Pada satu ketika di zaman tempo lalu, warta berita dikisahkan orang dari mulut ke mulut, dari telinga ke telinga, atau dari mata ke mata. Hal itu masih tampak dalam berita duka di kalangan masyarakat kita. Di Manggarai, misalnya, dikenal istilah “ngo wero” artinya pergi beri kabar. Kabar tentang seseorang telah meninggal dunia.
Rupanya, agak metaphoris. Tiap fase peradaban dan jalur kebudayaan, juga mengenal “mati”. Kematian satu fase atau tahapan kebudayaan seiring dengan laju pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Meski demikian, tiap tahapan merajut suatu continuum yang jelas. Buktinya, “ngo wero” (Bhs. Manggarai artinya pergi beri kabar) telah berubah dari mengirim orang sambil bawa tombak lalu berkabar, diganti dengan mengirim pesan dengan handphone lewat SMS (Short Message System) atau cukup dengan mengirim sebuah teks kabar ke radio dan disiarkan sebagai berita duka atau berita lainnya.
Bahkan kini, lebih canggih lagi. Kirim saja kabar melalui WhatsApp. Entah pengirim itu mengirim warta sambil buang tinja, atau mengirim berita sambil memeluk kekasihnya entah di mana di sebuah pojok bukit atau lembah. Dalam tempo singkat, semua kabar diterima di tempat lain oleh orang lain-lain dan dapat serentak untuk sejumlah orang di tempat berbeda pada kesempatan yang sama. Watak keserempakkannya itulah ciri utama jurnalisme kini dan di sini.
Pernah di satu masa. Ini terjadi di Ruteng, Manggarai, Flores, NTT. Seorang mahasiswa pulang libur. Perihal dia pulang libur ini disiarkan melalui Radio Pemerintah Daerah. Warga geger. Semua orang pengguna radio dengar kabar itu dan kemudian dilanjutkan dengan warta dari moncong ke moncong. Perihal mahasiswa pulang cuti lalu menjadi warta warga seluruh pendengar radio.
Orang-orang tidak perlu peduli, entahkah si mahasiswa itu berprestasi atau bukan di ruang kelasnya, entahkah dia pintar atau bodoh, bebal dan mungkin sungguh dungu, pokoknya tatkala pulang Manggarai, keluarga di Ruteng menyiarkan kembali perihal libur mahasiswa di radio milik pemerintah itu.
Maka perihal pulang libur si mahasiswa, misalkan saja bernama, Matamorin Laitmerkani, pun telah diketahui semua orang. Tetapi, semua itu telah pudar sudah. Meski, tentu saja, maknanya hingga hari ini belum lenyap nian.
Minat Baca Rendah
Surat kabar muncul sebagai kekuatan baru, kebudayaan baru. Budaya lisan berubah menjadi budaya tulis dan membaca. Tetapi apakah budaya baca dan tulis itu telah melenyapkan habis budaya lisan dan gossip? Tidak! Buktinya, masih saja ada rekan dan handaitolan kita bertemu sambil berujar: “Hai apa khabar?”
Kita juga menyaksikan, peminat baca tulis di Indonesia jauh lebih rendah dibanding, misalnya, India, Singapura dan Malaysia. Di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat, misalnya, pada tahun 1990-an, satu orang membaca sedikitnya tiga surat kabar. Di Indonesia, satu surat kabar dibaca sedikitnya oleh 50 orang.
Artinya, budaya baca kita, apalagi di NTT, masih rendah. Bahasa tutur para mahasiswa kita terkesan balepotan dengan bahasa Indonesia yang rusak berat, karena mereka tidak terbiasa membaca buku, tidak terbiasa membaca surat khabar, bahkan tak lumrah diskusi satu hal dengan kaya sudut pandang. Mereka terbiasa nonton sinetron, dengan segala macam tidak masuk akalnya itu.
Bagi saya, membaca buku artinya “saya sedang berdialog dengan penulisnya”. Membaca surat kabar artinya saya sedang berdialog dengan penulis kabar, tetapi sekaligus memahami jagat politik surat kabar tersebut. Dapatlah pula dilacak dengan lekas ke arah mana politik berita surat kabar itu, bahkan dapat pula dibaca ke arah siapa gerangan surat kabar itu hendak berpihak atau hendak “dibunuh”.
Membaca surat kabar pun akan segera memahami ideologi sosial pemilik surat kabar. Begitu pun kalau kita menonton televisi. Televisi di Indonesia dengan amat sangat jelas dan terang benderang TV mana pro apa dan siapa. Karena itu tampak jelas blocking politik sama dan sebangun dengan blocking media massa.
