Ruteng, Vox NTT-Ferdinandus Taruk (27) menghembuskan nafas terakhirnya di ruangan Dahlia RSUD dr. Ben Mboi Ruteng, Sabtu, 7 April 2018 sekitar pukul 09.30 Wita.
Warga Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai itu meninggal setelah sepekan lebih menjalani perawatan.
Dokter tak mampu menyelamatkan nyawa Ferdy, setelah sebuah peluru menyasar di kepalanya dalam insiden penembakan misterius pada 27 Maret 2018 lalu di Karot. Saat insiden naas tersebut dia sedang asyik nongkrong dengan teman-temannya.
Baca: Sikap Keluarga Atas Kematian Ferdy
Meninggalnya Ferdy membuat berbagai pihak turut prihatin dan menyampaikan sorotan. Salah satunya Koordiantor Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus.
Salestinus bahkan menilai kematian Ferdy merupakan bukti bahwa pelayanan publik RSUD Ruteng dan Polres Manggarai sangat buruk.
Menurut dia, dua instansi tersebut telah melakukan upaya pembiaran atas kepergian Ferdy. Sebab, tidak ada upaya berupa tindakan medis mendatangkan dokter ahli untuk operasi mengeluarkan peluru dari kepala korban, sebelum akhirnya Ferdy meninggal dunia.
Padahal, kata Salestinus, operasi oleh dokter alhi sangat penting demi kepentingan penyidikan dan penyembuhan korban.
Tagih Tanggung Jawab
Salestinus menegaskan, apapun alasannya, RSUD dr. Ben Mboi dan Polres Manggarai harus bertanggung jawab atas meninggalnya Ferdinandus Taruk.
“Pihak Rumah sakit dianggap melakukan pembiaran karena, tanpa upaya maksimal mengeluarkan peluru dari kepala Ferdinandus Taruk hingga ajal menjemput,” ujar Salestinus dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Senin (09/04/2018).
Sedangkan pihak Polres Manggarai lanjut dia, harus bertanggung jawab terkait kepentingan penyidikan dan menciptakan ketertiban unum.
Kepentingan penyidikan mengharuskan penyidik mengeluarkan peluru yang bersarang di kepala korban Fredinandus Taruk
“Harus untuk mengurangi rasa sakit atau menyembuhkan dan dijadikan barang bukti, sedangkan korban Ferdinandus Taruk sendiri sangat diperlukan keterangannya untuk mengungkap motif-motif dan siapa sesungguhnya menjadi pelaku penembakannya,” ujar salah satu advokat Peradi itu.
Hal ini seharusnya membutuhkan kerja sama antara RSUD Ben Mboi dan Polres Manggarai. Sayangnya, upaya demikian seakan tidak terdengar dilakukan oleh dua instansi tersebut.
Baca: Jika Tak Bisa Ungkap Kasus Fredy, PMKRI: Kapolres Dicopot Saja
Salestinus menyatakan, Polres Manggarai dan pihak RSUD Ben Mboi terkesan hanya mau menunggu datangnya ajal Ferdy. Padahal waktu yang tersedia untuk mencari solusi sebagai upaya menyelamatkan korban masih cukup.
“Tidak ada upaya untuk mendatangkan dokter ahli dan peralatan yang memadai dari luar untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di kepala Ferdinandus Taruk, mengindikasikan sikap pembiaran itu ada,” ujar Salestinus.
“Pihak rumah sakit dan Polres Manggarai sama-sama lalai terhadap kewajiban untuk menyelamatkan korban, bahkan keduanya bersikap pasif dan hanya menunggu ajal tiba, sehingga dengan demikian layak dimintai tanggung jawab hukum,” imbuhnya.
Pelayanan Publik Terburuk
Kematian Ferdy membuat Salestinus geram. Bahkah, tak tanggung-tanggung dia menyatakan, kasus kematian Ferdy merupakan salah satu model pelayanan publik yang paling buruk di Manggarai.
“Ketika rakyat kecil di Flores yang jadi korban, pihak RSUD dan pihak Polres hanya bersikap menunggu dan mengeluh, sedangkan kewajiban hukumnya untuk menyelamatkan korban tidak pernah diperlihatkan,” ujar Salestinus.
Menurut dia, tanggung jawab hukum yang menjadi kewajiban utama adalah upaya bersama untuk menyelamatkan jiwa Ferdinandus Taruk.
“Problem hukum yang muncul sekarang adalah soal autopsi melalui operasi untuk mengeluarkan peluru dalam rangka pengungkapan sebab-sebab kematian dan siapa yang menjadi pelaku penembakan gelap, karena faktor izin dari keluarga korban Ferdinandus Taruk,” pungkasnya.
Baca: Polres Manggarai Diminta Transparan Ungkap Nomor dan Jenis Peluru di Kepala Ferdy
Untuk diketahui, Tim dokter forensik Polda NTT bekerja sama dengan inafis Plores Manggarai telah melakukan autopsi jasad Ferdy, Minggu malam (08/04/2018).
Namun hingga kini hasilnya masih dalam penyelidikan Polisi dan belum diumumkan ke publik.
Kontributor: Ano Parman
Editor: Adrianus Aba