Oleh: Rian Odel
Mahasiswa STFK Ledalero
Aksi heroik Yohanes Ande Kala (Joni) menjadi viral pasca peringatan HUT ke-73 kemerdekaan RI, Jumat (17/8/2018). Banyak kalangan baik dari pemerintahan maupun swasta memberi beraneka apresiatif konstruktif sebagai bentuk penghargaan atas inisiatif baik Joni demi menyelamatkan sang saka Merah Putih di Lapangan Mota’ain, Atambua.
Pengalaman ini menjadi suatu bentuk patriotisme yang lahir dari sanubari joni sebagai seorang anak bangsa yang mungkin tidak pernah tenar di telinga banyak orang khususnya para petinggi bangsa kita.
Namun, dari peristiwa ini, popularitas Joni kian meningkat bahkan selevel dengan nama para politisi bangsa ini. Tanpa sabuk pengaman, Joni berani memanjat tiang bendera walaupun penuh risiko negatif yang mungkin membahayakan keselamatannya bahkan sebelum melakukan ini, dia tidak pernah menafsir akan mendapat apresiasi dari pemerintah.
Sebagai warga negara, kita tentu memberi “tepukan tangan” atas patriotisme semacam ini sembari bertanya diri. Apa yang sudah saya berikan untuk bangsa dan apa makna kemerdekaan bagi bangsa yang sudah lapuk umurnya ini?
Patriotisme Joni: Sebuah Kritikan
Secara implisit, tentu ada banyak makna yang perlu kita telusuri dari peristiwa yang diciptakan Joni sebagai suatu bentuk patriotisme.
Joni sebagai anak bangsa yang masih belia umurnya memberi makna terdalam bagi kemerdekaan bangsa ini. Menurut saya, peristiwa ini sebagai representasi dari semangat para pahlawan yang membela bangsa ini sekaligus suatu seruan keluh kesah rakyat kecil atas makna kemerdekaan yang masih lumpuh hingga saat ini.
Pertama, para pahlawan kemerdekaan tidak pernah menuntut imbalan material sedikitpun walaupun jiwa mereka menjadi taruhan demi masa depan anak bangsa.
Mereka berjuang demi tujuan kesejahteraan semua anak bangsa. Oleh karena itu, dengan gagah berani mereka mengangkat senjata tanpa berpikir panjang lebar.
Satu tujuan dan harapan mereka supaya kita bisa mengisi kemerdekaan ini sebaik-baiknya juga menjaga warisan ini tanpa membeda-bedakan sesama anak bangsa.
Raga mereka telah hangus oleh maut tetapi jiwa selalu mengalir dalam diri anak bangsa seperti yang dieksekusi oleh Joni.
Sebagai anak bangsa, makna dari patriotisme joni secara implisit bagi kita yaitu berkorban demi bangsa tanpa menuntut ini dan itu. Para pejabat yang suka menuntut kenaikan gaji tanpa keseimbangan dalam pengabdian adalah bukti patriotisme “palsu” dan perlu belajar dari Joni.
Kita tidak dituntut untuk angkat senjata melawan penjajah asing tetapi melawan ketidakadilan yang masih menodai kemerdekaan kita, maka benar yang dikatakan presiden ulung kita, Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Pernyataan sekaligus sebuah penafsiran akurat dari Soekarno sedang kita temukan di bangsa kita akhir-akhir ini. Hampir di seluruh wilayah bangsa ini, isu SARA gemar dikumandangkan oleh para politisi untuk meraup kekuasaan secara cepat, masih ada terorisme, kemiskinan dan skandalitas sosial lainnya sebagai bukti bahwa kita belum mencapai kemerdekaan seutuhnya bahkan semua itu adalah bentuk “perlawanan” kita terhadap bangsa ini.
Seringkali kita secara salah memaknai setiap momen kemerdekaan. Para petinggi negara mulai mencari sensasi dan mencari pengaruh politik apalagi memasuki musim Pemilu. Di berbagai kolom-kolom media baik online maupun cetak sarat dengan ucapan selamat kemerdekaan. Konvoi dan karnaval berkumandang di setiap tempat.
