI, IMALVA, IKWAN, PERMASKU, IMMALA, PERMASI, dan PERMAPELTA.
Pantauan VoxNtt.com, ratusan mahasiswa mulai melakukan long march dari depan kampus Undana lama , Jalan Jendral Soeharto Naikoten kota Kupang menuju gedung DPRD NTT sekitar pukul 11.00 Wita.
Mereka tampak membawa beberapa spanduk yang bertuliskan menolak UU MD3 tersebut.
Selain itu mereka membawa sebuah keranda mayat bertuliskan pembunuhan demokrasi.
Saat tiba di Kantor DPRD, massa aksi memaksa masuk untuk menemui dewan. Namun polisi menghalangi pintu sehingga terjadi saling dorong dengan antara massa aksi.
Merasa aksinya dihalang dan gagal menemui dewan, massa aksi akhirnya meluapkan kekesalannya dengan membakar ban di depan gedung DPRD NTT. Aksi ini memicu kemarahan polisi.
Polisi akhirnya mengeluarkan jurus preman dengan menyerang membabi buta massa aksi dengan mengeluarkan semprot gas air mata dan ledakan petasan.
Beberapa oknum polisi polisi juga terlihat memukul massa aksi menggunakan besi, bahkan menendang dan menginjak.
Beberapa mahasiswa akhirnya menjadi korban dari tindakan polisi yang berjaga jalanya unjuk rasa.
Koordinator aksi Adrianus Oswin Goleng kepada VoxNtt.com, Senin (26/03/2018), mengatakan, unjuk rasa tersebut merupakan aksi damai, sebagai tanggung jawab pengawasan terhadap kebijakan publik.
“Tujuan aksi adalah menyatakan sikap menolak revisi UU MD3. karena bagi kami tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang sudah kita mulai dan kita rawat kurang lebih masuki umur 20 tahun,” ujar Adrianus.
Pasal 122 huruf (k) UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) kata dia, dianggap upaya legislatif memutuskan hubungannya dengan rakyat selaku pemilihnya karena dapat mempidanakan orang atau lembaga yang menghina terhadap kehormatan dewan.
“Nah, pasal ini sangat mengancam kebebasan orang untuk berpendapat apalagi mengkritik, jangan sampai pasal ini akan dijadikan senjata untuk memberangus setiap gerakan mahasiswa bahkan kebebasan pers,” ujar Presidium Germas PMKRI Kupang ini.
Selain itu, UU MD3 pada Pasal 73 UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) lanjut dia, merupakan salah satu pasal yang menimbulkan kontroversi.
Sebab, bunyi Pasal 73 itu adalah DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya dapat memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
Kemudian, dalam ayat (4) huruf (b) Pasal 73 itu disebutkan bahwa Polri wajib mengikuti perintah DPR untuk memanggil paksa.
Tak hanya itu, ayat (5) Pasal 73 itu menyebutkan bahwa polisi berhak melakukan penahanan.
“Padahal kita ketahui, hal ini menjadi kewenangan yudikatif dan itu sudah diatur dalam KUHAP, kita juga menolak pasal 245, pasal yang mengatur hak imunitas bawasannya DPR yang tersangkut persoalan hukum dapat diperiksa setelah melalui pertimbangan dan persetujuan presiden,” ujarnya.
“Pasal ini mau menggambarkan bahwa sesungguhnya DPR sedang berlagak seperti seorang bai yang mudah terserang penyakit dan daya tahan batin yang lemah sehingga mudah terjerumus, oleh karena itu perlu tambahan suplay imunitas, apa mungkin DPR atau bahwa akhir- akhir ini banyak yang terkena penyakit (kasus) sehingga perlu bentengi diri dengan imunitas. Selain itu, pasal ini bertentangan dengan konstitusi soal kesamaan dan kesetaraan hukum,” lanjut Adrianus.
Dia juga menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga DPR RI dan Eksekutif.
Menurut Adrianus, pengesahan UU atas kesepakatan kedua pihak. Sebab di pembahasan kedua lembaga ini turut terlibat.
Meskipun Jokowi tidak menandatangani UU tersebut, namu bagi Adrianus bukanlah sikap yang tulus.
“Bahwa dia (Jokowi) sedang bersama rakyat, tetapi lebih kepada sikap politis untuk kepentingan Pilpres 2019. Untuk itu harapan terakhir ditumpukan pada MK agar kiranya menganulir ketiga pasal tersebut,” harapnya.
Sorotan untuk DPRD NTT dan Kepolisian
Adrianus melanjutkan, di tengah semangat anak muda dan mahasisw a untuk bertemu dewan terhormat guna menyampaikan aspirasi justru malah berbalik.
DPRD NTT sama sekali satu orang pun tidak berada di tempat untuk menemui massa aksi dengan alasan yang tidak jelas.
“Sehingga bagi kami DPR NTT tidak bertanggung jawab, lebih mementingkan kepentingan pribadi dan partai dibandingkan rakyat di tengah gejolak paska disahnya UU MD3, dengan begitu muncul pertanyaan, apa mungkin dengan enggan beradanya di tempat itu menunjukan kesepakatan terhadap pengesahan revisi UU MD3. Sehingga merasa biasa- biasa saja dan republik ini lebih kusus di NTT sedang aman- aman saja?” imbuhnya.
Adrianus menambahkan, aksi damai ini diwarnai dengan tindakan represif oleh Kepolisian dari oknum Polres Kupang Kota dan anggota polisi di bawah pimpinan Kapolsek Oebobo.
“Dimana kurang lebih 6 orang harus mendapat perawatan intensif akibat penganiayaan oleh anggota, kami sudah membuat laporan di bagian propam dan sudah divisum guna kepentingan penyelidikan terhadap brutalitas oknum polisi,” ujar Adrianus.
“Kami mengecam sekaligus mendesak Kapolda NTT agar segera memcap Kapolres Kupang Kota, Kabagops dan Kapolsek Oebobo yang lalai dalam mengendalikan pasukannya, dan untuk oknum yang terlibat penganiayaan agar segera diproses sesuai ketentuan berlaku. Kita juga sementara konsolidasi semua elemen, dalam waktu dekat kembali turun ke jalan guna menyerukan kembali penolakan UU MD3 sekaligus tindakan represif aparat kepolisian,” tutupnya.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Adrianus Aba