Manusia Itu Bernama Perempuan
Saya masih ingat
Ini terjadi ketika kantuk dengan tiba-tiba melanda diri saya.
Memang sudah layak dan sepantasnya saya harus tertidur,
Toh saya hanya menghabiskan waktu untuk memberikan nama kepada ciptaannya.
Tapi, jangankan terima kasih,
Secuil senyum pun tidak saya dapatkan dari bibir mereka.
Dan masih banyak lagi tentang saya dan kesendirian saya waktu itu.
Akhirnya saya tertidur.
Ketika terjaga, saya melihat ciptaan lainnya yang baru.
Benar.
Dari baunya saja dia adalah ciptaan yang baru.
Tapi dia berbeda.
Memang semua ciptaannya itu berbeda.
Hanya saja dia ini mirip sekali dengan saya.
Bulu yang ada di sepanjang tubuhnya hampir sama dengan yang saya miliki.
Mata yang tajam juga begitu mirip dengan mata sendu saya.
Dan masih banyak yang terlalu mirip dengan punya saya.
Saya masih diberi kesempatan untuk menamai ciptaan baru itu.
Baiklah.
Saya namakan dia Perempuan.
Dia tersipu mendengarnya.
Kata pencipta, dia menciptakannya dengan mengambil salah satu bagian tubuh saya.
Aneh.
Tidak ada sedikit pun rasa kehilangan dari saya.
Padahal hingga kini, cerita dari pencipta saya itu telah berkembang dan banyak meyakini bahwa salah satu rusuk
saya diambil untuk menjadikan manusia yang telah diberi nama Perempuan ini.
Baiklah,
Kini saya sudah memiliki teman yang sepadan.
Dan kami berdua sama,
Sama-sama manusia,
Tapi dia bernama perempuan.
….
Flores, 21 april 17, Untuk wanita yang lahir 21 April.
Tentang Segala Tetek Bengek Teriakan Nenek
Saat baru saja keluar dari kamar mandi,
Ibu menyertai saya,
“jangan kencing di kloset! Tidak bagus untuk kesehatan kemaluanmu.”
Ayah yang hendak masuk ke kamar mandi juga menambahkan,
“lain kali jangan berak di sana,
Tidak bagus untuk anusmu.”
Saya masih terpaku, menyesal.
Karena air mani dan taik saya ada di sana.
Nenek dengan tertatih turun dari kuburannya, menghampiri kami.
Dengan berteriak dia memarahi kami.
“ Jangan main-main dengan kamar mandi.
Suami saya melamarku di sana.
Dan banyak kenangan Bla..bla…bla..
Tutup kamar mandi itu.
Hormatilah dia.
Di sana cinta kami tumbuh, rindu kami terukir.”
Lalu segala tetek bengek aturan menjadi wasiat, sebelum nenek naik ke kuburnya.
Saumlaki, Maret 18 Putra Niron, penikmat puisi. Berdomisili di Saumlaki.
Catatan Redaksi Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Oleh: Hengky Ola Sura
Pertama sejak absen sekitar dua minggu rubrik sastra ,VOX NTT kembali hadir. Pertimbangan untuk menyeleksi karya-karya yang masuk, jadi salah satu pertimbangan paling mendasar.
Pekan ini dua puisi dari Putra Niron jadi serupa pendalaman kepada pemahaman, bisa jadi semacam kontemplasi paling luhur tentang sosok bernama perempuan.
Pada puisi Manusia itu bernama perempuan, Putra Niron menyajikan satu narasi bernas nan puitis dari deret kata sampai makna dibalik kata-kata yang tersaji.
Manusia itu bernama perempuan adalah satu afirmasi tentang kemuliaan Sang Pencipta. Sosok yang hidup karena rusuk sang lelaki tapi lalu jadi perempuan adalah juga satu mujizat yang nyata.
Maka ketika membaca keseluruhan puisi ini, hemat saya kita diikutkan untuk tidak hanya sekedar memuja keindahan dari sosok bernama perempuan, tapi juga memandangnya sebagai wajah paling nyata dari kemuliaan penciptaan.
Pada puisi kedua, sosok nenek jadi serupa pengganggu yang tak henti-hentinya bicara tentang yang seharusnya dihidupi, dilaksanakan dan jadi seperti sebuah norma.
Puisi ini tampak nakal dalam pemilihan kata dan makna sekilas ketika terbaca, toh ia serupa keampuhan merawat tradisi dan lebih dari bisa jadi penghayatan terhadap tatanan dari nilai hidup yang harus terejwantah setiap harinya.