Semua ini sangat wajar sebagai tanda kepedulian kita, tetapi di atas segalanya kita dituntut untuk merealisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang petinggi negara, baik Bupati atau Gubernur misalnya, bukan sekadar menghimbau dan mengajak rakyat untuk merevolusi mental dan bekerja sekuat tenaga membangun bangsa tetapi paling kurang mereka harus lebih dahulu membuktikan itu di hadapan rakyat.
Jika tidak, momen HUT kemerdekaan yang dipakai oleh para petinggi untuk “berkotbah” di podium utama hanyalah sebuah ilusi.
Kedua, aksi heroik Joni sebagai bagian dari suara kaum kecil yang mungkin tidak pernah didengarkan oleh negara. Hampir di berbagai pelosok bangsa, banyak kaum kecil yang belum sunguh-sungguh menikmati kemerdekaan.
Oleh karena itu, kita perlu bercermin pada pernyataan Ernesto Che Guevara bahwa kemerdekaan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari harga sebuah bendera tetapi lebih dari itu harus diukur dari sejauhmana nilai-nilai kemanusiaan ditegakan.
Merujuk pada pernyataan kaya makna di atas, kita coba merefleksikan aksi heroik dari joni sebagai representasi suara kaum kecil. Pada dasarnya, kita tidak menolak semua penghargaan aneka bentuk baik dari Pemerintah maupun swasta kepada Joni.
Namun, secara kritis sebenarnya ada nilai yang lebih penting yang hendak disampaikan kaum kecil kepada negara. Penghargaan dari pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi, kemendikbud dan sebagainya tidak bisa secara cepat ditafsir sebagai kepedulian luar biasa pemerintah kepada anak bangsa.
Pemerintah tidak boleh berbangga diri karena sudah memberi apresiasi baik dalam bentuk uang maupun peralatan sekolah dan janji murni untuk memperhatikan masa depan joni tetapi sungguh-sungguh dan lebih luas dari itu harus pula melihat realitas bangsa ini.
Bukan hanya Joni, melainkan masih banyak anak bangsa yang membutuhkan perhatian serius dari Negara melalui pendidikan dan aneka kebutuhan lain yang belum dinikmati sebagai warga negara yang merdeka.
Kehadiran Joni sebagai suatu bentuk tuntutan rakyat terhadap kepedulian negara kepada mereka. Rakyat kecil yang bereksistensi di seluruh pelosok negri tidak membutuhkan gaji tinggi; mereka tidak membutuhkan rumah mewah berlantai dua, perabot rumah tangga yang serba lengkap.
Namun, sederhana saja bahwa negara yang diwakili oleh para pejabat dituntut untuk merefleksikan pengabdian kepada bangsa ini. Apakah dengan gaji rutin setiap bulan bahkan semakin besar jumlahnya, telah mendorong para pejabat untuk sungguh-sungguh bekerja memenuhi kebutuhan primer kaum kecil yang tersembunyi dibalik patriotisme Joni?
Apakah janji-janji kemerdekaan sunguh dialami oleh bangsa ini atau kita masih menderita penyakit masa lalu seperti korupsi, kemiskinan, terorisme dan penyakit lainnya.
Hemat saya, kita sebagai insan yang merdeka hendaknya merefleksikan secara mendalam aksi heroik Joni dan relevansinya bagi kemerdekaan bangsa. Sebenarnya ada pesan yang perlu dipetik yaitu kita dituntut untuk bekerja sama, bekerja bersama dan bekerja keras untuk mencapai puncak kemerdekaan.
Jika negara (baca: rakyat) mengeluh keterbatasan infrastruktur, perlu dicari solusinya. Jika fasilitas pendidikan masih terbatas, perlu dilihat kendala sekaligus memikirkan solusi jitu untuk menyembuhkan penyakit ini. Jadi, bukan sekedar kita berfoya-foya dengan berfoto ria bersama Joni, melainkan kita mesti memetik pesan terdalam sesuai dengan tugas kita masing-masing untuk mengisi kemerdekaan mutlak bangsa ini.
Kita sudah bebas dari penjajahan Belanda dan Jepang, tetapi belum merdeka dari penjajahan keegoisan, KKN, kemiskinan dan kemalasan juga masih banyak ketimpangan sosial yang bercokol subur di bangsa kita. Saatnya kita semua bekerja keras dan tulus seperti Joni untuk mencapai puncak kemerdekaan yang sesunggunya seperti yang dititip oleh para pahlawan kita.