Menunggu Terang
Kampung
lama menunggu terang langit
sudah bertahun bintang bintang
tak menolehkan datang- senantiasa bergegas mati pergi
meski telah ibu susah lahirkan dan ayah payah besarkan
“Tak mengapa” kata kampung
“Aku masih memiliki bulan
yang setiap jalan malam
selalu bukan kelam”
Esok entah…
Langit malam kampung tak lagi menjulang
seekor bintang kelak lahir dari rahimnya
diasuh buku
diasah pensil
(2018)
Guru Kecil
Guru kecil berwajah gaji suram duduk di rumah kecil
pada malam yang disaksikan sebuah bulan yang sedang sedih cerianya
Tubuh guru yang sakitnya bersemangat kini tumbuh lapuk di dinding dan tiang hatinya, tapi cinta tua guru kecil masih seperti api setia membakar basah ranting-ranting dingin anak-anak pohon
“bapak guru setelah tamat SD sa mau sekolah di wanokwari” kata Carlos
Manokwari: demikian anggapan si murid; dusun kunang-kunang bahasa di sana ia belajar bahasa terbang menemui bintang-bintang kata
“bapak guru hanya punya pensil dan buku juga puisi yang sedang belajar merangkak” kata bapak guru
“tapi ko tra boleh cemas, jalan saja…”
Berjalan: begini keyakinan sang guru; hanya dengan berjalan mata jalan buntu, pecahhh…seketika bunga rumput mekar dan suara sayap kupu-kupu datang dengan warnanya, membawamu, menembus lembar hijau telinga bukit, menemui mata kabut gunung dan berjalan sabar bersama telapak kaki lembah
Sambil duduk sakit, di suatu pagi yang setia memeluk cerah guru kecil bahagia menyaksikan dua burung kakaktua raja terbang dengan sayap nasib tanpa payah
Ubrub 2018
Keluarga Bola
di lapangan hidup,
bola tak pernah memiliki nama semisal Messi
atau julukan seumpama The Special One
telinga waktu
senantiasa melihatnya sebagai
pejuang
tumbuh di halaman rumah hijau
Pep dan Klopp bermain
sebagai anak-anak pejuang
keduanya menyayangi
gawang sebagai ibu yang senantiasa tegar dan segar melahirkan Kalah dan Menang
“anak pejuang tak hanya Menang” kata Pep
“hati mesti hijau dan lapang menerima juga Kalah yang nakal”
ketika pada suatu hari Kalah pulang rantau
tangan rumah gembira menyambut meski kepala Kalah tertunduk,
hatinya penuh kesal dan sesal
tapi Pep memeluknya dengan airmata senyum
“bagaimanapun juga kau masih anak ibu” ujarnya
(Ubrub 2018)
Gody Usnaat, Penyair: mengabdikan diri sebagai guru di pedalaman Papua
Kegigihan Seorang Pejalan
Oleh:
Hengky Ola Sura
Redaktur Seni Budaya Vox NTT
Membaca tiga puisi Gody Usnaat adalah membaca jelajah seorang pejalan. Nun di setiap perjalanan hidup direfleksikan sebagai perlawanan. Lebih dari itu ia adalah perjuangan.
Mulai dari puisi Menunggu Terang, Guru Kecil dan juga Keluarga Bola adalah karya brilian yang sungguh orisinal memotret realitas macam kerinduan akan satu revolusi datangnya generasi pendobrak.
Puisi Menunggu Terang bisa jadi afirmasi akan adanya ratu adil yang yang ditempah dalam proses belajar. Deret kata macam ” diasuh buku/diasah pensil/ adalah ketegasan akan daya juang itu.
Pada puisi Guru Kecil, saya seolah menyaksikan Gody meleburkan dirinya dalam baris-baris puisi yang tetap punya ambisi.
Pengungkapan semacam “rumah kecil/berwajah gaji suram/ justru jadi pelecut untuk terus menggetarkan daya juga hentak langkah kaki yang terus melangkah.
Kata-kata macam “tapi cinta tua guru kecil masih seperti api setia membakar basah ranting-ranting singin anak-anak pohon”.
Deret kata macam ini sudah jadi bukti paling telak bahwa seorang pejalan tetap setia dengan aras perjalanannya. Ia sejatinya adalah guru kecil yang telaten.
Pada puisi Keluarga Bola, Gody memainkan daya pikat deret kata nan jenaka dan tetap gemilang dalam pengungkapan.
Deret kata macam hati mesti hijau dan lapang menerima juga Kalah yang nakal adalah perbandingan yang aduhai dengan jejak pejalan yang tak senantiasa mulus.
Maka tiga puisi Gody Usnaat kali ini adalah pencerahan yang juga ikut melingkup jejak langkah dari lakon yang sejatinya kita perankan.
Gody mungkin hanya mau bilang jika jadi guru jadilah guru yang sesungguhnya.
Jika jadi siswa-pelajar jadilah sungguh-sungguh dalam belajar. Itu saja.