Oleh: Ichan Pryantno
Tinggal di Ritapiret Maumere
Akhir-akhir ini ranah demokrasi kita dihidangkan dengan sejumlah persoalan pembukaman aktivisme kaum muda.
Dalam banyak soal kita bisa membaca adanya upaya menjegal daya kritis kaum muda yakni dengan mengedepankan aksi anarkis. Misalnya beberapa hari lalu terjadi pemukulan terhadap Theodorus Usman Wanto, seorang mahasiswa (aktivis) IKIP PGRI Kalimantan Timur yang tengah berlibur di Kampung halamannya di Desa Rengkam, Poco Ranaka Timur, Manggarai Timur, oleh Kepala Desa Rengkam.
Karena itu dalam tulisan ini, penulis hendak mengetengahkan soal demikian dengan maksud agar marwah demokrasi kita terutama perihal kebebasan berpikir dan berpendapat kembali dihidupkan.
Aktivisme Kaum Muda dan Kemerdekaan Berpikir
Secara historis, aktivisme kaum muda dalam lanskap perpolitikkan Indonesia, diperlihatkan ketika Dr. Sutomo membentuk Organisasi Pergerakkan kaum muda yang diberi nama organisasi “Budi Utomo”.
Selanjutnya, pergerakkan lanjutan pun diperlihatkan pada tahun 1928 dalam momentum sumpah pemuda. Momentum tersebut memperlihatkan lebih intens lagi andil kaum muda yakni dengan memberanikan diri mempersatukan kaum muda dan secara kolektif berpayung dalam ‘bahasa, bangsa, dan tanah air’ yang sama.
Tidak terlepas dari itu, panorama sekitar kemerdekaan pun turut memperlihatkan kepiawaian kaum muda, tatkala dalam Peristiwa Rengasdengklok, mereka berhasil memaksa Bung Karno dan Bung Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan.
Pasca-kemerdekaan, animo kaum muda juga santer diperlihatkan. Saat era-orde lama misalnya, para mahasiswa sangat gencar melakukan gerakan demonstrasi menetang Soekarno.
Gerakkan tersebut mengatasnamakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), atas anjuran Mayor Jenderal Syarif Thayib. Mereka melakukan banyak demonstrasi, arak-arakkan, dan bahkan tak jarang mereka melakukan konfortasi besar-besaran.
Selain itu, pada penghujung kekuasaan Presiden Soekarno di dalam Sistem Politik Demokrasi Terpimpin, mereka mengetengahkan Tri Tuntutan Rakyat (TRI TURA) dan Tuntutan Hati Nurani Rakyat (TUNHANURA).
Bahkan juga pada medio Oktober 1965; saat soekarno mengalami krisis kepercayaan, tatkala ia mengubah haluan politik ke arah blok komunis, apalagi ditambah massifnya pengaruh PKI saat itu, para mahasiswa (kaum muda) melakukan demonstrasi guna menyampaikan isi hati nurani rakyat (bdk. Saint, 1981: 86).
Tidak hanya itu, semenjak keganasan Orde Baru mulai merembes, aksi protes mahasiswa kian menyesakki ruang publik demokrasi guna melabrak keculasan dan kebobrokkan rezim Soeharto. Mereka melakukan banyak pergerakkan guna menetang kezaliman Soeharto.
Tak jarang ada yang ditangkap, ditindas, bahkan dibunuh (pada dekade 1980-an). Dua kerusuhan terbesar terjadi mengekor protes yang terorganisasi terjadi pada bulan Juli 1996 dan Mei 1998, yang pada akhirnya berhasil menggulingkan kediktatoran negeri ini (bdk. Djaman Baroe (penerbit), 2014: 141).
Ini menjadi momentum berahmat pun sekaligus memilukan tatkala bangsa indonesia berhasil ‘meloloskan diri’ dari kungkungan otoritarianisme Soeharto, tetapi sekaligus ditebus dengan siraman darah kaum muda.
Kaum muda (mahasiswa) menjadi tumbal atas keberdosaan orde baru. Dalam hal ini pula, kaum muda menjadi patron ulung tatkala mereka berhasil menghadirkan revolusi suci pasca-kemerdekaan.
Dari uraian historis ini, kita dapat melihat betapa kaum muda berhasil membidik sejumlah predikat mupung dalam mengadabkan perpolitikkan demokratis bangsa. Kaum muda berhasil menjelma menjadi advocatus diaboli, “setan pengusik” ketamakkan penguasa.
