Borong, Vox NTT- Ketua DPRD Manggarai Timur (Matim), Lucius Modo mengaku kaget dengan adanya informasi pemotongan gaji guru tenaga harian lepas (THL) oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Frederika Soch.
Luko kepada VoxNtt.com di ruang kerjanya, belum lama ini, mengatakan kebijakan pemotongan gaji guru THL itu tanpa melalui koordinasi dengan lembaga DPRD.
Mestinya, kata dia, Kadis PK Matim berkoordinasi dan berdiskusi dengan DPRD terlebih dahulu sebelum mengeluarkan keputusan.
Koordinasi dan diskusi sangat penting agar ada solusi atas saran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Sementara itu, pengamat kebijakan asal Matim Maximilian Herson Loi kepada VoxNtt.com membeberkan sejumlah catatan kritis masyarakat untuk pemerintah dan DPRD Matim di balik keputusan pemotongan gaji guru THL.
Pertama, kata Herson, kebijakan guru THL itu berlaku sejak berdirinya Kabupaten Matim.
Masyarakat pun bertanya “mengapa insentif guru THL dan Bosda baru disetarakan tahun 2018 ini? Siapa yang membuat kebijakan ini?.
“Tentu jawabanya adalah pemerintah DPRD Matim. Jika menurut BPK perbedaan pemberian gaji guru THL dan Bosda itu salah, berarti para pembuat kebijakan yang salah,” ujar Herson.
Kedua, bupati sebagai pimpinan daerah tidak menginginkan gaji guru THl dipangkas.
Sementara, Kadis PK Matim sebagai bawahannya memilih untuk tetap memangkas gaji guru THL di tengah tahun berjalan. Apalagi sudah ditetapkan dalam Perda APBD.
Ketiga, DPRD Matim sebagai mitra utama menolak kebijakan Kadis Frederika untuk memotong gaji THL, karena itu sudah ditetapkan dan Perda APBD 2018.
Kata dia, polemik gaji guru THL sesungguhnya sedang mempertontonkan bobroknya manajemen biriokrasi di kabupaten itu.
Herson menyebutkan, Bupati Matim Yosef Tote sebagai pimpinan daerah berkehendak lain di balik kisruh gaji guru THL tersebut. Namun Kadis PK Matim malah mengambil kebijakan yang tidak sejalan dengan Bupati Tote.
“Ini soal kebijakan. Ko bisa bawahan membuat kebijakan tanpa koordinasi dengan pimpinan daerah juga DPRD sebagai penyedia anggaran. Ini sebagai bukti bahwa birokrasi kita tidak ada koordinasi antara level pimpinan dan bawahan juga DPRD sebagai mitra kerja pemerintah. Sesungguhnya Pemda sedang mempertontonkan dagelan murahan kepada publik dan masyarakat Manggarai Timur, ” ujar Herson.
Dia menegaskan, jika pemotongan gaji guru THL di luar persetujuan bupati dan DPRD, maka Kadis PK Matim telah melakukan suatu pembangkangan terhadap pimpinan.
Kadis PK Matim, kata dia, tidak taat asas. Ia tidak mengikuti arahan bupati dan DPRD.
Herson menambahkan, mestinya ketika Kadis PK Matim tidak mengikuti arahan bupati dan DPRD harus dicopot dari jabatannya.
Untuk diketahui, Dinas PK Matim mengeluarkan aturan baru soal insentif guru THL) dan Bosda.
Dalam aturan itu disebutkan tahun anggaran 2018, insentif pendidik dan tenaga kependidikan THL disesuaikan dengan besaran pembayaran untuk pendidik atau guru Bosda yaitu Rp 700.000/bulan. Padahal sebelumnya insentif guru THL sebesar Rp 1.250.000/bulannya.
Aturan itu tertuang dalam surat pemberitahuan bernomor, 420/590/PK/IV/2018 dan dikeluarkan pada 3 April 2018. Surat ditandatangani oleh Kadis PK Matim, Frederika Soch.
Kabarnya, aturan baru dibuat berdasarkan arahan BPK pada audit pendahuluan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun anggaran 2017 lalu.
Hingga kini, polemik gaji guru THL ini terus bergulir tanpa ada solusi dan titik terang.
Dalam satu kesempatan sidang paripurna di Kantor DPRD Matim, Bupati Tote menegaskan agar guru Bosda dan THL tetap kembali seperti semula. Itu antara lain, guru Bosda diberi insetif Rp 700.000/bulan, sedangkan THL sebesar Rp 1.250.000/bulan.
Menurut Tote, guru THL dan Bosda tidak boleh ada yang dikorbankan. Kebijakan soal insentif, kata Tote, harus tetap mengikuti Perda APBD tahun 2018.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Adrianus Aba