Ruteng, Vox NTT- Jenderal Tito Karnavian ketika di-fit anda proper test oleh DPR di Jakarta, 23 Juni 2016 lalu mengatakan, langkah pertama yang dia lakukan kalau menjadi Kapolri adalah membersihkan budaya korupsi di lingkungan Polri.
Ya memang benar, sejak awal menjadi Kapolri sampai sekarang Tito banyak melakukan gebrakan di lembaga yang dipimpinnya itu.
Namun, karena sudah lama budaya koruptif bercokol di lembaga kepolisian sehingga sulit untuk membersihkan satu dua tahun. Bahkan, budaya koruptif itu bukannya hilang malah terus bertumbuh.
Demikian disampaikan Edy Hardum, praktisi hukum lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta saat menanggapi lambannya proses hukum kasus tangkap tangan Mantan Kasat Reskrim Polres Manggarai, Aldo Febrianto, Kamis (5/4/2018)
“Pak Tito serta jajarannya bersihkan di banyak Polda, Polres namun di banyak Polda dan Polres serta Polsek lainnya ada saja oknum terus berkubang dalam budaya korupsi,” katanya.
Salah satu contohnya, kata Hardum, adalah dugaan kasus pemerasan di Polres Manggarai, Desember 2017. Kasus itu mencuat ketika Tim Propam Polda NTT melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Polres Manggarai, 11 Desember 2017.
“Sempat ramai diberitakan sejumlah media massa baik lokal maupun nasional bahwa yang terjaring dalam kasus ini adalah Kasat Reskrim Polres Manggarai, Iptu Aldo. Aldo ditangkap di ruangan kerjanya,” ujar Hardum.
“Tim Polda mengetahui ada dugaan tindakan pidana tersebut berdasarkan pengaduan dari seorang pengusaha yang diduga diperas oleh Aldo,” tambahnya.
Sayangnya, lanjut Hardum, sampai saat ini kasus itu tidak jelas penyelesaiannya. Yang ada malah Aldo dipindahtugaskan kepada Polda NTT.
Karena itu, dia mendesak Kapolda NTT untuk melakukan langkah-langkah berikut. Pertama, segera mengumumkan ke publik perkembangan penyidikan kasus itu.
“Mengapa kasus ini tidak naik ke penyidikan? Apa alasannya ? Kapolda harus mengedepan asas transparan dalam menjalankan tugasnya. Sebab, asas transparan adalah salah satu syarat dalam pemerintahan yang baik dan bersih,” tegasnya.
Kedua, Kapolda NTT harus mengejawantahkan misi Kapolri bahwa semua anggota Polri harus jauh dari tindakan korup, kolusi dan nepotisme (KKN).
“Untuk itu, siapa pun yang terlibat dalam kasus ini ya harus diproses secara hukum,” tegasnya.
“Kalau pengusutan kasus ini tidak tuntas serta tidak transparan kepada masyarakat, maka adalah tidak salah kalau masyarakat mencurigai bahwa bahwa banyak yang terlibat dalam kasus ini. Patut diduga uang hasil dugaan pemerasan itu mengalirnya ke atas, sampai ke Kapolda waktu itu,” pungkasnya.
Ketiga, Pasal 13 huruf b UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyebutkan salah tugas Polri adalah menegakkan hukum. Dalam menegakkan hukum bukan hanya ditujukan untuk orang di luar Polri, tetapi juga anggota Polri yang terlibat korupsi atau tindak pidana lainnya harus ditindak.
“Polri ibarat sapu. Sapu harus bersih, agar lantai yang akan disapu bersih juga,” tegas Hardum.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa fungsi penegakkan hukum adalah terwujudnya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
“Pengusutan kasus itu agar wibawa hukum tegak. Sedangkan, manfaatnya adalah semua anggota Polri jera dengan permainan kotor dan semua masyarakat berani melapor kalau ada pejabat atau anggota Polri melakukan pemerasan,” jelasnya.
“Sedangkan asas keadilan tentu, masyarakat umumnya merasa puas kalau pengusutan kasus tersebut tuntas,” imbuhnya.
Selain itu, Hardum juga mengingatkan Polri akan dampak buruk yang terjadi kalau kasus itu tidak diungkap tuntas.
“Dengan tidak tuntasnya pengusutan kasus ini, maka masyarakat akan takut atau enggan melapor ke lembaga Polri kalau ada oknum Polri yang melakukan pemerasan. Kita berharap Kapolda NTT sekarang tidak terus mendiamkan kasus ini,” pintahnya.
Kontributor: Ano Parman
Editor: Adrianus Aba