Editorial, Vox NTT-“Satuan pendidikan formal dan non-formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan, sosial, emosional, dan kualitas peserta didik”
Menarik untuk dipahami diksi yang dipilih dalam dalam kalimat tersebut. Kalimat yang bukan tanpa makna itu adalah bunyi ayat (1) Pasal 45 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Para pembuat UU ini bukan orang gila. Dia masih waras dan sadar bahwa pendidikan adalah jantung kemajuan yang tentu saja erat kaitannya dengan hak asasi manusia.
Para pembuat UU masih sangat waras melihat pendidikan sebagai jalan terbaik untuk meningkatkan taraf hidup generasi penerus.
Begitu pun hak mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak. Dia dikategorikan hak dasar setiap tunas bangsa.
Hak dasar mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak ini tampak terabaikan oleh pemerintah, saat melihat kondisi SMAN 2 Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
Kondisi malang minimnya sarana dan prasarana merundung SMAN 2 Lamba Leda. Sekolah itu tak lagi menjadi pohon rindang sebagai peneduh yang aman bagi generasi bangsa.
Ia seakan tak lagi menjadi tempat yang layak bercengkrama tentang keelokan adab dan ilmu pengetahuan.
Betapa tidak, dua bangunan di sekolah yang berlokasi di Kampung Weleng, Desa Nampar Tabang, Kecamatan Lamba Leda itu sejajar berdindingkan anyaman bambu. Walau lantainya semen, namun masih kasar belum halus.
Walau atap dua gedung itu sink, namun hanya dipaku pada bantal kayu ala kadarnya.
Satu gedung terpaksa dibuatkan satu ruangan kelas. Sementara satu gedungnya lagi disekat ke dalam tiga ruangan kelas. Sekat ruangan berukuran 7×6 meter itu juga dibuat dari anyaman bambu.
Mirisnya, empat ruangan di dua gedung tersebut tak memiliki pintu. Akibatnya, binatang piaran terkadang masuk ruangan kelas. Jendela ruangan pun sudah dibuat, namun tak ada daun.
Kursi dan meja di dalam ruangan kelas terbuat dari kayu. Sedangkan papan tulisnya black board terbuat dari triplek.
Gedung darurat itu dibuat tahun 2016 lalu, hasil swadaya orang tua murid. Kedua gedung itu terpaksa dibangun ala kadarnya. Alasannya gedung permanen terbatas.
Gedung permanen hanya ada tiga ruangan kelas. Sementara terdapat 7 rombongan belajar (rombel). Sehingga disiasati 4 rombel lainnya menggunakan gedung darurat.
Namun kondisi pahit dan getirnya ruang kelas tersebut ternyata tak menyurutkan semangat para siswa SMAN 2 Lamba Leda untuk belajar.
Di tengah keterbatasan itu, para siswa masih bertahan dan tetap tekun belajar demi masa depan yang cerah.
Baca Juga: Siswa SMAN 2 Lamba Leda Belajar di Tengah Keterbatasan
Kondisi SMAN 2 Lamba Leda mungkin satu dari sekian sekolah menengah atas di Matim yang masih memprihatinkan. Ada banyak sekolah yang kondisinya membawa pilu bagi siswa dan guru-guru.
Terkini, berdasarkan Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, total sekolah menengah atas di Matim sebanyak 58.
Rinciannya SMK ada 11 sekolah, 9 Negeri dan 2 Swasta. SMA 47 sekolah, 42 Negeri dan 5 Swasta.
Harus diakui memang banyaknya sekolah yang dibangun selama dua periode kepemimpinan Yosep Tote dan Agas Andreas (Paket Yoga) di Matim, justru membawa duka bagi dunia pendidikan.
Bagaimana tidak, banyak sekolah dibangun tanpa diimbangi dengan kemampuan keuangan untuk menyediakan sarana dan prasarana.
Keputusan politik Paket Yoga tentu berdampak pada adanya kesenjangan fasilitas, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di kabupaten lain.
Di banyak tempat, bangunan sekolah begitu megah. Sarana dan prasarana belajar mengajar pun begitu lengkap.
Akan tetapi, semua itu menjadi hal yang langka ketika dibandingkan dengan kondisi sekolah-sekolah di pelosok Kabupaten Matim. Penglihatan siswa akan fasilitas yang layak di sekolahnya seakan lenyap.
Spirit Paket Yoga untuk membuka banyak sekolah di sisi lain harus diacungkan jempol. Sekolah yang dibangun tentu muaranya untuk memudahkan akses pendidikan dengan biaya murah.
Namun, pemerintah seharusnya sadar bahwa kekurangan sarana dan prasarana juga salah satu faktor terpuruknya kualitas pendidikan.
Padahal, kelengkapan sarana dan prasaran menjadi rindu yang terus menggebu dalam nurani para siswa di Matim. Namun kerinduan itu seakan menjadi harapan semu yang tak pernah terwujud.
Belum lagi cita-cita mendapatkan biaya pendidikan murah jauh dari harapan. Dalam kesempitan hidupnya, masyarakat malah didera oleh beban pembiayaan pendidikan yang mahal.
Di banyak sekolah di Matim, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) justru sangat mahal.
Ada banyak faktor SPP menjadi mahal di Matim. Salah satunya jumlah murid tak seimbang dengan jumlah guru swasta yang begitu banyak. Honor guru-guru terpaksa diambil dari SPP siswa karena daerah tak sanggup. Ini akibat banyaknya sekolah yang dibangun.
Sekilas problem malang yang terus mendera pendidikan di kabupaten ujung timur Manggarai itu harus diakui sebagai dampak kebijakan pemerintah tanpa analisis matang.
Ada banyak aspek yang perlu dikaji secara matang dalam membangun sebuah sekolah. Semisal ada sekolah level pendidikan di bawahnya sebagai pendukung termasuk jumlah siswanya. Guru-guru termasuk insentifnya, sarana dan prasarana, dan lain-lain.
Sekali lagi analisis ini perlu dikaji secara matang. Aspek lain yang perlu dikaji ialah analisis biaya dan manfaat terkait cost pendidikan.
Hal ini tentu erat kaitannya dengan kemampuan keuangan Negara dalam membiayai suatu lembaga pendidikan.
Jangan sampai komponen instrumental biaya pendidikan malah semakin membebankan siswa dengan dalil demi mengejar mutu.
Sebab jika demikian yang terjadi, maka sekolah itu malah membawa malang bagi siswa yang kurang mampu.
Kondisi kekurangan sarana dan prasarana di SMAN 2 Lamba Leda dan berbagai sekolah lainnya di Matim itu harus menjadi catatan penting dalam setiap kebijakan pemerintah.
Mambangun sekolah jangan hanya bertameng di balik keputusan politik yang sesat. Jangan rasuki dunia pendidikan dengan politik konyol tanpa analisis yang kompehensif terhadap keberlangsungannya. Semoga!.
Penulis: Ardy Abba