***
Beberapa hari lalu publik dikagetkan dengan kasus pemukulan terhadap Theodorus Usman Wanto, seorang mahasiswa (aktivis) IKIP PGRI Kalimantan Timur yang tengah berlibur di Kampung halamannya di Desa Rengkam, Poco Ranaka Timur, Manggarai Timur, oleh Kepala Desa Rengkam (Floreseditorial.com/diakses pada 19/08/2018).
Kasus ini bermula tatkala Theodorus mengkritik pembangunan desa melalui media sosial. Akibatnya ia harus menerima perlakuan anarkis yang dilakoni Fransiskus Yunsun (Kepala Desa Rengkam). Bahkan juga ia harus membayar denda berupa satu ekor kambing.
Terkait hal ini, pemukulan aktivis oleh kepala desa (kades) sangatlah tidak dibenarkan, pasalnya kades mestinya tampil sebagai agen tindakan rasional yang tidak anarkis. Sebagai bagian dari aparatus negara demokratis, hendaknya ia menjadi teladan ulung dalam memuliakan nilai substansial demokrasi yang sesungguhnya.
Selain dari pada itu, persoalan demikian merupakan representasi dari pembungkaman demokarsi. Gebyar aktivisme kaum muda mestinya tidak boleh dijegal dengan sikap anarkis dan irasional dari aparatus negara, sebab dalam kawasan demokrasi tidak boleh ada represi atas aspirasi masyarakat yang mau disuarakan.
Sejauh suara itu berkepentingan dengan masyarakat, maka hal demikian tidak boleh disembelih, tetapi mesti ditanggapi secara rasional, tidak emosional, politis, argumentatif, tidak anarkis, akomodatif, dan solutif.
Membaca persoalan ini ada beberapa hal yang dikemukan terkait alasan keterlibatan kaum muda (Theodorus Usman Wanto) dalam lanskap perpolitikan.
Pertama, sebagai makluk politik (zoon politicon), menjadi suatu keharusan bagi kaum muda guna turut terlibat secara massif dalam aras demokrasi. Dalam pencarian demokrasi ‘yang menjadi’, kaum muda diamini sebagai elemen vital tatkala mereka hadir guna mengadabkan demokrasi. secara kolektif, mereka hadir guna berpikir, berefleksi secara bersama dan bertindak berdasarkan pertimbanagn kritis bersama.
Kedua, gebrakkan ala kaum muda merupakkan entitas praksis atas partisipasi kontrol politik publik dalam frame demokrasi. Hal ini diperkuat dengan konstruksi gagasan Herbert J. Gans (2002) yang menekankan korelasi demokrasi hanya bisa tumbuh dalam suasana kontrol publik yang semakin cerdas dan konstruktif (Regus, 2012: 46). Dalam hal ini resistensi kaum muda terhadap kepincangan politis dari para ‘care-taker’ (pejabat) merupakan entitas kontrol publik guna menumbuhkan demokrasi yang beradab.
Ketiga, sebagai akademisi, mahasiswa (kaum muda) sudah sepantasnya bertanggung jawab atas realitas sosial yang ada (kebijakan pembangunan yang irasional, korupsi, kerakusan, ketamakkan, dll.), yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Mereka tidak boleh tinggal diam, sebab hal demikian menimbulkan kontradiksi antara panggilan mulia dan aktusnya. Dalam takaran lain pula, mereka tidak boleh menjadi stempel akademik bagi kebobrokkan penguasa, tatkala mereka menjadi legitimasi tindakkan depolitis dari para bandit demokrasi. Dalam hal ini pula, kaum muda hadir sebagai ‘counter-group’, tatkala mereka membumikan resistensi atas totalitarianisme penguasa.
Berkaca pada persoalan yang terjadi ada beberapa proposal pemikiran yang seyogianya diperhatikan.
Pertama, sedianya kita mesti hidup dalam kemerdekaan berpikir yakni keadaan di mana kita secara bebas berpikir dan mengemukakan gagasannya apalagi menyangkut situasi masyarakat.
Kedua, setiap agen demokrasi mesti bersedia menanggapi berbagai bentuk aspirasi dan kontrol publik secara rasional, demokratis, dan akomodatif. Alangkah tidak elok tatkala yang dikedepankan justru anarkisme.
Ketiga, momentum kemerdekaan RI yang baru saja kita rayakan mestinya menggugah kita agar agar secara intensif memaknai dan mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan bukan semata-mata di maknai sebagai suatu bentuk kemenangan atas kolonialisme. Tetapi di atas semuanya itu, kemerdekaan RI mestinya menjadi momentum berahmat untuk merefleksikan dan menata kembali demokrasi yang sesungguhnya. Dalam hal ini, salah satunya kesediaan untuk mengakomodasi kebebasan berpikir dan berpendapat dari orang lain (kaum muda).