Berita tentang Lapindo, misalnya di masa lalu, akan sangat sulit masuk di salah satu TV swasta di Indonesia, karena pemilik TV swasta tersebut ada hubungan erat dengan kasus Lapindo di Jawa Timur.
Sebaliknya TV tersebut akan terus-menerus mempromosikan aktivitas pemiliknya seolah-olah semua kebenaran ada pada si pemilik televisi tersebut. Maka TV swasta kita tidak lebih dari instrument kepentingan pemiliknya, meski tak lupa dikatakan atau pura-pura mengatakan prorakyat, prokepentingan public. Hal serupa terjadi pada surat khabar dan majalah berita mingguan.
Berbeda dengan perkembangan teknologi sekarang ini. Makin mini sebuah perangkat, kian lekas pula warta tiba di sana. Media online, salah satu media terkini yang mengikuti jalur revolusi industri ke-empat yang menggunakan perangkat teknologi tingkat tinggi dengan kemampuan sebar begitu lekas dan meluas ke mana-mana.
Batas ruang politik negara diretas dan diterobos begitu segera, sampai-sampai tak seorang jua pun, entahkah itu jenderal atau selevelnya yang sanggup membendung daya ledak sosialnya yang luar biasa. Dunia pun lalu mengecil dalam layar virtual. Begitulah.
Namun, surat kabar masih eksis meski tinggal sedikit. Surat kabar pun bukan tanpa masalah.
Masalah utama surat kabar ialah ketergantungan kepada kertas, dan kertas tergantung pada kayu, dan kayu tergantung adanya hutan. Maka kian sedikit oplah surat kabar sesungguhnya hal itu adalah tanda lain dari meluputkan hutan tropis di negara-negara penyumbang oksigen dunia.
Lalu, apa yang mesti dilakukan? Andaikan perkembangan ini terus mengalir tanpa batas dan juga tak ada gunanya dibatasi, maka pergaulan lintas manusia, lintas budaya dan lintas sekat menjadi tanpa batas. Borderless cultural sungguh tak ada arti. Kecuali untuk urusan satu hal. Yaitu kepentingan bisnis pariwisata.
Bisnis pariwisata ke depan adalah bisnis sepi, bisnis senyap atau bisnis sunyi. Kesunyian dan kesenyapan itu juga langka adanya. Makin langka sebuah kebudayaan makin sepi pengikutnya, tetapi kian disukai untuk ditonton. Misalnya tradisi orang Boti di Timor Tengah Selatan, justru kian menyumbang arus deras pengunjung datang ke sana.
Raja Boti jauh dari dunia literasi modern, tetapi dia justru arif menghadapi permintaan alam. Suara alam dijawab dengan kearifan unisitas nan unik, serentak dengan itu nyaris tak peduli dengan dunia luar yang gegap gempita pakai laptop, android dan sejenis.
Air terjun dari sungai tersisa, telah menjadi amat langka, sehingga banyak pihak mengirim gambar air terjun dekat kampung dikirim lewat internet dan dunia pun tahu. Maka bagi para mahluk supra industri datang ke sana hanya mau menonton air jatuh dari tebing yang agak tinggi lalu mendengar derunya alam dalam keheningan semesta.
Caci di Manggarai, tidak lagi dipentaskan dalam skema serial acara adat, tetapi dipertontonkan dengan semena-mena dalam setiap kunjungan wisatawan untuk memperlihatkan kebolehan manusia Manggarai mencari cara melukai sambil bernyanyi.
Caci adalah ritual kejantanan sebagai bagian dari kecemburuan pria atas wanita. Karena hanya wanita sajalah yang biasa mengeluarkan darah saban bulan. Laki-laki tidak. Kaum pria pun cemburu. Untuk mengobati luka kecemburuan itu lahirlah metode baku hadap secara sangat jantan laki dengan laki, pukul dengan cemeti sampai tubuh berdarah.
Lalu, mereka teriak dan bertanya kepada khalayak. Saat itulah gendang dipukul kaum wanita dan pria di lapangan berjingkrak menari sambil mengarungi perih luka karena cemeti. Tetapi, ritus itu dipertontonkan dengan gampang di setiap saat karena bisnis pariwisata telah mengundang semua yang langka dan sunyi menjadi industri. Jurnalisme budaya, jurnalisme kesunyian kini kian lekas pergi membawa warta ke segala arah di mana-mana. Begitulah.